Gangguan Stres Pascatrauma
Definisi
Gangguan stres pascatrauma merupakan gangguan kecemasan yang dialami oleh orang-orang setelah pengalaman yang menakutkan, mengagetkan, atau berbahaya bagi keselamatan diri (peristiwa traumatis). Contoh peristiwa traumatis adalah terlibat dalam bencana alam, menjadi saksi mata dari tindak kekerasan, mengalami penculikan, atau menjadi korban kekerasan seksual.1
Merasakan takut selama dan setelah peristiwa traumatis merupakan hal yang wajar. Ketakutan memicu berbagai perubahan dalam tubuh dalam sekejap untuk membantu melawan bahaya atau menghindar dari peristiwa tersebut. Respons yang dikenal sebagai fight-or-flight merupakan reaksi umum yang diperlukan untuk melindungi diri dari marabahaya. Hampir semua orang menunjukkan reaksi dan emosi yang berbeda-beda setelah trauma, tetapi sebagian besar bebas dari gejala-gejala awalnya secara alamil. Riset menunjukkan bahwa 25% dari orang yang telah mengalami peristiwa traumatik akan tetap mempunyai potensi untuk mengalami gangguan stres pasca trauma.1,2
Selain gangguan stres pasca trauma, pengalaman traumatik meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan psikiatrik lainnya, seperti gangguan depresi major, gangguan panik, dan/atau gangguan cemas menyeluruh. Gangguan psikosomatik seperti hipertensi, asma bronkial tanpa kelainan organik bermakna juga dapat ditemui.2
Sinonim: Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
Gejala Klinis
Gangguan stres pasca trauma dapat terjadi sebagai konsekuensi langsung dari stres akut yang berat ataupun trauma yang berkelanjutan. Stres yang terjadi atau keadaan yang terasa tidak nyaman merupakan faktor pemicu utama.2
Terdapat empat pola gejala utama yang dijumpai pada gangguan stres pasca trauma, antara lain:1
- Gejala yang bersifat re-experiencing
- Ingatan-ingatan dalam bentuk flashback—seperti hidup kembali dalam peristiwa traumatik berulang kali, diikuti dengan gejala berupa berdebar-debar ataupun berkeringat;
- Mimpi buruk;
- Pikiran-pikiran yang mengerikan.
Gejala-gejala ini dapat menimbulkan keterbatasan dalam sosial di kehidupan sehari-hari. Kata-kata, benda, maupun situasi yang dapat mengingatkan pasien dengan peristiwa traumatik tersebut juga turut memicu gejala-gejala ini.
- Gejala menghindar
- Menjauh dari tempat, aktivitas, ataupun barang-barang yang dapat memanggil ingatan tentang peristiwa traumatik;
- Menghindari pikiran dan/atau perasaan berkaitan peristiwa traumatik.
Gejala-gejala di atas dapat membuat pasien mengubah rutinitas sehari-hari, seperti korban kecelakaan mobil memiliki kecenderungan untuk menghindari jalanan.
- Gejala terkait reaktif
- Iritabilitas, mudah merasa marah;
- Memiliki gangguan tidur—baik susah untuk tidur, susah untuk mulai tertidur, ataupun tidur yang tidak berkualitas;
- Memiliki amarah yang tidak bisa dikontrol dengan baik.
- Gejala kognitif dan mood
- Sulit mengingat beberapa kejadian-kejadian penting pada peristiwa traumatik tersebut;
- Memiliki pikiran yang negatif terhadap dirinya ataupun semesta;
- Distorsi emosional seperti rasa bersalah ataupun perilaku menyalahkan;
- Hilangnya minat ataupun kegemaran pada aktivitas yang dulu senang dilakukan.
Anak dengan gangguan stres pasca trauma dapat menunjukkan gejala yang berbeda dengan orang dewasa, antara lain:1
- Mengompol meskipun sudah menjalankan toilet training;
- Melupakan bagaimana berbicara atau tiba-tiba tidak bisa berbicara;
- Menunjukkan pola bermain bertemakan peristiwa traumatik yang ia alami;
- Menjadi dependen/clingy luar biasa pada orangtua ataupun orang dewasa lainnya.1
Etiologi dan Faktor Risiko
Menurut DSM IV, terdapat beberapa jenis kejadian yang meningkatkan risiko terkena gangguan stres pasca trauma, antara lain:2
- Kekerasan personal—kekerasan seksual, penyerangan fisik, termasuk perampokan;
- Penyanderaan;
- Penculikan;
- Serangan militer;
- Serangan teroris;
- Penyiksaan;
- Tahanan politik/tahanan perang di dalam penjara;
- Bencana alam, baik alamiah maupun buatan;
- Kecelakaan mobil berat;
- Didiagnosis mengidap penyakit berat yang mengancam kelangsungan hidup.2
Individu yang memiliki karakter extrovert ataupun berpikiran positif lebih jarang menderita gangguan stres pasca trauma. Karakteristrik peristiwa traumatik yang dialami juga berpengaruh dalam jenis reaksi psikologis yang ditimbulkan, seperti:2
- Durasi dan intensitas pencetus;
- Derajatnya terkait ancaman terhadap kehidupan seseorang;
- Berat ringannya kehilangan yang dialami, baik material maupun personal;
- Perilaku korban yang selamat pada bencana.2
Terdapat pula faktor biologik dan faktor psikodinamik dapat menjelaskan gangguan stres pascatrauma.2
Faktor Biologik
Kondisi gangguan stres dapat disebabkan oleh aktivasi beberapa sistem di otak terkait rasa takut yang dimiliki. Peristiwa traumatik membuat otak, terutama lobus prefrontal dan sistem limbik, dengan sendirinya menilai bahaya sehingga mengorganisasi respons perilaku yang sesuai. Amigdala merupakan bagian otak yang berperan sangat besar. Amigdala mengaktivasi beberapa neurotransmitter dan zat-zat neurokimiawi di otak serta memberikan reaksi darurat kepada:2
- Sistem saraf simpatis dengan katekolamin;
- Sistem saraf parasimpatis;
- Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (HPA axis);2
Perangsangan sistem simpatis meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah—reaksi ini disebut fight or flight. Reaksi ini menyebabkan aliran darah dan jumlah glukosa ke otot rangka meningkat sehingga seseorang sanggup menghadapi peristiwa tersebut atau bereaksi secara optimal. Sementara itu, reaksi parasimpatis membatasi saraf simpatis, teapi bekerja secara bebas dan tidak bergantung pada sistem saraf simpatis.2
Setelah aksis HPA terstimulasi, hipotalamus mengeluarkan zat cortico-releasing factor (CRF) serta beberapa neuropeptida regulator lannya yang menyebabkan hipofisis menyekresi pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya, hormon kortisol disekresi oleh kelenjar adrenal. Hormon kortisol berperan dalam proses akhir respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Apabila katekolamin meningkat terus menerus dan kortisol gagal, kondisi tersebut akan berujung pada ‘konsolidasi berlebihan’ dari flashback peristiwa traumatik yang terjadi.2
Faktor Psikodinamik
Peristiwa traumatik menunjukkan konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan di masa lalu tereaktivasi kembali. Hal ini menyebabkan seseorang harus mengerahkan energi untuk mengatasi kondisi mental tersebut. Hal-hal terkait aspek psikodinamik dari gangguan stres pasca trauma adalah:2
- Arti subjektif dari stresor yang dialami;
- Kemungkinan reaktivasi konfik-konflik psikologis yang belum selesai di masa lalu;
- Peristiwa traumatik menyebabkan seseorang gagal dalam regulasi keseimbangan ego, superego, dan id;
- Pengalihan dalam bentuk somatisasi;
- Sistem pertahanan yang digunakan adalah penyangkalan, projeksi, splitting, disosiasi, dan rasa bersalah.2
Diagnosis
Diagnosis hanya ditegakkan dengan dokter menanyakan riwayat peristiwa traumatik pada seseorang. Peristiwa traumatik sering kali sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya sehingga sulit untuk dikaitkan dengan gejala gangguan jiwa saat ini. Selain itu, sebagian pasien juga cenderung tertutup dalam menceritakan peristiwa traumatik tersebut.2
Kriteria diagnosis gangguan stres pascatrauma menurut DSM-IV adalah:3
- Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa:
- Individu mengalami, menjadi saksi mata, atau berhadapan langsung dengan kejadian yang mengerikan, kecelakaan serius, mengancam kehidupan, atau mengancam terhadap keutuhan fisik diri dan orang lain;
- Respons terhadap peristiwa yang sangat mengerikan, ketakutan yang luar biasa, atau keputusasaan.
- Pengalaman traumatik selalu timbul berulang dalam bentuk:
- Bayangan, pikiran, atau persepsi ulang berkaitan dengan peristiwa traumatik secara berulang dan menyebabkan penderitaan;
- Mimpi-mimpi buruk yang membuat pasien menderita;
- Merasakan/bertindak seakan-akan peristiwa tersebut terjadi kembali—dalam bentuk ilusi, hallusinasi, dan episode disosiatif flashback;
- Penderitaan psikologis dirasakan apabila berhadapan dengan hal-hal/simbol-simbol terkait peristiwa traumatik;
- Reaksi fisiologis apabila berhadapan dengan hal-hal terkait peristiwa traumatik.
- Perilaku menghindar yang menetap terhadap rangsangan terkait peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan pembekuan respons emosi, ditunjukkan dengan:
- Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, maupun pembicaraan mengenai peristiwa traumatik;
- Usaha untuk menghindari aktivitas, orang-orang, maupun tempat-tempat yang mengingatkan kembali tentang peristiwa traumatik;
- Sulit untuk mengingat kembali aspek penting terkait peristiwa traumatik;
- Penurunan ketertarikan yang jelas atau partisipasi dalam aktivitas;
- Rasa asing atau disconnected dari lingkungan/orang-orang di sekitarnya;
- Ekspresi afektif yang menjadi terbatas;
- Hilangnya motivasi untuk menata masa depan.
- Adanya gejala menetap terkait peningkatan kewaspadaan yang tidak ada sebelum peristiwa traumatik, seperti:
- Sulit untuk tidur;
- Iritabilitas dan/atau mudah marah;
- Sulit berkonsentrasi;
- Hypervigilance;
- Respons kacau yang tidak terkontrol.
- Durasi gejala pada kriteria 2, 3, dan 4 sudah terjadi lebih dari 1 bulan;
- Gejala-gejala yang dialami membuat orang tersebut menderita dan keterbatasan dalam fungsi pekerjaan, sosial, ataupun fungsi penting lain. Spesifikasi akut apabila durasi kurang dari tiga bulan, kronik apabila tiga bulan atau lebih, ataupun permulaan lambat apabila terjadi saat lebih dari 6 bulan setelah peristiwa traumatik,3
Tata Laksana
Penanganan gangguan panik dilakukan dengan farmakoterapi dan nonfarmakoterapi:2
Farmakoterapi
- Serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
SSRI yang dapat dipilih antara lain fluoxetin, sertraline, atau fluvoxamin.2
- Antidepresan lainnya
Obat-obat golongan antidepresan trisiklik juga dapat menjadi pilihan untuk mengobati.
Nonfarmakoterapi
Beberapa teknik untuk meredakan rasa cemas yang dirasakan adalah relaksasi, teknik-teknik mengatur pernapasan, latihan mengontrol pikiran. Selain itu, psikoterapi yang dapat diaplikasikan kepada pasien gangguan stres pasca trauma adalah psikoterapi kognitif-perilaku, psikoterapi kelompok, maupun hypnotherapy.2
Modifikasi gaya hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok, dan obat-obatan lainnya, serta olahraga yang teratur dapat dilakukan. Pemberian edukasi juga sangat penting karena pasien dapat mengerti perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya secara fisik maupun psikis sebagai dampak peristiwa traumatik tersebut.2
Hal lain yang tidak kalah penting adalah dukungan psikososial. Dukungan ini diperlukan untuk meminimalisasi stigma yang dapat muncul setelah didiagnosis gangguan stres pascatrauma. Dukungan bukan hanya diberikan oleh dokter, tetapi juga oleh seluruh anggota keluarga, termasuk seluruh anggota lingkungan di sekitar pasien.2
Cara Membantu Diri Sendiri
Saat menjalani terapi, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu diri, yaitu:1
- Berbicara dengan dokter terkait opsi terapi yang dapat dilakukan;
- Melakukan aktivitas fisik yang rutin untuk mengurangi stres;
- Memasang rencana yang realistis untuk masa depan;
- Menghabiskan waktu dengan orang lain—baik teman terdekat maupun keluarga;
- Menyadari bahwa gejala akan berkurang secara bertahap, bukan langsung hilang;
- Mengidentifikasi dan mencari tahu tempat-tempat, situasi, dan orang-orang yang dapat memberikan rasa nyaman yang dibutuhkan.1
Referensi
- Post-traumatic stress disorder [Internet]. US: National Institute of Mental Health; 2019 May [cited 2020 March]. Available from: nimh.nih.gov/heatlh/topics/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/
- Wiguna T. Gangguan stres pasca trauma. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editors. Buku ajar psikiatri. 3rd Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018. p.308-17.
- American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th Washington: American Psychiatric Association; 2000.