Benzodiazepin, Metode Pengobatan dengan Berbagai Perhatian
Apakah benzodiazepin masih menjadi pemimpin dalam pengobatan gangguan kecemasan?
Dewasa ini, isu kesehatan jiwa adalah suatu topik yang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Meningkatnya ketertarikan terhadap kesehatan jiwa juga meningkatkan pemahaman mengenai obat-obatan yang seringkali diberikan kepada pasien yang memerlukan. Nama benzodiazepin mungkin sudah tidak asing bagi beberapa orang. Benzodiazepin adalah golongan obat sedatif atau penenang yang digunakan sebagai pengobatan pada pasien dengan gangguan kecemasan, serangan panik, dan lain-lain. Beberapa penyakit yang seringkali menggunakan benzodiazepin sebagai tata laksana adalah delirium, demensia, dan skizofrenia. Efek penenang saat mengonsumsi benzodiazepin juga membuatnya dapat digunakan untuk mengobati gejala sulit tidur. Beberapa obat yang termasuk golongan obat ini dan sering kali digunakan sebagai tata laksana gangguan kejiwaan, antara lain diazepam, lorazepam, clonazepam, dan nitrazepam.
Benzodiazepin berikatan dengan komponen molekuler serta subunit α2, α3, dan α5 dari reseptor asam γ-aminobutirat (GABA) di membran neuronal sistem saraf pusat. Reseptor ini berfungsi sebagai kanal ion klorida dan diaktivasi oleh neurotransmitter GABA. Perlekatan GABA dengan reseptor GABAA akan mengaktifkan kanal ion yang mengakibatkan peningkatan konduktansi dari klorida dan akan memberikan efek inhibitorik pada sistem saraf pusat, seperti sedasi. Setelah melalui proses absorpsi dan distribusi, setiap obat akan mengalami proses metabolisme. Metabolisme oleh hati berperan untuk pembersihan obat-obatan benzodiazepin, tetapi waktu paruh dari masing-masing obat dapat berbeda. Midazolam dan lorazepam adalah beberapa obat yang sering menjadi pilihan untuk tata laksana pasien dengan agitasi karena waktu kerja yang cepat dan e waktu paruh yang singkat.
Sedasi, hipnosis, dan anestesi adalah beberapa efek utama yang diberikan oleh benzodiazepin. Dalam beberapa kasus, efek sedasi yang diberikan oleh kelompok obat sedatif-hipnotik diikuti oleh efek depresan pada psikomotor dan fungsi kognitif pasien. Efek samping lain yang mungkin muncul akibat penggunaan benzodiazepin adalah depresi pernapasan. Risiko tersebut mungkin terjadi karena efek relaksasi otot sehingga benzodiazepin tidak diberikan kepada pasien dengan masalah pernapasan, seperti bronkitis dan apnea tidur. Pemberian benzodiazepin terhadap pasien epilepsi memiliki risiko kemunculan eksitasi paradoksal, seperti impulsif dan mudah marah. Dalam dunia klinis, penggunaan benzodiazepin sejatinya masih dipenuhi kontroversi, terutama bagi pasien lanjut usia. Pada pasien lanjut usia, terutama 65 tahun ke atas, ditemukan bahwa penggunaan obat ini dapat menyebabkan gangguan fungsi kognisi dan meningkatkan risiko jatuh. Pada penelitian yang dilakukan oleh Qian He dan kawan-kawan pada tahun 2019, ditemukan juga bahwa penggunaan benzodiazepin secara signifikan meningkatkan risiko demensia pada populasi tua, terutama apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lebih dari 3 tahun. The Clinical Practice Guideline for Postoperative Delirium in Older Adults merilis pernyataan terkait benzodiazepin yang tidak boleh digunakan sebagai pengobatan lini pertama karena ditemukan korelasi antara penggunaannya dengan peningkatan risiko delirium pasca operasi. Pada penatalaksanaan delirium pun, benzodiazepin sering kali hanya digunakan untuk kasus delirium terminal dan delirium tremens yang disebabkan oleh pemberhentian konsumsi alkohol secara tiba-tiba karena belum ada penelitian yang cukup mendukung terkait penggunaannya untuk jenis delirium lain.
Sama seperti penggunaan obat-obatan lainnya, efek benzodiazepin terhadap tubuh manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu dosis, frekuensi pemberian, dan rute administrasi. Pemberian benzodiazepin sejatinya memerlukan berbagai pertimbangan dari setiap aspek, termasuk seluruh manfaat dan risiko. Salah satu pertimbangan yang dapat diterapkan adalah penggunaan benzodiazepin golongan long-acting lebih disarankan karena konsentrasinya lebih konstan dalam darah. Selain itu, benzodiazepin dengan potensi kuat, seperti lorazepam, lebih baik diganti dengan yang berpotensi menengah seperti diazepam. Tenaga kesehatan juga dapat mengomunikasikan pengobatan yang dipilih dengan keluarga pasien agar dapat memberikan pendampingan yang memadai. hana
Referensi
- Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and clinical pharmacology. 12th ed. New York: McGraw-Hill Inc; 2012. Section V: Chapter 22, Sedative-Hypnotic Drugs; p. 371-386.
- Benzodiazepines and opioids [Internet]. Baltimore: National Institute on Drug Abuse; 2022 Nov 7 [cited 2023 Feb 21]. Available from: https://nida.nih.gov/research-topics/opioids/benzodiazepines-opioids
- Hui D. Benzodiazepines for agitation in patients with delirium: selecting the right patient, right time, and right indication. Curr Opin Support Palliat Care [Internet]. 2018 Dec [cited 2023 Feb 16];12(4):489-94. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6261485/pdf/nihms-1511044.pdf
- Picton JD, Marino AB, Nealy KL. Benzodiazepine use and cognitive decline in the elderly. Am J Health Syst Pharm [Internet]. 2018 Jan 1 [cited 2023 Feb 21];75(1):6-12. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29273607/
He Q, Chen X, Wu T, Li L, Fei X. Risk of dementia in long-term benzodiazepine users: evidence from a meta-analysis of observational studies. J Clin Neurol [Internet]. 2019 Jan [cited 2023 Feb 21];15(1):9-19. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6325366/