Baby-Led Weaning: Metode Pengenalan MPASI Kaum Millennial
Baby-Led Weaning: Metode Pengenalan MPASI Kaum Millennial
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seorang perempuan untuk melahirkan ialah pada usia antara 20-30 tahun. Hal ini dipikirkan karena pada rentang usia inilah ibu dapat merawat bayinya secara optimal. Sedangkan menurut data statistik, usia kehamilan pertama yang dianggap berisiko ialah dibawah 18 tahun dan diatas 35 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa usia kehamilan dengan risiko minimal saat ini didominasi oleh Kaum Millennial (Generasi Y), yaitu mereka yang lahir pada tahun 1980 hingga tahun 1995 (saat ini berusia 23-35 tahun).1,2
Tantangan Wanita Generasi Millennial
Tuntutan zaman saat ini membuat wanita generasi millennial tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, namun juga dituntut untuk ikut berkarya di dalam dunia kerja. Hal ini terlihat pada pandangan yang melihat kaum millennial sebagai tulang punggung bagi pergerakan ekonomi yang sedang berlangsung. Berlimpahnya energi positif serta komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan yang dimiliki oleh kaum millennial menjadi modal utama bagi mereka untuk menjalankan amanat ini. Walaupun demikian, pekerjaan bukanlah satu-satunya prioritas bagi kaum millennial. Kaum millennial lebih memilih pekerjaan yang “portable” serta fleksibel yang memungkinkan mereka untuk tetap terhubung selama 24 jam dengan lingkungannya, mulai dari keluarga, teman, hingga rekan kerjanya.2
Tuntutan zaman ini memposisikan wanita generasi millennial terhadap tantangan tersendiri yang berasal baik dari dalam maupun luar dunia kerja. Dari luar dunia kerja, sudah sejak lama terdapat norma-norma masyarakat yang memberi tanggung jawab lebih besar kepada para wanita generasi millennial saat ini di dalam perannya mengurus keluarga. Hal ini telah menjadi sorotan global, dimana telah banyak artikel yang membahas mengenai dampak negatif dari hal tersebut terhadap work life balance pada wanita di dunia kerja. Akibatnya, banyak perusahaan yang membuat berbagai macam kebijakan yang memungkinkan terjaganya work life balance bagi para wanita generasi millennial ini. Diantaranya ialah dengan membuat jam kerja yang fleksibel serta memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan kantor untuk dibawa pulang.
Walaupun hal ini nampaknya dapat mengatasi permasalah yang ada, ternyata studi-studi yang memperlihatkan bahwa pekerjaan kantor yang dibawa pulang untuk dikerjakan di rumah berakibat pada menurunnya hasil kerja karyawan karena adanya intervensi dari lingkungan rumah terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan. Hal ini membuat para pemberi kerja memiliki keraguan untuk memberikan promosi kepada para tenaga kerja yang membawa pulang pekerjaan kantor untuk dikerjakan di rumah. Belum lagi adanya peer pressure yang membuat persaingan di dalam dunia kerja semakin meningkat serta menghambat kemajuan karir dari mereka yang membawa pulang pekerjaannya. Semua tantangan ini pada akhirnya menjadi hambatan bagi para wanita karir generasi millennial untuk dapat memiliki peluang karir yang sama dengan para pria.3
Waktu yang dibutuhkan untuk memberikan makan kepada anak dapat menjadi salah satu masalah yang menghambat para wanita untuk mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Bayangkan jika seorang anak memerlukan waktu 30-60 menit setiap kali makan, dengan frekuensi 3-5 kali per hari. Maka waktu yang dibutuhkan seorang ibu untuk memberi makan anaknya berkisar antara 2,5 – 3 jam setiap harinya serta ditambah pula dengan waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan MPASI khusus untuk anak yang berkisar 30-60 menit setiap harinya. Belum lagi jika terdapat penyulit untuk memberikan makan kepada anak, baik berupa masalah fisik, psikologis, atau masa transisi berupa pengenalan Makanan Pendamping ASI (MPASI). Maka dari itu penulis mengambil topik ”Baby-Led Weaning: Metode Pengenalan MPASI Kaum Millennial” sebagai jawaban dari masalah yang telah dijabarkan di atas. Selain itu, pada artikel akan dibahas pula perbandingan antar metode Baby-Led Weaning (BLW) dengan metode konvensional yang direkomendasikan oleh WHO.
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) Konvensional
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) merupakan makanan yang diberikan ketika pemberian ASI eksklusif tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada bayi. MPASI ini diberikan pada usia 6-24 bulan walaupun pemberian ASI masih tetap dapat dilanjutkan hingga anak berusia di atas 2 tahun. Masa transisi ini merupakan waktu yang krusial karena jika terdapat penanganan yang salah atau terjadi penyakit atau masalah yang tidak diinginkan dapat berujung pada malnutrisi.4
WHO merekomendasikan pemberian MPASI dimulai pada usia 6 bulan dengan frekuensi 2-3 kali per hari pada usia 6-8 bulan, lalu ditingkatkan menjadi 3-4 kali per hari pada usia 9-11 bulan, dan penambahan nutrisi berupa kudapan sebanyak 1-2 kali per hari saat anak berusia 12-24 bulan. Selain itu, konsistensi makanan juga menjadi perhatian pada saat memberikan MPASI. Konsistensi makanan terus ditingkatkan seiring bertambahnya usia anak, hal ini dilakukan karena jika anak diberikan makanan dengan konsistensi yang tidak sesuai dengan perkembangan usia serta kapasitasnya untuk mengunyah makanan, maka dapat berujung pada berkurangnya jumlah makanan yang dapat dikonsumsi olehnya. Pada usia 6 bulan, MPASI dimulai dari makanan berbentuk sup yang kental (pureed), makanan yang ditumbuk, hingga makanan dengan konsistensi setengah padat. Pada usia 8 bulan, bayi sudah dapat mulai diberikan kudapan yang dapat dimakan sendiri oleh anak tanpa pengawasan orang tua. Terakhir, pada usia 12 bulan, kebanyakan anak sudah dapat diberikan makanan dengan konsistensi normal yang biasa dimakan oleh anggota keluarga lainnya di rumah.4
Apa itu Baby-Led Weaning?
Baby-led waning (BLW) atau yang juga disebut dengan “auto-weaning” merupakan suatu metode altenatif dalam pengenalan makanan padat kepada anak. Pada metode ini anak didorong untuk dapat makan dengan mandiri sejak berusia 6 bulan. Pada awal mula metode ini anak langsung diajak untuk makan bersama dengan anggota keluarga lainnya serta mengikuti jadwal makan bersama keluarga. Hal ini dipikirkan dapat berdampak positif terhadap hubungan antara bayi dengan keluarganya.5,6
Berbeda dengan cara konvensional berupa “spoon-feeding”, Keistimewaan dari metode ini ialah anak diberikan potongan makanan besar (seukuran kepalan tangan bayi), dan bukannya makanan lunak secara bertahap seperti yang direkomendasikan oleh WHO. Dalam metode ini diharapkan anak dapat menjadi mitra aktif dalam proses penyapihan yang melakukan kontrol terhadap proses tersebut. Pada proses ini anak akan berperan aktif dalam memutuskan makanan apa yang hendak dimakan, berapa banyak makanan yang diinginkan, serta berapa lama proses penyapihan berlangsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa bayi sebagai subjek dari metode BLW lebih leluasa untuk bereksplorasi dengan berbagai makanan yang dia coba.5,6
Hal lain yang menarik dari metode ini ialah bayi tidak diberikan “pureed” atau makanan lunak lainnya yang merupakan campuran dari beberapa bahan makanan, namun bayi diberikan sepotong makanan utuh untuk dapat dirasakan. Hal ini membuat bayi dapat merasakan serta membedakan berbagai rasa makanan yang ada. Dengan kata lain BLW memungkinkan anak untuk merasakan nikmat serta kepuasan yang diberikan dari makanan yang diberikan serta belajar untuk membatasi asupan makanan ketika bayi merasa kenyang. Dari sisi orang tua, hal ini juga memberikan keuntungan berupa berkurangnya waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memberikan makan kepada anak-anaknya, serta tidak diperlukan waktu khusus untuk membuat MPASI.5,6
Pada saat metode ini dimulai, bayi mungkin saja tidak langsung dapat memakan MPASI yang telah disediakan, namun hal ini wajar karena hal tersebut adalah bagian dari eksplorasi awal. Banyak orang yang beranggapan bahwa hal ini dapat mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi pada bayi-bayi tersebut. Namun, sepertinya hal tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan mengingat ASI atau susu formula tetap diberikan kepada bayi selama metode ini dilakukan. Di sisi lain, pengurangan ASI dan susu formula tersebut terjadi dengan sendirinya ketika bayi mulai merasa asupan MPASI yang dikonsumsi telah cukup.6
Rekomendasi makanan pada BLW
Penulis tidak menemukan panduan khusus dari berbagai jurnal serta buku-buku yang ada mengenai metode BLW ini. Namun demikian terdapat berbagai sumber yang merekomendasikan berbagai jenis makanan yang dapat diberikan sebagai MPASI dalam metode BLW. Beberapa MPASI yang direkomendasikan pada awal BLW ini adalah sebagai berikut: alpukat, pisang, kentang, makanan-makanan yang direbus hingga lunak (apel, wortel, kacang hijau, zucchini, gula bit), labu, kuning telur, daging sapi, daging ayam, hati, pasta, dan nasi merah.6
Risiko tersedak merupakan salah satu kontroversi yang ditakutkan dapat terjadi pada saat memperkenalkan MPASI dengan metode BLW ini pada anak, namun literatur-literatur yang ada telah ada menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara insiden tersedak yang terjadi pada anak yang diperkenalkan MPASI dengan metode BLW dibandingkan metode tradisional berupa “spoon feeding”.6,7
Walaupun demikian, berikut beberapa MPASI yang tidak direkomendasikan sehingga diharapkan dapat menghindari bayi kejadian tersedak tadi: anggur, ceri, kacang, dan sosis. Selain itu, terdapat beberapa bahan MPASI yang perlu dihindari pula pada metode BLW ini, diantaranya yaitu: makanan berisiko alergi (gluten, putih telur, dan makanan laut), makanan dengan kandungan gula dan garam yang berlebihan, madu, dan makanan yang dapat menstimulasi anak untuk beraktivitas secara berlebihan (coklat, gula).6
Baby-Led Weaning VS WHO
Terdapat berbagai kontroversi mengenai BLW sebagai metode pengenalan MPASI pada bayi. Hal ini disebabkan karena walaupun MPASI sama-sama diberikan pada usia 6 bulan serta tetap diberikan bersama ASI atau susu formula, tetap saja terdapat berbagai hal di dalam metode ini yang cukup berlawanan dengan apa yang direkomendasikan oleh WHO. Salah satu hal yang menjadi sorotan para orang tua ialah risiko tersedak jika anak diberikan makanan dalam potongan-potongan besar pada metode BLW. Walaupun demikian, hal ini telah ditepis oleh beberapa penilitian yang membuktikan tidak terdapat hubungan antara BLW dengan peningkatan insiden tersedak pada bayi. Di sisi lain, BLW dianggap lebih aman karena menurunkan risiko tersedak akibat makanan cair yang disedot oleh anak serta kejadian tersedak akibat reflek muntah yang ditimbulkan pada saat sendok dimasukkan terlalu dalam ke mulut bayi oleh orang tua saat menyuapi anak.6
Di sisi lain, BLW dipikirkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan metode konvensional yang ditawarkan oleh WHO. Kelebihan pertama BLW terletak pada dampak positifnya pada kemampuan motorik, bicara, serta ketangkasan anak. Makanan yang lebih padat pada metode BLW ini tentu saja akan lebih banyak melatih kemampuan mengunyah anak dibandingkan dengan makanan “super lunak” yang diberikan pada metode WHO. Pada saat bayi mencoba mengunyah makanan yang diberikan, gumpalan makanan yang dikunyah tersebut akan bergerak dan berkeliaran secara acak di dalam mulut, dimana hal ini mengharuskannya untuk memposisikan serta memanipulasi gumpalan-gumpalan makanan tadi pada posisi yang tepat dengan lidah untuk dapat dikunyah dan ditelan. Dengan demikian bayi yang diberikan pengenalan MPASI dengan metode ini diharapkan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menggerakkan lidahnya, sehingga akan memiliki risiko tersedak yang lebih rendah (safe eating). Selain itu, latihan untuk menggerakkan lidah bayi tadi diharapkan pula dapat membantu bayi dalam hal belajar berbicara.5,6
Jumlah MPASI yang dikonsumsi oleh bayi diharapkan juga lebih tepat pada metode BLW dibandingkan WHO. Hal ini dapat dijelaskan karena pada metode WHO, bayi diberikan makanan super lunak yang tidak perlu dikunyah dan dapat langsung ditelan. Bayi tidak memerlukan usaha untuk mengunyah makanan serta tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menelan makanan. Dengan kata lain, bayi tidak akan merasa lelah untuk makan karena tidak dibutuhkannya usaha untuk makan. Di sisi lain makanan yang diberikan dengan sendok bayi akan berjumlah sangat sedikit, sehingga bayi akan terus menelan makanan walaupun ia telah merasa kenyang. Hal ini bukan hanya dapat berdampak pada berat badan bayi yang berlebihan, namun pada berkurangnya asupan ASI atau susu formula yang harus tetap diberikan pada masa pemberian MPASI ini.6
Selain perkembangan fisik, perkembangan psikologis anak tentunya juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Pada metode BLW ini, Makanan ditaruh begitu saja dan anak diberi kebebasan memilih serta menilai MPASI mana yang ingin dia makan. Kemampuan ini tentu saja melatihnya secara psikologis untuk dapat mulai memilih dan menilai apa yang baik untuk dirinya, sehingga di masa depan anak tersebut diharapkan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam memilih dan menilai hal-hal apa saja yang ingin diraih dan baik untuk dirinya.6
Dari sudut pandang orang tua, metode BLW juga memiliki berbagai keunggulan dibandingkan metode konvensional WHO. Pertama-tama tentu saja persiapannya yang lebih mudah, dimana hal ini membuat orang tua tidak perlu meluangkan waktu khusus untuk menyiapkan MPASI serta juga meluangkan waktu tersendiri untuk memberi makan anak. Hal inilah yang menjadi sorotan utama artikel ini, dimana hal ini dapat menjadi jawaban bagi para wanita karir generasi millennial. Dampak positif lain yang ada telah dibuktikan oleh salah studi yang memperlihatkan bahwa ibu yang memilih metode BLW pada pengenalan MPASI memiliki insiden serta tingkatan yang lebih rendah pada kejadian gangguan cemas dan berkurangnya nafsu makan, serta skor yang lebih rendah pada penilaian obsessive-compulsive disorder yang terjadi pada para ibu dengan bayi yang berada dalam periode pengenalan MPASI. 5
Dari sudut pandang penulis, dampak positif terhadap orang tua dari metode BLW ini disebabkan karena work life balance yang lebih terjaga pada para ibu yang memilih metode BLW ini. Dengan lebih sedikitnya waktu yang dibutuhkan untuk penyapihan bayi, para orang tua ini dapat meluangkan waktu lebih banyak terhadap pekerjaannya. Sehingga, peran sebagai ibu rumah tangga bagi wanita generasi millennial ini tidak menjadi penghambat bagi kenaikan jenjang karirnya di dunia kerja. Hal ini akan berujung pada dampak positif berupa stress kerja yang lebih rendah serta tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi, dan juga menurunkan risiko berupa berbagai dampak negatif secara psikis yang mungkin terjadi pada orang tua. Maka itu, sangatlah tepat jika kita melihat BLW sebagai metode pengenalan MPASI yang cocok bagi kaum millennial yang mengharapkan pekerjaan yang fleksibel namun tetap dapat menunjukkan prestasinya di dalam dunia kerja.
Daftar Pustak
- Rusli RA, Meiyuntariningsih T, Warni WE. Perbedaan depresi pasca melahirkan pada ibu primipara ditinjau dari usia ibu hamil. INSAN. 2011;13:22-23.
- Bejtkovský J. The current generations: the baby boomers, x,y and z in the context of human capital management of the 21st century in selected corporations in the czech republic. Littera Scripta. 2016;9(2):25-45.
- Gregory A, Milner SE. Editorial: work-life balance: a matter of choice. Gender, Work and Organization. 2009;16(1):1-14.
- Dewey K, Lutter C, Martines J, Daelmans B. Guiding principles for complementary feeding of the breastfed child. WHO [Internet] 2001 [Cited 2018 Nov 11]. Available from: http://www.who.int/nutrition/publications/guiding_principles_compfeeding_breastfed.pdf.
- D’Auria E, Bergamini M, Staiano A, Banderali G, Pandezza E, Penagini F, et al. Baby-led weaning: what a systmatic review of the literature adds on. Italian Journal of Pediatrics. 2018;44:1-11.
- Rapley G, Murkett T. Baby-led weaning the essential guide to introducing solid food and helping your baby to grow up a happy and confident eater. New York: The Experiment; 2010.
- Rapley G. Baby-led weaning: the theory and evidence behind the approach. MA Healthcare. 2015; DOI: 10.12968/johv.2015.3.3.144.
1 Comment
Join the discussion and tell us your opinion.
Artikel yang menarik bisa diterapkan menjadi acuan baru dalam memberikan MPASI pada bayi bayi yang berusia >6 bulan