Amyotrophic Lateral Sclerosis

Definisi

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah suatu kelompok penyakit neurologis langka yang melibatkan neuron yang bertanggung jawab untuk mengontrol gerakan motorik sadar, seperti mengunyah, berjalan, dan berbicara. Penyakit ini bersifat progresif yang berarti akan semakin parah seiring berjalannya waktu. Walau ALS dapat menyerang berbagai kelompok usia, gejala-gejala biasanya muncul antara usia 55 – 75 tahun.1

Sinonim: Penyakit Lou Gehrig, ALS

Gejala Klinis

Awitan ALS bisa terjadi sangat lambat sehingga gejala-gejalanya terabaikan. Namun, perlahan tetapi pasti, gejala-gejala ini akan berkembang menjadi kelemahan otot yang lebih jelas. Gejala-gejala khasnya antara lain:1

  • Fasikulasi (getaran otot) pada tangan, kaki, pundak, atau lidah
  • Kram otot
  • Kekakuan otot (spastisitas)
  • Kelemahan otot pada tangan, kaki, leher, atau diafragma
  • Bicara kurang jelas
  • Kesulitan mengunyah atau menelan.

Gejala dapat berawal pada tangan atau kaki (disebut ALS spinal, sekitar 2/3 pasien) ataupun pada kemampuan bicara atau menelan (disebut ALS awitan bulbar, sekitar 1/3 pasien). Terlepas dari lokasi awitan, kelemahan otot dan atrofi akan menyebar ke bagian tubuh lainnya. Penderita ALS dapat mengalami masalah bergerak, menelan (disfagia), berbicara (disartria), hingga bernapas (dispneu).1,2 Mengingat tanda dan gejala ALS ini tidak spesifik, maka hal yang membedakan ALS dengan penyakit serupa lainnya dari progresi penyakit, distribusi gejala yang tidak terlokalisir satu daerah tertentu, dan disingkirkannya diagnosis lain.

Meskipun urutan munculnya gejala dan laju perburukan setiap individu berbeda, pada akhirnya penderita ALS akan tidak mampu berdiri atau berjalan, bangun sendiri dari tempat tidur, atau menggunakan tangan mereka.1

Etiologi & Patogenesis

Sama seperti kondisi neurodegeneratif lainnya, etiologi ALS diduga bersifat multifaktorial (faktor genetik, lingkungan, dan disfungsi terkait usia). Arsitektur genetik ALS bersifat kompleks; mutasi monogenik hanya ditemukan pada sekitar 15% pasien. Walau begitu, angka pewarisan ALS pada keluarga cukup tinggi. Risiko memiliki ALS meningkat dua kali lipat pada saudara kandung pasien ALS.2

Selain faktor genetik, faktor usia dan jenis kelamin laki-laki meningkatkan risiko ALS. Beberapa studi menyiratkan adanya faktor risiko lingkungan untuk ALS, seperti merokok, indeks massa tubuh, latihan fisik, dsb. Namun, berbagai faktor risiko potensial ini belum ditemukan memiliki hubungan sebab-akibat yang jelas dengan ALS.2

Tanda patologik pada ALS adalah hilangnya koneksi neuromuskular, retraksi akson, dan kematian sel UMN (upper motor neuron) dan LMN (lower motor neuron). Berbagai jaras molekular diduga berperan dalam patogenesis ALS, antara lain:2

  • Kegagalan proteostasis
  • Eksitotoksisitas
  • Inflamasi neuron
  • Disfungsi mitokondria dan stres oksidatif
  • Disfungsi oligodendrosit
  • Gangguan sitoskeleton dan transpor aksonal
  • Gangguan metabolisme RNA dan perbaikan DNA

Patofisiologi

Gejala-gejala yang terjadi pada ALS disebabkan oleh kematian LMN pada korda spinalis dan batang otak serta kematian UMN (sel Betz) pada korteks motorik. Kematian LMN menyebabkan denervasi otot, atrofi otot, kelemahan, dan fasikulasi. Sementara itu, kematian UMN menyebabkan paresis, hiperrefleksia, tanda Babinski, dan spastisitas.

Sensasi biasanya tidak terpengaruh, tetapi gangguan kognitif dapat terjadi, misalnya demensia frontotemporal.3 Berbagai fenotip ALS yang dapat terjadi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Fenotip manifestasi ALS. Gejala kognitif dapat muncul pada 50% pasien. Catatan: FTD = frontotemporal dementia.2

Diagnosis1

Saat ini, tidak ada pemeriksaan yang dapat mendiagnosis ALS secara definitif. ALS didiagnosis secara klinis melalui berbagai pemeriksaan, antara lain:

  • Pemeriksaan fisik neurologis. Selain temuan gejala yang sudah dijabarkan sebelumnya, tanda neurologis lain yang dapat ditemukan antara lain hiperrefleksia, peningkatan tonus otot, dan kelemahan kekuatan otot.
  • Pemeriksaan otot, antara lain elektromiografi (EMG) untuk mengecek aktivitas listrik otot dan nerve conduction study (NCS) untuk mengukur kemampuan neuron mengirim sinyal menuju otot.
  • Pemeriksaan radiologis, yaitu MRI. Pada penderita ALS, biasanya pemeriksaan MRI akan normal sehingga jika terdapat kelainan, kemungkinan ALS dapat ditapis.
  • Pemeriksaan darah dan lainnya untuk menapis penyakit lain karena banyak penyakit neurologis lain yang gejalanya mirip dengan ALS.

Laksana

Saat ini, belum ada pengobatan definitif untuk ALS. Namun, ada beberapa terapi yang diberikan bagi pasien ALS saat ini untuk mengontrol gejala, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup.1
Obat yang sudah diakui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat untuk terapi ALS antara lain riluzol dan edaravon. Riluzol dapat menurunkan kerusakan neuron motorik dengan mengurangi kadar glutamat. Beberapa clinical trial menunjukkan peningkatan kesintasan pasien ALS selama beberapa bulan, tetapi tidak mengembalikan fungsi neuron yang sudah rusak.1

Selain kedua obat di atas, obat-obatan lain juga dapat digunakan untuk menangani gejala ALS seperti kram otot, kaku otot, air liur berlebihan, dan afek pseudobulbar.1

Penanganan multidisiplin tetap menjadi terapi utama untuk ALS yang paling memuaskan bagi pasien. Penanganan multildisiplin ini melibatkan dokter, apoteker, fisioterapis, terapis bicara, ahli gizi, pekerja sosial, dan perawat. Tim ini dapat menentukan terapi terindividualisasi bagi pasien sesuai dengan keinginan pasien.1,2

Komplikasi1

Saat ini, progresi ALS tidak dapat dihentikan. Pada akhirnya, individu ALS akan kehilangan kemampuan bicara, bergerak, makan, hingga bernapas. Sebagian besar penderita ALS meninggal akibat gagal napas.

Referensi

  1. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) fact sheet [Internet]. NIH; 2020 Jun 22 [diakses 2020 Des 31].
  2. Masrori P, Van Damme P. Amyotrophic lateral sclerosis: a clinical review. Eur J Neurol. 2020 Oct;27(10):1918-1929. Available from: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/ene.14393.
  3. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins basic pathology. 9th ed. PA: Saunders; 2013.

Share your thoughts