Fenomena Antivaksin: Bagaimana Menyikapinya?
Menilik sikap pemerintah terhadap fenomena antivaksin
Vaksin merupakan sebuah harapan baru di tengah situasi pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo menjadi orang pertama di Indonesia yang menerima vaksin Covid-19 buatan Sinovac. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK 01.07/Menkes/12758/2020, tujuh vaksin telah ditetapkan untuk program vaksinasi Covid-19 di Indonesia, yaitu vaksin yang diproduksi oleh PT Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Novavax Inc, Pfizer Inc and BioNTech, dan Sinovac. Vaksin-vaksin tersebut telah melalui uji klinis tahap ketiga.
Vaksinasi dapat menjadi salah satu kunci terwujudnya herd immunity, tetapi banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai tahapan tersebut. Tidak bisa dimungkiri bahwa vaksinasi menuai penolakan dari berbagai pihak. Fenomena antivaksin ini bukanlah hal baru dalam sejarah vaksinasi, namun dapat menghambat kesuksesan penanganan pandemi.
Lembaga Populi Center mengungkapkan bahwa 40% warga menyatakan penolakan terhadap vaksinasi dari pemerintah pada pertengahan Desember lalu. Menurut survei yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization, Aceh dan Sumatra Barat merupakan dua provinsi dengan tingkat penolakan vaksin tertinggi, yakni dengan angka penerimaan vaksin Covid-19 sebesar 46% dan 47%.
Penolakan terhadap vaksin Covid-19 mencerminkan masih kurang efektifnya edukasi pemerintah kepada masyarakat. Tampaknya, salah satu upaya pemerintah untuk menyampaikan informasi mengenai pandemi, yakni covid.go.id, masih belum memberikan dampak signifikan dalam menangani permasalahan ini.
Salah satu hal penting yang harus lebih ditekankan oleh pemerintah dalam edukasi ini adalah aspek keamanan vaksin. Penyebaran informasi mengenai data aktual uji klinis vaksin dapat mengatasi kekhawatiran masyarakat akan efek samping vaksin. Menurut hasil uji klinis tahap ketiga, vaksin Sinovac menunjukkan bahwa efek samping derajat berat seperti sakit kepala, gangguan kulit, dan diare hanya terjadi sekitar 0,1-1% dan dapat pulih kembali. Demikian pula dengan vaksin Pfizer dan Moderna yakni dengan persentase timbulnya efek samping berat sebesar 1,5% dan 4,1%.
Poin lain yang dapat ditekankan oleh pemerintah adalah komposisi vaksin. Keterbukaan ini diharapkan dapat menepis hoaks terkait komposisi vaksin yang beredar di masyarakat, seperti hoaks microchip. Masyarakat awam akan lebih merasa tenang apabila dapat mengetahui komposisi vaksin dan tidak menemukan senyawa berbahaya di dalamnya.
Sebagian masyarakat lain menolak vaksin Covid-19 karena ragu akan efikasinya. Berdasarkan hasil uji klinis tahap ketiga, vaksin SINOVAC memiliki efikasi 65,3%. Meskipun tidak terlalu tinggi, vaksin mampu memberi manfaat yang besar. Hal ini ditunjukkan dari penggunaan vaksin flu di Amerika Serikat. Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), efikasi vaksin flu di Amerika Serikat berkisar antara 19-60% selama 11 tahun terakhir, dengan rata-rata 43%. Meskipun demikian, vaksin flu tersebut berhasil mencegah 4,4 juta kasus flu, 58 ribu kasus flu berat yang harus dirawat, dan 3500 kematian pada musim flu 2018-2019. Selain itu, studi oleh Batch dan rekannya menyatakan bahwa pemberian vaksin dengan efikasi senilai 40% kepada separuh rakyat Amerika Serikat mampu mencegah 61 juta kasus Covid-19, sembilan juta kasus yang harus dirawat, dan 742 ribu kematian.
Selain edukasi, pemerintah mulai mengambil langkah hukum untuk mengatasi penolakan vaksin. Menurut Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 pasal 13A ayat 4, sanksi berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda dapat diterapkan kepada sasaran penerima vaksin Covid-19 yang menolak. Walaupun demikian, kebijakan ini juga menghadirkan beragam spekulasi dari kelompok antivaksin, yaitu kecurigaan akan adanya kepentingan perusahaan farmasi di balik kewajiban vaksinasi tersebut.
Vaksin bukanlah satu-satunya kunci untuk mengakhiri pandemi, namun dapat memberikan harapan besar bagi kita semua. Maka dari itu, penolakan vaksin merupakan salah satu tantangan sosial yang dapat menghambat upaya tercapainya herd immunity. Pemerintah perlu memperkuat strategi edukasi untuk meminimalisasi penolakan masyarakat terhadap vaksin Covid-19. Penyajian fakta-fakta terkait keamanan dan peran efikasi vaksin sangat dibutuhkan dalam strategi ini. Masyarakat yang teredukasi dengan baik akan menghadirkan atmosfer yang kondusif untuk mengakhiri pandemi.
Penulis: Hendra Gusmawan
Editor: Ariestiana Ayu Ananda Latifa