Artificial Intelligence: Akankah Peran Dokter Tergantikan?

Menyambut era kecerdasan buatan, siapkan mental untuk perubahan

Tuntutan tinggi atas kemudahan dalam beraktivitas mendorong para ahli untuk terus berinovasi. Penemuan teknologi baru yang semakin canggih, seperti artificial intelligence (AI), menjadi salah satu buktinya. Prospek pengembangan AI di bidang kesehatan yang digadang-gadang dapat menggantikan profesi dokter sempat meresahkan sejumlah pihak. Lantas, benarkah demikian?

Tak Semata Angka 0 dan 1

Konsep awal cara kerja AI diibaratkan seperti aktivitas sistem saraf. Staf Departemen Fisika Kedokteran FKUI, dr. Anindya Pradipta Susanto, B.Eng, MM, yang kerap disapa Nino itu menganalogikan bilangan biner 0 dan 1 di komputer dengan peristiwa all or none pada potensial aksi. “Oleh karena itu, AI bisa melakukan fungsi yang mempunyai intelegensia,” ungkapnya. Karakteristik neuron pada sistem saraf yang saling terhubung satu sama lain dan mampu mengalami plastisitas saat terjadi kerusakan menjadi inspirasi jalur-jalur network pada AI. Kerja AI yang laksana jaringan saraf buatan itu memungkinkan pelaksanaan pembelajaran mesin atau machine learning sehingga AI mampu mengelola algoritma, mengenali pola, bahkan terus-menerus “belajar” dari pengalamannya sendiri.

Aset Berharga Bagi Dunia Kesehatan

Berkat kemampuan machine learning AI, dunia medis beberapa waktu terakhir telah merasakan manfaat dalam penegakan diagnosis hingga tata laksana kasus-kasus klinis. Staf Departemen Radiologi FKUI-RSCM, dr. Reyhan Eddy Yunus, SpRad, MSc, mengungkapkan bahwa AI bahkan telah mampu melaksanakan deep learning. Kemampuan tersebut membuat AI memiliki tingkat pengolahan data yang meniru cara kerja otak manusia sehingga mampu mendeteksi objek, mengenali ucapan, hingga menerjemahkan bahasa tanpa pengawasan manusia. Dengan adanya kemampuan tersebut, AI mampu mempertajam keterampilan dan pengetahuan klinisi terhadap suatu kasus, contohnya dalam mengukur parameter spesifik pada MRI yang jarang dilakukan tenaga manusia karena sangat memakan waktu dan sulit dilakukan.

Selain itu, keberadaan AI juga mampu mengurangi kesalahan akibat redundansi, terutama dalam pembacaan hasil pemeriksaan medis, seperti foto Rontgen dada dan EKG. “Pekerjaan rutin kalau dikerjakan terus-menerus bisa saja ada kesalahan. Nah, dengan AI bisa dikurangi dan dibantu,” ungkap Reyhan. Selain itu, AI juga dinilai sangat menguntungkan bagi pasien karena memiliki akurasi yang cukup tinggi dengan biaya yang lebih terjangkau. Tak hanya itu, AI juga memastikan sistem personalisasi pengobatan bagi pasien (personalized medicine) lebih mudah tercapai. “Dengan demikian, tata laksana ataupun diagnosis yang ditargetkan bisa lebih efektif dan sesuai dengan kondisi individu pasien tersebut,” tutur Nino.

Awal Kepunahan Profesi Dokter?

Di balik sejumlah keuntungan yang disuguhkan, AI tak lepas dari berbagai isu kurang sedap. Salah satunya adalah wacana tugas dokter akan sepenuhnya digantikan oleh AI. Tidak sedikit pihak yang menilai bahwa hal tersebut kurang memungkinkan karena ilmu kedokteran tidak hanya melibatkan sains, tetapi juga seni dan empati. Meskipun demikian, sebagian pihak justru beranggapan bahwa setiap kemajuan teknologi pasti akan menghadirkan suatu kepunahan, baik dari segi alat maupun profesi.

Menanggapi hal tersebut, dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS(K), Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI, mengambil contoh bahwa saat ini hampir tidak ada lagi penjaga tol karena telah tergantikan fungsinya oleh kartu tol elektronik. Tidak menutup kemungkinan hal serupa dapat terjadi di dunia kedokteran. Meskipun ada masanya beberapa spesialisasi maupun kompetensi akan punah atau tidak relevan lagi, namun kondisi tersebut akan membuka pintu bagi lahirnya spesialisasi baru seperti dokter supervisor data. “Menurut saya, itu hal yang wajar dan alamiah, teknologi pasti punya sifat menimbulkan disrupsi. Justru profesi dokter yang harus menyesuaikan diri sebelum terlambat,” tandasnya.

Masalah lain yang muncul berkaitan dengan aspek medikolegal bila AI dibiarkan bekerja tanpa pengawasan dokter. Mengingat tak sedikit keputusan manajemen pasien yang dibuat berdasarkan etik kedokteran, sebagian pihak merasa justifikasi akhir dari berbagai keputusan medis belum dapat sepenuhnya diserahkan kepada AI. Lantas, siapa yang bisa diminta pertanggungjawaban bila terjadi misdiagnosis atau kesalahan dari AI? “Apakah rumah sakitnya? Apakah yang buat software-nya? Atau dokter spesialis yang tidak tahu apa-apa namun namanya kena sebagai orang yang menyetujui penggunaan AI?” tanya Reyhan.

Menilik Masa Depan Bersama AI

Berbicara mengenai AI memang tidak ada habisnya. Walaupun masih diselimuti sejumlah kontroversi, kedatangan AI sebagai teknologi baru harus tetap disambut dengan baik. Pukovisa berpesan bahwa dokter harus memegang prinsip altruisme dan memegang teguh sumpah dokter untuk senantiasa mengutamakan kesehatan pasien. “Kalau buat saya nomor satu jangan resisten, selama menguntungkan publik dan uji klinis maupun diagnostik juga baik,” tegasnya. Penerapan AI kelak diharapkan tetap menjaga aspek-aspek keselamatan pasien. Seluruh pihak, seperti developer maupun operator AI harus sama-sama paham dan terus mengedepankan etik kedokteran.

Terkait kemungkinan peralihan kerja dokter atau tenaga medis lainnya sebagai dampak kehadiran AI, peran kepemimpinan organisasi profesi yang paham dan antisipatif akan sangat krusial. Organisasi profesi dituntut mampu memikirkan rencana perubahan, seperti penutupan sekolah spesialisasi, migrasi kerja, atau tambahan kompetensi agar dapat tetap berpraktik. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kelak terdapat multispesialisasi dokter. “Kalau tidak antisipatif, kita jatuhnya menutup diri dan menghambat teknologi ini untuk dapat diakses masyarakat kita,” tutup Pukovisa. izzati, kareen

Lihat juga topik pendamping di sini.

Share your thoughts