Difteri

Definisi dan Informasi Umum

Difteri adalah penyakit pada kulit dan nasofaring akibat infeksi Corynebacterium diphtheriae. Difteri merupakan salah satu penyakit yang berbahaya pada pertengahan abad ke-20, tetapi kini prevalensi difteri sudah terkontrol di berbagai negara karena program vaksinasi yang efektif.1,2 Walaupun demikian, wabah difteri masih dapat ditemukan di berbagai negara berkembang, seperti Nigeria, Laos, Thailand, Indonesia, dan Brazil.1

Tanda dan Gejala

Tanda khas penyakit difteri adalah ditemukannya ulkus pada mukosa disertai suatu lapisan, disebut pseudomembran, pada tenggorokan.1,3 Luka pseudomembran ini sebenarnya disusun oleh jarring fibrin dan neutrofil. Pada awalnya, pseudomembran berwarna putih. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya infeksi difteri, luka tersebut dapat berwarna abu, hijau, atau hitam. Area ini tidak boleh dilepaskan secara paksa karena akan berdarah.4

Difteri
Gambar 1. Lesi pseudomembran pada difteri.1

Difteri pada kulit umumnya merupakan infeksi sekunder dari infeksi kulit yang sebelumnya sudah ada. Mikroorganisme yang berhasil diambil dari luka kulit tidak menunjukkan adanya toksin difteri seperti yang ada pada tenggorokan.1

 

Etiologi dan Patogenesis

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri gram positif berbentuk batang yang tidak motil, tidak berkapsul, dan tidak menghasilkan spora.1 Pada pemeriksaan mikroskopik, C. diphtheriae memiliki ciri khas membentuk gambaran club-shaped bacillary appearance atau dapat disebut juga dengan “Chinese characters”.1,2

Bakteri difteriGambar 2. Morfologi C. diphtheriae.:4

  1. diphtheriae disebarkan melalui udara, yakni ketika seseorang melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi.1 Masa inkubasi C. diphtheriae berkisar antara dua hingga lima hari, tetapi permulaan gejala baru mulai muncul sekitar 10 hari setelah terpapar bakteri. Umumnya, C. diphtheriae menyerang anak-anak dan dewasa yang belum melakukan vaksinasi.4

Faktor virulensi utama yang dimiliki oleh C. diphtheriae adalah eksotoksin yang disebut dengan toksin difter.2,3 Toksin difteri memiliki sifat nekrotik dan neurotoksik.4 Selain itu, C. diphtheriae juga memiliki enzim neuraminidase dan transsialidase yang berperan dalam memfasilitasi ikatan bakteri dengan sel tubuh.2

 

Patofisiologi

Setelah berikatan dengan reseptornya, toksin akan masuk ke dalam sel melalui endositosis.1 Toksin difteri yang diserap oleh membran mukosa menyebabkan kerusakan pada epitel dan menginisiasi respons inflamasi.4 Nekrosis pada epitel menyebabkan ulkus pada mukosa. Ulkus mukosa umumnya disertai pula dengan pembengkan, kemerahan, dan sumbatan pembuluh darah pada dasar submukosa.1 Pada penyakit difteri yang parah, ulkus dan pseudomembran dapat menyebar dari faring menuju saluran bronkus.

Gejala disebabkan oleh toksin yang dihasilkan pada pseudomembran.1 Toksin tersebut akan masuk ke dalam peredaran darah dan didistribusikan menuju seluruh organ tubuh yang kemudian dapat menyebabkan gejala sistemik. Beberapa contoh gejala  sistemik pada penyakit difteri adalah kelemahan atau rasa baal pada tenggorokan atau daerah sekitar akibat neurotoksisitas, aritmia jantung, dan gagal jantung akibat miokarditis.1

 

Diagnosis

Diagnosis umumnya dilakukan dengan melihat tanda dan gejala klinis, yakni ditemukannya nyeri tenggorokan yang disertai dengan lesi pseudomembran dan demam. Pemeriksaan laboratorium untuk difteri dilakukan dengan kultur sampel yang berasal dari swab tenggorokan.1

Kultur selektif terhadap Corynebacterium spp. dapat dilakukan pada agar potassium tellurite karena dapat menghinhibisi flora normal saluran pernapasan atas.2 Pada agar potassium tellurite, koloni Corynebacterium spp. memberikan warna hitam yang dikelilingi halo berwarna cokelat. Pada agar darah, C. diphtheriae membentuk koloni kecil, bergranular, berwarna abu dengan tepi yang tidak tetap.4

 

Tata Laksana

Terapi utama pada kasus difteri adalah dengan antitoksin.2 Pemberian antitoksin  dapat diberikan kepada pasien guna mengurangi risiko komplikasi miokarditis dan neuropati. Akan tetapi, antitoksin harus diberikan sedini mungkin karena antitoksin difteri tidak dapat menentralisasi toksin yang telah berikatan dengan sel.1

Terapi antimikroba, atau antibiotik, umumnya diberikan untuk mencegah penyebaran bakteri.1,2 Selain itu, antibiotik juga dapat mengurangi produksi toksin dan menghambat perkembangan infeksi lokal. Pemberian antibiotik yang direkomendasikan pada pasien dengan difteri adalah penisilin dan eritromisin.1

Pencegahan difteri dapat dilakukan dengan vaksin toksoid difteri.2 Vaksin yang tersedia umumnya dalam bentuk kombinasi vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT). Imunisasi wajib berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah pemberian vaksin DTP pada anak usia 2, 3, dan 4 bulan. Anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Pemberian vaksin booster dapat diberikan setiap sepuluh tahun sekali kepada remaja dan dewasa yang telah mendapatkan vaksin toksoid difteri sebelumnya.1,5

 

Komplikasi dan Prognosis

Salah satu komplikasi difteri yang perlu diperhatikan adalah osbtruksi jalur napas karena pseudomembran dapat terlepas menuju laring, trakea, atau bronkus.1 Anak-anak cenderung rentan untuk mengalami hal ini karena ukuran jalur napas mereka yang lebih kecil. Komplikasi lainnya dapat berupa polineuropati, miokarditis, pneumonia, gagal ginjal, ensefalitis, infark serebral, embolisme pulmonal, dan serum sickness setelah terapi antitoksin.1,3

Secara umum, tingkat kematian difteri adalah 5-10%. Namun, angka ini dapat mencapai 20% pada anak-anak <5 tahun dan dewasa >40 tahun.1 Difteri yang fatal dapat terjadi pada pasien yang belum pernah diberi imunisasi sehingga tidak memiliki antibodi terhadap difteri. Faktor lain yang juga menentukan prognosis difteri adalah interval antara permulaan gejala dengan pemberian antitoksin.1

 

Referensi

  1. Bishai WR, Murphy JR. Diphtheria and other corynebacterial infections. In: Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, eds. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill; 2018. p. 1095-8.
  2. Saleeb PG. Corynebacterium diphtheriae (diphtheria). In: Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ, eds. Mandell, Douglas, and Bennett’s principles and practice of infectious diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. p. 2526-31.
  3. Hien TT, White NJ. Diphtheria. In: Farrar J, White NJ, Hotez J, Junghanss T, Lalloo D, Kang G, eds. Manson’s tropical diseases. 23rd ed. Philadelphia: Elsevier; 2014. p. 416-20.
  4. Riedel S, Morse SA, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology. 28th ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 196-9.
  5. Gunardi H, Kartasasmita C, Hadinegoro S, Satari H, Soedjatmiko, Oswari H, et al. Jadwal imunisasi anak usia 0-18 tahun rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2017. Sari Pediatri. 2017; 18(5):417-22.

 

Share your thoughts