Cermati Penggunaan Antijamur pada Anak

“Di lapangan, banyak kasus pada anak dengan gatal dan ruam kemerahan dengan kecurigaan mengarah pada infeksi jamur. Namun, masih belum bisa ditegakkan karena kondisi klinis belum jelas dan bisa mengarah juga pada dermatitis. Pada FKTP, banyak yang belum menunjang pemeriksaan jamur. Bagaimana tata laksana yang tepat untuk kami terapkan sebagai dokter umum di FKTP, mengingat untuk kasus infeksi jamur tidak bisa diberikan terapi kortikosteroid dan sebaliknya (kasus dermatitis tidak dapat sembuh dengan antijamur), termasuk terapi pada anak usia < 2 tahun dengan infeksi jamur, mengingat terdapat kontraindikasi pemberian pada usia tersebut?”

– Pertanyaan oleh dr. F

Jawaban:

Infeksi jamur (mikosis) kulit cukup sering ditemui, terutama tiga jenis mikosis berikut: dermatofitosis, kandidiasis, dan panu. Gejala klinis infeksi jamur serupa dengan dermatitis, yaitu ruam kemerahan dan gatal. Dermatitis atau dapat disebut juga dengan eksim adalah radang kulit dengan pencetus yang beragam, diklasifikasikan menjadi dermatitis atopik, kontak, seboroik, dan statis.

Di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dengan segala keterbatasan yang ada, dokter ditantang untuk mendiagnosis dan mengobati pasien dengan cermat. Dalam hal ini, anamnesis menjadi kunci utama. Terutama untuk menata laksana penyakit kulit pada anak, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara komprehensif guna membedakan infeksi jamur dengan dermatitis. Keduanya dapat dibedakan dengan mudah dari awitan gejala klinis penyakit.

Awitan gejala dermatitis umumnya lebih lama dibandingkan dengan infeksi jamur, kecuali pada dermatitis kontak yang terjadi secara akut. Selain itu, informasi mengenai genetik juga perlu digali. Kebiasaan higiene pasien pun dapat menjadi petunjuk. Berbeda dengan pasien inefeksi, pasien dengan dermatitis justru cenderung sering menggunakan produk pembersih.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, panu paling mudah dibedakan. Sesuai dengan namanya, yaitu tinea versicolor, bercak panu pada ras kulit gelap akan berwarna gelap yang dapat berprogres menjadi warna keputihan, sedangkan pada ras kulit putih bercak panu berwarna kemerahan. Perhatikan juga tempat predileksi untuk mikosis karena terdapat ciri khas masing-masing.

Di FKTP, seringkali pasien datang dengan penyakit kulit tidak menjadi perhatian utama karena berasumsi penyakit yang dialami belum vital bagi dirinya. Padahal, hal sepele itulah yang justru sering terlewatkan dan berakibat pada penggunaan obat yang lebih berisiko. Misalnya, penyakit kulit yang awalnya dapat sembuh hanya dengan obat topikal akibat diabaikan menjadi harus diobati dengan obat sistemik yang memerlukan beberapa konsiderasi. Oleh karena itu, intervensi dini diperlukan bila terdapat kecurigaan pada penyakit kulit mikosis atau dermatofitosis.

Penggunaan antijamur pada anak maupun dewasa umumnya tergolong relatif aman dan tidak terdapat kontraindikasi, terlebih pada antijamur topikal. Namun, patut digarisbawahi bahwa pemberian antijamur nontopikal, terutama secara oral untuk penyakit kulit sistemik pada anak usia kurang dari 2 tahun harus dirujuk ke dokter spesialis kulit.

Di samping itu, penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan untuk infeksi jamur karena jamur justru dapat berkembang lebih hebat sehingga menimbulkan tinea incognito, yaitu infeksi jamur yang manifestasi klinisnya tidak menyerupai mikosis maupun dermatitis. Timbulnya tinea incognito menjadi penanda telah terjadi salah pengobatan.

Untuk mikosis jenis dermatofitosis, pilihan obat topikal terdapat golongan azol (ketokonazol 200 mg/hari dan trakonazol 200 mg/hari selama 2 minggu) dan terbinafin (250 mg/hari selama 2 minggu), serta obat oral griseofulvin 2 x 50 mg/hari dan dosis anak lebih dari 12 tahun 10 mg/kgBB/hari untuk fine particle atau 5  mg/kgBB/hari untuk ultramicrosize. Waktu terapi bergantung letak lesi yang berkisar antara 2—4 minggu dan 8 minggu untuk tinea capitis.

Pengobatan kandidiasis topikal dapat menggunakan mikonazol dan oral menggunakan azol. Selain itu, rekomendasi pengobatan topikal untuk tinea versicolor adalah ketokonazol 2% atau selenium sulfida 1,8% dan obat sistemik, yaitu itrakonazol dosis 200 mg untuk 7 hari atau 100 mg untuk 10 hari.

Apabila terdapat keraguan saat diagnosis yang berujung pada rancunya opsi pengobatan, dokter umum di FKTP dapat memilih obat dengan risiko terendah terlebih dahulu, yaitu antijamur topikal. Jika tidak terdapat perubahan kondisi pasien dalam seminggu berikutnya, pasien kemungkinan mengalami dermatitis dan berikanlah tata laksana yang sesuai. Baik pengobatan mikosis maupun dermatitis sebaiknya mengutamakan pemberian obat topikal, terutama jika persentase bagian terdampak di bawah 3%.

Penulis: Oriana

Editor: Amanda

Share your thoughts