Berpacu dengan Waktu Melawan Kejang

Pertanyaan:
Apakah pasien yang datang dengan kejang curiga status epileptikus lebih baik diberikan diazepam IV pada fase 5 menit pertama atau setelah 5 menit? Terdapat beberapa kepustakaan yang merekomendasikan pemberian diazepam IV saat fase inisiasi (5-20 menit setelah admisi), tetapi pada kepustakaan lain, seperti Permenkes No. 5 tahun 2014 merekomendasikan pemberian benzodiazepin 10 mg per rektal pada menit 0-10. Selanjutnya, seberapa seriuskah penundaan pemberian benzodiazepin pada pasien status epileptikus?

– Dr. E

 

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) mendefinisikan status epileptikus (SE) sebagai kondisi seseorang mengalami bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih disertai hilangnya kesadaran di antara serangan bangkitan. SE merupakan kondisi emergensi neurologis paling umum di dunia dan sekitar 20% di antaranya bersifat fatal. Indonesia sendiri belum memiliki pendataan SE yang cukup baik.

Tahun 2015, International League Against Epilepsy (ILAE) menyatakan bahwa tata laksana SE sudah harus dimulai jika terdapat bangkitan yang melebihi periode waktu tertentu, yaitu 5 menit untuk kejang tonik-klonik umum, 10 menit untuk kejang fokal, dan 10-15 menit untuk kejang absans.

Sebagai kasus kegawatdaruratan, hal pertama yang patut dilakukan ialah primary survey ABCD (penanganan jalan napas, pernapasan, sirkulasi serta pemeriksaan neurologis untuk mencari penyebabnya). Pemasangan akses intravena (IV) juga harus segera dilakukan untuk akses pemberian obat. Dalam tata laksana awal SE, perlu dilakukan pemeriksaan gula darah untuk mencari kemungkinan penyebab kejang akibat hipoglikemia. Jika didapatkan kondisi hipoglikemia, dapat dilakukan pemberian 100 mg thiamin IV dan 50 mL larutan dextrose 50% IV. EKG dan saturasi oksigen pasien juga harus terus dipantau.

Tata laksana SE terdiri dari dua fase, yakni 5-20 menit untuk terapi lini pertama dan 20-40 menit selanjutnya untuk terapi lini kedua. Lima menit pertama dialokasikan untuk stabilisasi pasien (prosedur ABCD). Meskipun kecurigaan terjadinya SE dan inisiasi terapi dilakukan setelah durasi tertentu sesuai jenis kejangnya, fase terapi lini pertama dapat dimulai jika kejang tidak juga berhenti setelah 2 menit. Obat yang paling sering digunakan adalah diazepam IV. Namun, apabila belum terpasang jalur IV, seperti saat fase stabilisasi atau tidak tersedia jalur IV, boleh digantikan dengan diazepam per rektal.

Apabila kejang tidak juga membaik, diazepam dapat diberikan kembali. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diazepam oleh dokter yang sedang menangani hanya boleh dilakukan sebanyak maksimal dua kali. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisasi efek samping depresi napas yang mampu dipicu oleh diazepam. Jika pasien masih kejang setelah pemberian diazepam, dilakukan pemberian fenitoin dengan loading dose 15-20 mg/kgBB dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg/menit.

Penundaan tata laksana SE dapat menimbulkan sejumlah komplikasi. Komplikasi SE dibagi menjadi stadium 1 dan stadium 2 dengan batas waktu 30 menit. Walaupun SE secara definisi baru dapat ditegakkan setelah kejang berlangsung >30 menit, nyatanya tata laksana SE sudah harus dilakukan sebelum mencapai batas waktu tersebut. Alasannya karena kerusakan neuron akibat SE dalam 30 menit pertama masih bersifat reversibel, sedangkan kerusakan setelah 30 menit bersifat ireversibel. Jika tidak segera tertangani, SE dapat berujung pada kematian. Oleh karena itu, pemberian diazepam sebagai lini pertama harus diberikan sedini mungkin.

Satu hal yang perlu diingat, SE bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala. Oleh karena itu, menghentikan kejang saja tidak cukup. Analisis penyebab ekstrakranial, seperti gangguan metabolik (hipoglikemia, hiponatremia, hiperuremia pada pasien gagal ginjal kronis), infeksi, hipoksia, dan kemungkinan lainnya. Selanjutnyam evaluasi penyebab intrkranial, seperti trauma kepala, pendarahan otak, neoplasma otak, strok, malformasi arteriovenosa, dan lainnya perlu dilakukan. Etiologi tersebut perlu diatasi untuk mencegah kejang berulang.

 

Nama: Dr. dr. Fitri Octaviana, Sp.S(K), M.Pd.Ked

Jabatan : Ketua Program Studi Spesialis Neurologi FKUI-RSCM

Share your thoughts