Haruskah Menteri Kesehatan Memiliki Latar Belakang Kesehatan?

Pengangkatan Budi Gunadi Sadikin sebagai menteri kesehatan memunculkan pro kontra dan bahan refleksi bagi seluruh praktisi kesehatan di Indonesia

Pandemi Covid-19 telah mengukir sejarah pada sistem kesehatan Indonesia. Pada Rabu (23/12), Jokowi resmi melantik Budi Gunadi Sadikin (BGS) sebagai Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024 untuk menggantikan Terawan Agus Putranto. Pemilihan BGS bersejarah karena beliau merupakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pertama yang tidak memiliki latar belakang kesehatan. BGS mengenyam pendidikan fisika nuklir di bangku kuliah dan justru lebih terkenal sepak terjangnya di dunia bisnis maupun perbankan. Beragam opini pun muncul di kalangan masyarakat menanggapi keputusan Jokowi tersebut. Lantas, apakah seorang menteri kesehatan harus memiliki latar belakang kesehatan?

Secara legal, pengangkatan BGS sebagai menteri kesehatan adalah keputusan yang sah karena tidak ada peraturan yang mengharuskan jabatan menteri kesehatan diduduki oleh personil yang memiliki latar belakang kesehatan atau menyandang profesi kesehatan tertentu. Syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi menteri tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 Pasal 22 Ayat 2. Namun, undang-undang tersebut belum menjelaskan spesifik terkait kriteria menteri kesehatan.

Menteri kesehatan bertugas untuk membantu presiden menjalankan dan menyelesaikan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Urusan tersebut meliputi penyusunan kebijakan, pembuatan pedoman, penyusunan rencana nasional, penetapan perjanjian internasional, penerapan teknologi, pemberantasan wabah, dan lain-lain. Untuk itu, hal yang paling penting dikuasai oleh menteri kesehatan adalah pengetahuan yang mendalam tentang berbagai masalah kesehatan.

Banyak asumsi yang menyatakan pentingnya latar belakang kesehatan bagi menteri kesehatan. Orang yang telah mengalami langsung pekerjaan dan profesi sebagai tenaga kesehatan akan lebih mengerti kebutuhan dan kesulitan yang dialami oleh sesama tenaga kesehatan. Dengan begitu, setiap kebijakan yang disusun dapat berpihak pada kesejahteraan tenaga kesehatan di samping tetap mengutamakan kesehatan bangsa.

Dalam perumusan berbagai kebijakan pun, menteri kesehatan akan banyak bekerja dan berdiskusi bersama ahli dan praktisi kesehatan. Oleh karena itu, dasar pengetahuan mengenai ilmu kesehatan sangat mendukung terciptanya kerja sama dan diskusi yang efisien.

Walaupun begitu, keputusan Jokowi untuk mengangkat BGS menjadi menteri kesehatan bukanlah tanpa alasan. Jokowi, beserta pemimpin berbagai negara lainnya seperti Singapura, Jerman, Inggris, dan Selandia Baru, tentu menemukan logika yang masuk akal dibalik pengangkatan seorang yang tidak berlatar belakang kesehatan untuk menjadi tangan kanan mereka dalam menuntaskan masalah kesehatan. Buktinya, para menteri kesehatan negara tersebut itu dianggap telah berhasil menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan di negara masing-masing.

Salah satu alasan tersebut adalah menteri kesehatan tidak bertugas untuk menyelesaikan masalah medis yang kompleks seperti yang dilakukan oleh dokter di ruang praktek. Ranah tugas menteri kesehatan adalah manajemen strategis untuk memastikan bahwa sistem kesehatan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Penyelesaian masalah kesehatan tidak hanya membutuhkan keahlian kesehatan tetapi juga keahlian di bidang lain. Pada masa pandemi Covid-19 ini, Jokowi mungkin saja menghendaki penuntasan pandemi, yang merupakan masalah kesehatan, melalui kacamata ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa dipilihnya BGS sebagai menteri kesehatan menjadi masuk akal dengan harapan dapat menangani Covid-19 dengan pertimbangan ekonomi, selagi tetap dalam arahan para ahli kesehatan.

Pada akhirnya, menteri kesehatan yang berlatar belakang kesehatan atau non-kesehatan memberikan nilai tambahnya masing-masing. Hal yang menarik adalah fenomena ini melahirkan pertanyaan baru: Apakah Indonesia mulai kehilangan praktisi kesehatan yang mumpuni untuk menjadi seorang menteri kesehatan? Apakah orang yang tidak memiliki latar belakang kesehatan sama sekali ternyata lebih sukses menangani masalah kesehatan? Berkaca dari peristiwa bersejarah ini, hendaknya seluruh praktisi kesehatan Indonesia menjadikannya bahan refleksi dan dorongan untuk terus berbenah diri dan beradaptasi dengan tuntutan kesehatan masyarakat Indonesia pada zaman ini.

 

Penulis:
Albertus Raditya Danendra
Mahasiswa Tingkat III Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Share your thoughts