Gagal Jantung

Definisi dan Informasi Umum

Gagal jantung merupakan keadaan dimana seseorang mengalami gejala-gejala gagal jantung, seperti sesak napas atau kelelahan, retensi cairan, serta adanya bukti gangguan struktur atau fungsi jantung. Kondisi ini merupakan salah satu masalah penyakit kardiovaskular yang cukup serius di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2013, diperkirakan prevalensi gagal jantung di Indonesia pada penduduk usia >=15 tahun adalah sebesar 0,13%, atau sekitar 229.696 orang.1,2

Gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan kelainan struktur jantung ataupun berdasarkan kapasitas fungsionalnya (NYHA). Pembagian kelas dan stadium untuk setiap klasifikasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.1,2

gagal jantungGambar 1. Klasifikasi gagal jantung.1

Tanda dan Gejala

Beberapa gejala tipikal dari gagal jantung adalah sesak napas, ortopneu, paroxysmal nocturnal dyspnea (sesak napas parah dan batuk pada malam hari saat tidur), mudah lelah terutama saat beraktivitas, serta edema pada pergelangan kaki. Selain itu, terdapat beberapa gejala lainnya yang tidak tipikal, seperti batuk pada malam atau dini hari, mengi, perasaan kembung, dan sebagainya.1

Selain gejala-gejala di atas yang dikeluhkan pasien, beberapa tanda spesifik yang juga dapat menandakan adanya gagal jantung adalah sebagai berikut1:

  • Peningkatan tekanan vena jugular (JVP)
  • Refluks hepatojugular
  • Terdapat suara jantung S3 dan terdapat bising jantung
  • Apeks jantung bergeser lebih ke lateral

Beberapa tanda atipikal lain yang dapat ditemukan adalah asites, edema perifer, krepitasi pulmonal, takikardia, dan sebagainya1. 

Etiologi dan Patogenesis

Beberapa etiologi yang mungkin menyebabkan gagal jantung antara lain adalah penyakit jantung koroner (paling sering), gangguan katup jantung, kardiomiopati, hipertensi, aritmia, atau bahkan infeksi.3

Secara umum, gagal jantung dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (heart failure with reduced ejection fraction, HFrEF) dan gagal jantung tanpa penurunan fraksi ejeksi (heart failure with preserved ejection fraction, HFpEF).3

Pada HFrEF, umumnya terjadi gangguan kontraksi otot jantung terlebih dahulu. Jantung mungkin terisi dengan baik saat fase diastol, namun karena otot jantung yang melemah, darah yang terpompa keluar tidaklah maksimal saat sistol. Akibatnya terjadi penumpukan cairan, sehingga volume akhir diastol meningkat. Menurut hukum Frank-Starling, peningkatan volume akhir diastol juga akan meningkatkan kuat kontraksi. Akan tetapi, lama-kelamaan mekanisme kompensasi ini dapat gagal sehingga curah jantung turun disertai dengan dilatasi ventrikel.3

Sebaliknya, pada HFpEF, fungsi sistolik cenderung normal, namun terdapat gangguan pengisian jantung pada saat diastol. Akibatnya, curah jantung berkurang karena darah yang masuk ke ventrikel lebih sedikit, namun karena fungsi sistolik masih bagus, fraksi ejeksi jantung tidak berubah.3

Patofisiologi

Baik HFrEF maupun HFpEF keduanya menyebabkan penurunan curah jantung serta kerja jantung yang menjadi tidak maksimal saat aktivitas fisik. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan baroreseptor. Refleks baroreseptor akan memicu suatu respons neurohumoral sebagai kompensasi, yaitu melalui sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Akibatnya, terjadi peningkatan denyut jantung serta tekanan darah melalui retensi garam dan cairan.3

Lama-kelamaan, ketika cairan terus menumpuk, namun jantung tetap tidak dapat memompa secara adekuat, terjadi peningkatan tekanan pada ventrikel jantung yang dapat menyebabkan ventrikel dan atrium membesar. Terjadi aliran balik darah ke arah vena pulmonalis menyebabkan ekstravasasi cairan ke alveoli, dan terjadilah edema paru. Hal ini menimbulkan gejala sesak napas pada pasien gagal jantung. Selain itu, penumpukan cairan dan aliran balik darah dari sisi kiri akan meningkatkan tekanan arteri pulmonalis dan jantung sisi kanan, sehingga terjadi pula gagal jantung sisi kanan yang ditandai dengan edema perifer.3

Diagnosis

Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan melalui gambaran elektrokardiogram (EKG), X-ray dada, ekokardiografi, ataupun pemeriksaan laboratorium. Saat ini, ekokardiografi merupakan modalitas yang paling baik untuk evaluasi gangguan sistolik dan diastolik. Berdasarkan Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung Indonesia, alur diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung dapat dilihat pada gambar berikut.1,4

gagal jantung
Gambar 2. Alur diagnostik pasien gagal jantung.1

Pada foto toraks pada pasien gagal jantung, umumnya terdapat gambaran kardiomegali, hipertrofi ventrikel, kongesti vena paru, edema interstisial dan efusi pleura, garis Kerley B, dan sebagainya. Pemeriksaan laboratorium rutin seperti darah perifer lengkap, tes fungsi hati dan ginjal, dan urinalisis juga berguna untuk membantu mengonfirmasi diagnosisSelain itu, pemeriksaan beberapa marker khusus, seperti peptida natriuretik dan troponin I atau T juga dapat membantu diagnosis pasien.1,4

Pemeriksaan klinis untuk menilai status hemodinamik pasien juga perlu dilakukan. Pemeriksaan area perifer dilakukan untuk menilai adanya perfusi yang memburuk, misalnya ekstremitas yang menjadi dingin. Salah satu klasifikasi hemodinaik yang dapat digunakan untuk menilai pasien adalah klasifikasi Forrester, yang membagi pasien menjadi 4 kelas1,4:

  • Kelas I – tidak ada kongesti pulmonal maupun hipoperfusi perifer (warm and dry)
  • Kelas II – kongesti pulmonal tanpa hipoperfusi perifer (warm and wet)
  • Kelas III – hipoperfusi perifer tanpa kongesti pulmonal (cold and dry)
  • Kelas IV – terdapat hipoperfusi perifer dan kongesti pulmonal (cold and wet)

Wet/dry dinilai berdasarkan adanya tanda-tanda kongesti atau edema paru, seperti adanya sesak napas, ronki basah halus, JVP yang meningkat, edema perifer, dan asites. Sementara itu, warm/cold dinilai dari perfusi jaringan, misalnya apakah akralnya hangat atau dingin dan capillary refill time (CRT) kurang dari atau lebih dari 2 detik. Penilaian juga dapat dilakukan berdasarkan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP atau tekanan baji paru) dan cardiac index (CI). Pembagian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.1,4

gagal jantung
Gambar 3. Klasifikasi Forrester.4

Tata Laksana

Tata laksana pasien dapat dibagi menjadi tata laksana non-farmakologi dan farmakologi. Tata laksana farmakologi mencakup pemantauan berat badan, mengurangi asupan cairan, mengurangi berat badan, serta latihan fisik.1

Sementara itu, tata laksana farmakologi dilakukan dengan tujuan mengurangi morbiditas dan mortalitas, serta mencegah perburukan penyakit. Obat-obatan yang dapat diberikan mencakup diuretik disertai dengan ACE inhibitor atau ARB serta beta-blocker jika diperlukan. Strategi pengobatan secara lengkap dapat dilihat pada alur di bawah ini.1

gagal jantung
Gambar 4. Strategi pengobatan farmakologi pada pasien gagal jantung.1

Selain itu, dosis diuretik untuk pasien dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

gagal jantung
Gambar 5. Dosis diuretik untuk gagal jantung.1

Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang dapat terjadi pada gagal jantung adalah sebagai berikut:

  • Aritmia jantung
  • Gagal napas
  • Kaheksia (kehilangan otot dan berat badan)
  • Kerusakan organ lain, seperti hepar

Prognosis gagal jantung bergantung pada tingkat keparahan penyakit serta kontrol yang dilakukan untuk mencegah perburukan penyakit pasien. Terdapat pula beberapa sistem skoring yang dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien.5

Referensi

  1. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et al. Pedoman tatalaksana gagal jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015.
  2. Infodatin situasi kesehatan jantung. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
  3. Pearse SG, Cowie MR. Heart failure: classification and pathophysiology. Medicine. 2014;42(10):556-61.
  4. Dec GW, Narula J. Practice guidelines for the diagnosis and management of systolic heart failure in low- and middle-income countries. Global Heart. 2013 Jun;8(2):141-70.
  5. McMurray JJ. Clinical practice. Systolic heart failure. N Engl J Med. 2010 Jan 21;362(3):228-38

Share your thoughts