Batu Saluran Kemih: Jangan Ditahan Terlalu Lama

Penanganan tepat sasaran mencegah lanjutnya keparahan

 

Batu saluran kemih (BSK) merupakan deposit mineral pada traktus urinarius, mencakup organ-organ seperti ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Terbentuknya batu tersebut dapat disebabkan oleh infeksi, non-infeksi, kelainan genetik, maupun konsumsi obat-obatan tertentu. BSK diklasifikasikan berdasarkan  ukuran, komposisi batu, dan lokasinya, seperti pada kaliks ginjal (superior, medial, atau inferior), pelvis renal, ureter (proksimal atau distal), dan kandung kemih.

Pemilihan tata laksana BSK didasari gejala yang dikeluhkan pasien serta ukuran, lokasi, dan komposisi batu. Pada pasien yang mengalami kolik renal akut, pemberian analgesik adalah tata laksana pertama yang perlu diberikan. Pilihan analgesik utama pada BSK adalah obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), tetapi pemberiannya harus mempertimbangkan efek samping, terutama pada pasien dengan fungsi ginjal yang masih belum diketahui. Natrium diklofenak merupakan salah satu OAINS yang umum digunakan. Pemberian dengan dosis 100-150 mg/hari selama 3–10 hari yang telah terbukti dapat bekerja menurunkan episode nyeri secara signifikan.

Pada kasus adanya batu yang mengobstruksi ginjal dengan gejala sepsis atau anuria, dilakukan dekompresi untuk menghindari terjadinya hidronefrosis dan infeksi. Terdapat dua metode yang memiliki efektivitas yang baik, yaitu pemasangan stent ureter dan pemasangan nefrostomi. Setelah itu, sampel urin hasil dekompresi yang diambil kemudian dapat dikultur untuk menentukan pemberian antibiotik yang tepat. Tata laksana definitif batu baru dilakukan jika kondisi sepsis mengalami perbaikan.

BSK yang berada di daerah ginjal umumnya ditata laksana menggunakan pengangkatan batu secara aktif.  Shock wave lithotripsy (SWL) merupakan proses yang paling tidak invasif. Prosedur ini menggunakan gelombang kejut untuk menghancurkan batu. Ukuran dan letak batu akan memengaruhi keberhasilan dari proses SWL, contohnya batu besar dengan letak yang dalam dan berada di daerah kaliks inferior akan mengakibatkan tingkat keberhasilan SWL yang rendah. Retrograde intrarenal surgery (RIRS)  dapat menjadi alternatif jika terdapat kontraindikasi dari SWL, seperti letak batu yang tidak ideal. Untuk batu berukuran lebih besar (>20 mm), prosedur nefrolitotomi perkutan (PNL) yang didahului dengan pencitraan menggunakan ultrasonografi atau CT akan memberikan tingkat efektivitas pembebasan batu yang lebih tinggi.

Obstruksi akibat BSK yang terjadi di ureter diberikan tata laksana berdasarkan ukurannya. Pada batu berukuran dibawah 4 mm, diperkirakan 95% batu dapat keluar secara spontan. Terapi ekspulsi medikamentosa yang menggabungkan penggunaan analgesik dan α-blocker, seperti tamsulosin 0.4 mg per hari selama 4 minggu efektif pada BSK non-komplikasi yang lebih besar dari 5 mm dan lebih kecil dari 10 mm. Untuk  batu yang berukuran lebih besar dari 10 mm, tata laksana yang menjadi pilihan pertama adalah pelaksanaan Ureterorenoskopi (URS), tetapi perlu mempertimbangkan pendapat dari ahli urologi dan fasilitas yang tersedia.

Selain dari tata laksana yang dilakukan di fasilitas kesehatan, perubahan gaya hidup juga perlu dilakukan oleh pasien untuk mencegah munculnya kembali  BSK. Edukasi dan konseling yang dilakukan sesuai dengan keluhan dan jenis batu yang diderita penting dilakukan oleh tenaga kesehatan. yosafat

 

Referensi

Noegroho BS, Daryanto B, Soebhali B et al. Panduan penatalaksanan klinis batu saluran kemih. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia;2018.

 

Penulis: Yosafat S. Prayogo

Editor: Amanda

Share your thoughts