Epistaksis
Definisi
Merupakan sebuah kondisi dimana darah keluar melalui hidung (paling umum), telinga, atau tenggorokan. Terdapat dua jenis epistaksis, yakni anterior dan posterior.1
Sinonim: Mimisan, nosebleed.
Gejala Klinis
Gejala utama berupa perdarahan pada satu atau kedua hidung. Apabila perdarahan terjadi jumlah yang besar, maka pasien akan menunjukan gejala-gejala kekuranagan darah seperti pusing, lemah, atau takikardia.
Etiologi & Patogenesis
Berbagai penyebab dari epistaksis dapat dibagi menjadi lokal, sistemik, lingkungan, dan induksi obat-obatan.1
Penyebab lokal diantaranya adalah manipulasi alat, penyimpangan septum, trauma, kortikosteroid yang terhirup, dan penggunaan kanula nasal secara kronik. Penyebab sistemik diantaranya adalah kelainan yang menyebabkan gangguan pembekuan darah (termasuk hemofilia). Faktor lingkungan diantaranya alergi atau kekeringan saat musim dingin. Penggunaan obat-obatan AINS (anti-inflamasi non steroid – Non-Steroidal Antiinflammatory Drugs) seperti ibuprofen, antikoagulan seperti warafarin, inhibitor agregasi platelet seperti klopidogrel, atau pengobatan suplemen/alternatif lainnya. Penggunaan kokain juga perlu dipertimbanvkan untuk pasien dewasa.1
Pertimbangkan etiologi lainnya seperti malignansia apabila pasien memiliki penyumbatan nasal unilateral, nyeri wajah, sakit kepala, atau deformitas wajah.1
Tabel 1. Penyebab umum dari epistaksis.2
Penyebab Lokal |
Penyebab Sistemik |
Sinusitis kronik Kebiasaan memasukan jari ke dalam hidung Benda asing Polip atau neoplasma intranasal Iritan (e.g., rokok) Obat-obatan (e.g., kortikosteroid topimkal) Rhinitis Penyimpangan septal Perforasi septal Trauma Malformasi vaskulet atau telangiektasia |
Hemofilia Hipertensi Leukemia Penyakit hepar (e.g., sirosis) Obat-obatan (e.g., aspirin, antikoagulan, OAINS) Disfungsi platelet Trombositopenia |
Patofisiologi
Epistaksis umumnya disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah dibawah mukosa hidung. Ruptur dapat terjadi secara spontan akibat trauma, penggunaan obat-obatan tertentu, penyakit sistemik lain (gangguan pembekuan darah), atau keganasan. Tekanan darah yang tinggi dapat memperlambat waktu penyembuhan. Hal serupa dapat terjadi pada penggunaan antikoagilan dan gangguan pembekuan darah.1
Umumnya epistaksis terjadi pada bagian anterior dari hidung karena banyaknya pembuluh darah pada area tersebut (pleksus Kiesselbach) yang ruptur akibat trauma. Sedangkan, perdarahan dari bagian belakang hidung (perdarahan posterior) disebabkan oleh pendarahan pada pleksus Woodruff. Kejadian ini seringkali sulit di kontrol dan menyebabkan perdarahan dari kedua lubang hidung. Sehingga, dapat perdarahan ini dapat menghasilkan aliran darah menuju faring posterior dan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengganggu saluran udara dan aspirasi karena sulitnya mengontrol perdarahan.1 Perdarahan posterior lebih jarang terjadi dari pada anterior, dan umumnya berkaitan dengan penyebab sistemik (terutama hipertensi dan gangguan pembekuan darah)..3
Diagnosis
Membedakan epistaksis anterior dan posterior merupakan kunci dari tata laksana penyakit ini. Diagnosis dari perdarahan anterior dapat dilakukan dengan visualisasi langsung menggunakan spekukum nasal dan sumber cahaya.
Obat spray dengan anastesi dan epinefrin dapat berguna untuk vasokonstriksi sehingga dapat mengontrol perdarahan dan memvisualisasikan penyebabnya. Umumnya, diagnosis dari perdarahan posterior ditegakan setelah gagalnya upaya untuk menangani epistaksis anterior. Manifestasi klinis dari perdarahan posterior diantaranta adalah perdarahan pada lansia dengan kelainan pembekuan darah, perdarahan nasal bilateral, atau ditemukannya darah dari nasofaring posterior.1
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan apabila dibutuhkan, diantaranya Complete Blood cell Count (CBC), jenis dan cross match, dan koagulopati. Umumnya, pencitraan seperti foto polos atau CT juga dapat diperlukan jika dicurigai disebabkan keganasan.1
Tata Laksana
Pemeriksaan Fisik
Diperlukan pemeriksaan rongga hidung secara berkala selama pemasangan tampon untuk melakukan pemeriksaan secara umum. Menghembus nafas dapat membantu menurunkan efek dari fibrinolisis lomal dan mengurangi gumpalan darah sehingga dapat menghasilkan pemeriksaan yang lebih baik. Pemberian vasokonstriktor juga dapat membantu mengutangi perdarahan dan dapst menentukan lokasi presisi dari perdarahan. Penggunaan anastetok topikal juga dapat digunakan untuk mengurangi nyeri.3
Manajemen dimulai dengan ,memasukan spekulum nasal secara perlahan dan menjelahi lubang hidung. Hal ini dapat membantu melihat sebagian dari sumber perdarahan anterior. Sekitar 90% dari perdarahan dapat divisualisasi pada bagian anterior dari kavitas nasal. Epistaksis yang berat seringkali diragukan dengan hemoptisis atau hematemesis.3
Sumber perdarahan posterior ditemukan apabila tidak ditemukan sumber perdarahan anterior pada hasil visualisasi dari kedua lubanh hidung.3
Epistaksis Anterior
Apabila sudah ditemukan sumber perdarahan anterior, penggunaan vasokonstriktor topikal dapat digunakan dengan 4% kokain, oksimetazolin atau fenilefrin. Untuk perdarahan yang membutuhkan pengibatan lebih, anastetik lokal seperti 4% kokain, tetrakain atau lidokain (Xylocaine) dapat digunalan. Anastesi adekuat harus digunakan sebelum tata laksana dilakukan. Akses intravena harus dilakukan pada kasus sulit terutama ketika pengobatan anxiolitik digunakan.2
Pledgets kapas yang direndam dalam vasokonstriktor dan anastetio harus diletakan dalam kavitas nasal anterior dan tekanan harus diberikan pada kedua bagian dari hidung untuk setidaknya 5 menit. Alat ini dapat dilepaskan untuk melakukan inspeksi ulang pada situs perdarahan. Apabila tata laksana tersebut belum berhasil, aplikasi perak nitrat pada situs perdarahan sekitar 30 detik.
Opsi tata laksana lainnya adalah penggunaan alat packing hemostatik dengan gelatin foam yang dapat diabsorbsi (Gelfoam) atau selulosa yanh teroksidasi (Surgicel). Penggunaan spray desmopressin (DDAVP) dapat digunakan apabila pasien memiliki kelainan perdarahan.2
Gambar 1. Packing untuk kavitas nasal anterior menggunakan strip gauze.
Gauze dimasukan menggynakan bayonet forceps ke dalam kavitas nasal anterior dengan petroleum jelly. Kemudian, spekulum nasal digunakan untuk mengekspos bagian hidung sehingga packing pada lapisan pertama dimasukan sepanjang lantai dari kavitas nasal anterior. Lapisan tambahan dari packing ditambahkan dengan metode lipatan accordion. Penggunaan nasal spekulum digunakan untuk menahan posisi lapisan lama seiring lapisan baru ditambahkan. Packin dilanjutkan sampai keseluruhan kavitas nasal anterior tertutup penuh (Gambar 1).2
Epistaksis Posterior
Packing untuk perdarahan posterior dapat dilakukan dengan memasukan kateter melalui satu lubang hidung (atau keduanya) melalui nasofaring dan keluar dari mulut kemudian ditangkap dengan forcep(Gambar 2). Gauze pack (semacam balon) digunakan pada ujung kateter dan diposisikan pada nasofaring posterior dengan menarik kateter sampai packing-nya terletak di choana posterior. Untuk membantu memosisikan balon, dapat dilakukan menggunakan dorongan tangan melalui mulut (perlu berhati-hati karena sangat tidak nyaman bagi pasien). Hal ini dilakukan untuk memastikan aliran nasal posterior tertutup dan memberikan tekanan pada situs perdarahan posterior.2
Gambar 2. Pemasangan packing untuk hidung bagian posterior.
Beragam alat dengan sistem balon cukup efektif untuk mengatasi perdarahan posterior dan lebih sederhana daripada prosedur packing. Alat balon ganda diarahkan menuju lubang hidung yang mengalami perdarahan sampai nasofaring. Prosedur ini diawali dengan pemberian anastesia topikal. Balon posterior diisi dengan 7 – 10 ml saline pada kavitas nasal anterior untuk mencegah adanya pergeseran retrograde dari balon.
Gauze pack harus dipastikan tidak bergerak pada kavitas nasal posterior. Ia dijaga untuk tetap pada lokasi tersebut dengan menjaga tekanan dari kateter dengan clamp atau rol gauze pada anterior hidung. Kemudian, bagian luar pipa yang dipasang ke dalam mulut pasien difiksasi pada pipi pasien.2
Perdarahan Persisten
Apabila pasien mengalami perdarahan anterior atau posterior yang persisten, diperlukan pemeriksaan endoskopi untuk mencari situs pasti dari perdarahan untuk kauterisasi langsung. Kondisi ini harus ditangani oleh dokter otolaringologi. Selain itu, dapat dipertimbangkan perlakuan alternatif lainnya seperti ligasi arteri dan embolisasi arteri angiografi.2
Prognosis
Penanganan pasien lanjutan dalam perawatan rawat inap
Pasien dengan packing nasal posterior akan merasakan ketidaknyamanan dan dapat berujung hipoksia dan hipoventilasi. Kegagalan untuk mengatasi dan memonitor semua pasien pasien tersebut dapat meningkatkan mortalitas. Selain itu, pasien lansia, pasien dengan kelainan jantung atau penyakit paru obstruksi kronis harus mendapatkan tambahan oksigen dan dimonitor secara berkala.3
Penanganan pasien lanjutan dalam rawat jalan
Pasien dengan packing nasal anterior harus melakukan follow-up dengan dokter otolaringologi dalam waktu 48-72 jam. Penggunaan packing hidung dapat menghambat aliran sinus dan meningkatkan risiko sinusitis atau sindrom syok toksik. Tumor atau patologi berbahaya lainnya adalah penyebab umum dari epistaksis. Namun, semua pasien denvan epistaksis harus memiliki pelayanan follow-up untuk pemeriksaan lebih lanjut. Apabila pistaksis unilateral terjadi berkala, perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya neoplasma.3
Perlu pertimbangkan pemberian antibiotik kepada pasien untuk mencegah kemungkinan patogen dalam kasus klinis tertentu. Analgesik oral juga harus dipertimbangkan karena pengaturan nyeri merupakan hal esensial dalam pelayanan pasien. Namun, edukasi pasien untuk menghindari penggunaan aspirin dan OAINS. Pasien yang mengonsumsi warfarin secara rutin disarankan untuk melanjutkan terapinya. Pemberhentian temporer hanya diindikasikan pada perdarahan tidak terkontrol.3
Referensi
- Tabassom A, Cho JJ. Epistaxis (nose bleed) [internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2002 Jan.
- Kucik CJ, Clenney T. Management of epistaxis. Am Fam Physician. 2005 Jan 15;71(2):305-11.
- Bamimore O, Silverberg MA, Talavera F, Dronen SC. Acute epistaxis [internet]. New York: Medscape.com; [updated: 2019 Apr 22, cited: 2020 Apr 17]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/764719-overview#a1