Bell’s Palsy

Definisi dan Epidemiologi

Merupakan kelumpuhan saraf wajah, yaitu fasialis (N.VII) yang bersifat satu sisi, akut, perifer. Bell’s palsy mempengaruhi saraf motorik,  yakni lower motor neuron (LMN).1,2

Bell’s palsy adalah salah satu penyakit gangguan saraf tersering yang mempengaruhi saraf kranial. Selain itu, penyakit ini juga penyebab kelumpuhan wajah tersering di dunia. Dari seluruh kasus kelumpuhan wajah satu sisi akut, diperkirakan bahwa 60-75% kasus disebabkan oleh Bell’s palsy. Penyakit ini sering kali menyerang orang dewasa, penderita diabetes melitus (DM), wanita hamil, dan pasien dengan sistem imun buruk.1,2

Sinonim: Idiopathic facial paralysis (Paralisis fasial idiopatik)

Gejala Klinis

Gejala:1,2

  • Kelumpuhan otot wajah pada bagian atas dan bawah di satu sisi (unilateral);
  • Tidak mampu menutup kelopak mata dengan sempurna (lagoftalmus);
  • Penurunan produksi air mata;
  • Nyeri mata;
  • Nyeri tajam pada telinga dan mastoid;
  • Hiperakusis;
  • Epifora;
  • Rasa seperti tebal/baal di pipi ataupun mulut;
  • Pada sisi yang lumpuh, lipatan nasolabial dan kening hilang.1,2

Permulaan Bell’s palsy mendadak—puncak gejala terjadi kurang dari 48 jam. Sebagian besar pasien melaporkan kelumpuhan terjadi pada pagi hari.1

Gambar 1. Wajah pasien Bell’s palsy (https://health.clevelandclinic.org/bells-palsy-how-to-recover-from-this-puzzling-facial-paralysis/amp/)

Etiologi dan Patogenesis

Sampai saat ini, penyebab Bell’s palsy masih kontroversial dan tidak banyak diketahui secara pasti. Kelainan ini diduga merupakan dampak virus, peradangan, autoimun, ataupun penyebab iskemik. Selain itu, riset terbaru membuktikan bahwa Bell’s palsy kemungkinan disebabkan oleh infeksi herpes simpleks virus (HSV) tipe I serta reaktivasi herpes zoster pada ganglia saraf kranial.1,2

Patofisiologi


Gambar 2.
Nervus fasialis (n. VII) (https://emedicine.medscape.com/article/835286-overview)Saraf fasialis (N.VII) merupakan saraf yang bertanggung jawab atas ekspresi wajah. Jalur persarafannya sangat beragam—tersusun atas 10,000 sel saraf. Gambar proyeksi n. VII ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.

Patofisiologi Bell’s palsy masih diperdebatkan. Beberapa teori meliputi:2

  • Nervus fasialis (N.VII) melewati bagian tulang temporalis, yang umum disebut kanalis fasialis. Adanya pembengkakan dan iskemia menyebabkan saraf fasialis terdesak saat melewati kanal tersebut. Penyebab bengkak maupun iskemia belum dapat dipastikan;
  • Bagian pertama dari kanalis fasialis, labyrinth segment, merupakan bagian yang paling sempit—menjadi tempat penekanan saraf fasialis tersering. Pada penyakit ini, luka pada saraf fasialis terletak di sisi samping nukleus nervus tersebut—dekat atau pada ganglion geniculata.
  • Apabila kerusakan ada di proksimal ganglion tersebut, kelumpuhan motorik akan disertai gangguan pengecapan dan gangguan air mata. Jika kerusakan ada di antara ganglion geniculata dan proksimal korda timpani, kelumpuhan motorik akan disertai gangguan pengecapan saja. Sementara itu, kerusakan yang ada di foramen stylomastoideus akan menyebabkna kelumpuhan otot wajah saja.2

Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dipastikan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, serta pemeriksaan fisik saraf (meliputi saraf kranial, motorik, sensorik, dan otak kecil). Diagnosis Bell’s palsy adalah didapat setelah menyingkirkan kemungkinan lain. Gambaran klinis yang dapat mengidentifikasi penyakit ini adalah:1

  • Permulaan mendadak dan kelumpuhan fasial sesisi;
  • Tidak ada gejala ataupun tanda pada susunan saraf pusat, telinga, serta penyakit cerebellopontine angle.1

Untuk menilai tingkat fungsi otot wajah, digunakan sistem klasifikasi House-Brackmann. Sistem penggolongannya meliputi:

  • grade I: pasien menunjukkan ciri-ciri fungsi otot wajah normal;
  • grade II: gejala disfungsi ringan seperti sedikit sinkinesis dan sedikit kelemahan di satu sisi;
  • grade III: gangguan fungsi sedang, yaitu gangguan fungsi otot wajah terlihat jelas;
  • grade IV: gangguan fungsi sedang parah, yaitu asimetris dan/atau kelemahan yang tampak jelas;
  • grade V: gangguan fungsi parah dengan gejala berupa gerakan yang dapat dilakukan sangat minim;
  • grade VI: lumpuh total—sama sekali tidak ada pergerakan.3

Jika gejala meragukan atau bertahan sampai 6-8 minggu, peemeriksaan berupa MRI pons dan tulang temporal perlu dipertimbangkan. Nerve Conduction Studies dan EMG otot wajah juga dapat dilakukan untuk menentukan derajat keparahan dan letak kerusakan saraf fasialis perifer.2

Diagnosis Banding

Apabila ada kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, gangguan sensorik, ataupun kelumpuhan motorik lainnya, penyakit neurologis lain harus dipikirkan. Beberapa contoh penyakit adalah stroke, Guillain-Barre Syndrome (GBS), tumor cerebellopontine angle, dan radang selaput otak basilaris. Selain itu, diagnosis banding lain yang perlu diperhatikan adalah:1

  • Accoustic neuroma dan lesi cerebellopontine angle;
  • Peradangan telinga tengah, baik akut maupun kronik;
  • Amiloidosis;
  • Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, ataupun a. carotis;
  • Sindrom autoimun, seperti GBS.1

 

Tata Laksana

Penanganan yang dapat diberikan meliputi farmakologi, pembedahan, dan nonfarmakologi.

Farmakologi

  • Obat steroid

Pemberian obat golongan steroid terbukti dapat meningkatkan kemungkinan kesembuhan dalam 3 bulan atau 6 bulan. Dosis yang direkomendasikan adalah pemberian prednisolon 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari—dilanjutkan dengan tapering off; total lama pengobatan adalah 10 hari.2

  • Obat antivirus

Antivital dapat diberikan dalam kondisi tertentu, terutama apabila dicurigai virus. Asiklovir dapat diberikan dengan dosis 400 mg 5x sehari oral dalam 10 hari. Jika curiga virus varicella zoster, dosis harus ditingkatkan—800 mg 5x sehari oral.2

Pembedahan

Apabila pasien tidak responsif terhadap pemberian pemberian obat ataupun menunjukkan degenerasi akson >90%, tindakan dekompresi saraf fasiallis dapat dipertimbangkan.2

Nonfarmakologi

  • Melindungi mata

Perawatan mata berupa pelumasan bagian mata secara topikal—air mata buatan yang diberikan saat siang hari— untuk mencegah paparan terhadap kornea;

  • Fisioterapi dan akupunktur

Kedua hal ini terbukti mempercepat perbaikan dan menurunkan komplikasi;

  • Edukasi agar pasien tidak cemas, cara latihan otot wajah, dan cara melindungi mata.1

Komplikasi dan Prognosis

Perjalanan penyakit Bell;s palsy pada dasarnya mempunyai prognosis kesembuhan yang baik. Komplikasi yang dapat timbul umumnya adalah komplikasi seputar mata. Komplikasi tersebut antara lain:2,4

  • Lagoftalmos;
  • Keratitis;
  • Kesulitan mengedip;
  • Penurunan produksi air mata.4

Komplikasi lain pada bell’s palsy berat adalah sinkinesis.4

 

Lihat juga seputar neurologi di sini.

 

Referensi

  1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Panduan praktik klinis neurologi. 2016.
  2. Arifputra A, Anindhita T. Bell’s palsy. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, editors. Kapita selekta kedokteran. 4th Jakarta: Media Aesculapius; 2014. p.957-8.
  3. Christensen B. House-Brackmann clasification of facial function [Internet]. US: Medscape; 2018 Dec [cited 2020 March]. Available from: emedicine.medscape.com/article/2172449-overview
  4. Nemet AY, Vinker S. Considerations and complications after Bell’s palsy. J Clin Neurosci. 2015. http://dx.doi.org/10.1016/j.jocn.2015.04.030

Share your thoughts