DiGeorge Syndrome
Definisi
DiGeorge Syndrome (DGS) merupakan kelainan imunodefisiensi primer. Kelainan ini merupakan sindrom kelainan bawaan berupa triase klinis: kelainan jantung kongenital, mudah terinfeksi (karena imunodefisiensi), serta hipoparatiroidisme.
Sinonim: 22q11.2DS, CATCH22, Conotruncal anomaly face syndrome (CTAF), sindrom velocardiofacial, sindrom Shprintzen, autosomal dominant Opitz/BBB
Gejala Klinis
Gejala dari DiGeorge Syndrome sangat beragam sehingga tidak semua orang memiliki gejala yang sama. Gejala tersebut antara lain:
- Gangguan belajar dan perilaku, seperti keterlambatan berjalan atau berbicara, ketidakmampuan belajar, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan autisme
- Gangguan bicara dan pendengaran, seperti gangguan pendengaran sementara, karena sering terkena infeksi telinga, keterlambatan untuk mulai berbicara, dan memiliki suara “nasal-sounding” (seperti orang pilek).
- Kelainan mulut, seperti celah di bagian langit-langit atau bibir (bibir sumbing), philtrum pendek, uvula bifida, dan kesulitan menelan makanan sehingga terkadang makanan kembali melalui hidung
- Penyakit jantung bawaan
- Masalah hormone, karena kelenjar paratiroid kurang aktif (hipoparatiroidisme) sehingga mudah gemetar (tremor) dan kejang.
Penampakan klinis lainnya yang mungkin terlihat pada penderita DGS:
- Mudah terinfeksi, antara lain infeksi pendengaran, sariawan, atau infeksi dada
- Skoliosis, rheumatoid arthritis
- Perawakan pendek
- Gangguan kesehatan mental, seperti skizofrenia dan gangguan cemas
- Kelainan wajah:
- Retrognathia (rahang bawah mundur) atau mikrognathia (rahang bawah kecil)
- Pangkal hidung lebar
- Gigi kecil
- Malformasi telinga
- Fisura palpebra kecil
- Hypertelorism
- Bibir downturned
Etiologi & Patogenesis
DiGeorge Syndrome (DGS) disebabkan oleh mikrodelesi pada kromosom 22 di lokasi 22q11.2. Delesi ini terjadi pada saat pembentukan sel sperma dan sel ovum pada masa kehamilan sehingga bukan hal yang dapat dicegah. DGS ini berpengaruh pada perkembangan kepala, leher, otak, tulang, dan ginjal bayi.
Delesi pada pita 22q11.2 juga berdampak pada arkus faring ketiga dan keempat. Defek pada lengkung faring ketiga dan keempat menyebabkan kelainan kelenjar timus, seperti hipokalsemi dan defisiensi imun, defisiensi variasi sel T, gangguan fungsi sel T helper, defisiensi sel B, dan conotruncal heart defect (berupa abnomalitas aliran jantung).
Kelainan kromosom ini juga ada hubungannya dengan orang tua yang mengalami hal sama. Pada penderita DGS, sekitar 10% memiliki orang tua yang juga mengalami DGS. Tetapi, DGS bukan penyakit keturunan yang bertautan dengan kromosom seks.
Patofisiologi
Delesi pada lengan kromosom 22 ini disebabkan oleh 8 sekuens nonalel yang terletak di samping dan DNA dan lambat tersalin. Sekuens ini dilabeli A-H, dengan A-D terletak dekat dengan sentromer. Saat menyalin pada proses spermatogenesis atau oogenesis, kemungkinan terjadi nonalellic crossover.
Diagnosis
Diagnosis dari DGS umumnya dilakukan dengan pengecekkan darah neonatus untuk skrining kelainan genetik.
- Pemeriksaan genetik
- Pengecekkan complete blood cells (CBC)
- Pemeriksaan serum kalsium dan hormon paratiroid (PTH), penderita DGS umumnya memiliki kadar hormon paratiroid dan kalsiium yang rendah.
- Evaluasi fungsi dan jumlah sel T
- Pencitraan, antara lain radiografi, magnetic resonance imaging (MRI), computed tomography (CT) scan, echocardiography, dan magnetic resonance angiography (MRA) digunakan untuk mengecek abnormalitas dari kelenjar timus dan sistem kardiovaskular.
Tata Laksana
Saat ini belum ada pengobatan definitif untuk DGS, tetapi pengawasan agar kelainan tidak semakin parah harus selalu dilakukan. Penanganan sejak dini juga dapat mengurangi kegagalan perkembangan. Karena kelainan kromosom ini merupakan kelainan bawaan, yang dapat ditangani adalah gejala yang timbul agar penderita DGS tetap dapat memiliki kualitas hidup yang baik.
- Penanganan masalah jantung kongenital
- Diagnosis dini sebelum lahir atau beberapa saat setelah lahir
- Perawatan perioperatif khusus harus difokuskan pada pencegahan hipokalsemia, depresi imunologis, ketidakstabilan vasomotor, bronkospasme, dan perdarahan jalan nafas. Selain profilaksis antimikroba standar, agen antijamur juga dapat dipertimbangkan.
- Pemnatauan lesi katup residual dan obstruksi saluran keluar, fungsi ventrikel, aritmia, gagal jantung, dilatasi akar aorta, dan endokarditis bakteri harus dipantau.
- Pemantauan risiko komplikasi dan mortalitas ibu dan janin dan neonatal.
- Penanganan kondisi autoimun
- Transplantasi timus. Skrining neonates untuk mengidentifikasi bayi tanpa sel T CD45RA yang akan memerlukan transplantasi timus atau transplantasi sel T yang cocok.
- Pemberian imunoglobulin pengganti
- Pemberian antibiotik profilaksis
- Penanganan pada gangguan palatum
Intervensi bedah untuk dapat bicara normal dan komunikasi efektif sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pencitraan velopharyngeal menggunakan nasoendoskopi atau multi-view videoflouroscopy diperlukan untuk menentukan pola, gerakan dan tingkat penutupan velopharyngeal sebelum membuat rencana bedah
- Penanganan sistem endokrin
Terapi hormon pertumbuhan dan hormon lainnya yang disebabkan oleh disfungsi tiroid.
- Penanganan sistem saraf pusat
Stimulasi perkembangan sejak dini (sejak lahir) untuk mencegah keterlambatan perkembangan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian terapi, baik farmakologis, seperti pemberian profilaksis, maupun non-farmakologis, seperti stimulasi proaktif. Hal ini berbeda-beda ditentukan dari kondisi pasien itu sendiri.
Komplikasi
Komplikasi dari DGS umumnya merupakan adanya palatum abnormal, manifestasi pada sistem pencernaan (seperti esofagitis, kesulitan makan dan menelan, malnutrisi), dan kegagalan untuk bertahan hidup. Masalah pernafasan juga dapat terjadi, seperti kesulitan aspirasi, tersedak, dan pneumonia rekuren.
Selain itu, kelainan yang sering terjadi adalah komplikasi endokrin (kelainan kadar kalsium dan hormon tiroid), sistem saraf pusat (hipotonia dan polymicrogyria). Terkadang ditemukan juga juga malrotasi atau non-rotasi usus, anus imperforata, penyakit Hirschsprung, dan atresia esofagus atau fistula trakeo-esofagus.
Pada pasien DGS, terdapat juga kelainan anatomi bawaan lainnya seperti biilateral atau unilateral renal agenesis, ginjal sistik atau displastik, hidronefrosis, hipospadia, tidak terbentuknya uterus, hernia inguinal, hernia diafragma, abnormal mata, polidaktili, sindaktili, dan kelainan jari lainnya. Serta masih ada berbagai variasi komplikasi fisik lainnya.
Selain komplikasi fisik, juga terjadi komplikasi perkembangan dan kejiwaan. Komplikasi perkembangan, yakni keterlambatan motorik kasar dan halus, keterlambatan berbicara dan pemahaman bahasa. Umumnya juga terjadi peningkatan prevalensi kecemasan, baik pada masa anak-anak maupun dewasa. Pasien DGS juga mengalami defisit kemampuan memperhatikan dan gangguan spektrum autisme.
Referensi
- Bawle EV. DiGeorge Syndrome. Medscape. 2018 July 17 [ cited 2020 Feb 02]. Available from : https://emedicine.medscape.com/article/886526-overview#a3
- National Institutes of Health. 22q11.1 deletion syndrome. Bethesda : US Department of Health & Human Services. 2020 Jan 21 [ cited 2020 Feb 02]/ available from : https://ghr.nlm.nih.gov/condition/22q112-deletion-syndrome
- Solot CB, Sell D, Mayne A, Baylis AL, Persson C, Jackson O, McDonald-McGinn DM. Speech-Language Disorders in 22q11.2 Deletion Syndrome: Best Practices for Diagnosis and Management. Am J Speech Lang Pathol. 2019 Aug 9;28(3):984-999. Cited 2020 Feb 02. doi: 10.1044/2019_AJSLP-16-0147.
- McDonald-McGinn DM, Sullivan KE, Marino B, et al. 22q11.2 deletion syndrome. Nat Rev Dis Primers. Published 2015 Nov 19 [cited 2020 Feb 15]. 2015;1:15071. doi:10.1038/nrdp.2015.71