Impian

Impian saya telah tercapai, lantas mengapa semua masih terasa sama?

impian

“Maaf, kemampuanmu tidak sesuai dengan kualifikasi yang kami butuhkan” adalah kalimat pertama yang terucap oleh seorang penyanyi bar terkenal atas lamaran Rustam. “Lagi pula, pianis kami lebih baik darimu”, tambahnya. 

Rustam adalah seorang musisi andal sekaligus guru musik dari suatu kelompok musik anak-anak. Aliran musik jaz mengalir deras dalam darah yang diturunkan oleh ayahnya. Akan tetapi, ibunya tidak pernah menyetujuinya dalam bermain musik lantaran menganggap ayahnya telah gagal dalam menempuh jalan tersebut. 

Keseharian Rustam saat ini pun tidak jauh dari musik. Pada pagi hari, ia selalu mengajar kelompok musik anak-anak di sekolah, meski jumlah muridnya semakin lama semakin sedikit. Setelah itu, musisi andal ini menghabiskan waktunya untuk berlatih dan menyempurnakan teknik bermain pianonya. Berkeinginan menempuh karier yang lebih cemerlang, menjadi pianis di bar Mustard adalah mimpi yang diidamkannya selama ini. 

Suatu hari, telepon berdering kencang layaknya kabar darurat hadir. Rustam, yang saat itu masih tidur, tiba-tiba terbangun dan mengangkat gawai tua miliknya. “Halo, apakah ini Rustam?” Rustam balik bertanya, “Benar, dengan siapa ini?” 

“Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Jika saya berikan kamu satu permintaan untuk mengubah hidupmu, apa yang akan kamu minta?” tanya orang misterius tersebut. Rustam terdiam sejenak, lalu menutup telepon tersebut sambil berkata “Orang gila, zaman sudah modern, penipuan masih menggunakan cara kuno.”

Setelahnya, telepon berdering kembali, tetapi kali ini ada perasaan yang sangat menarik dari nomor orang yang tak dikenal tersebut. Rustam kembali mengangkat gawainya dan terdengar suara yang berbeda. “Apakah ini Rustam?” tanya orang tersebut. “Ya, saya sendiri. Tindakan penipuanmu sangat kuno,” jawab Rustam. 

Tak disangka, jawaban muncul “Hari yang buruk, bukankah? Saya ingin menawari Anda mengisi posisi pianis di bar Mustard. Kebetulan yang sebelumnya sudah saya pecat. Saya tunggu Anda lusa pukul 19.00 untuk ujian.” Rustam tertegun dan segera mengiyakan tawaran yang menghampirinya bagai mimpi tersebut.

Hari berlalu, ia menyiapkan not-not piano terbaiknya untuk dibawakan nanti. Latihan rutin dilakukannya terus-menerus hingga tidak ada kesalahan yang terjadi. Rambutnya secara khusus ditata oleh tukang potong rambut di salon idamannya. Baju spesial yang ia kenakan berasal dari pemberian ayahnya. Tak lupa, ia juga meliburkan pengajaran di sekolah demi hari yang sangat penting tersebut.

Waktu ujian tiba, nada piano ia mainkan dengan begitu indah terpadu dengan nyanyian khas yang dibawakan oleh penyanyi terkenal. “Mantap, permainan yang begitu bagus. Kalau begitu, mulai besok silakan kamu datang pada jam yang sama,” kata penyanyi sekaligus penentu kelulusan dirinya. Ia pulang dari bar tersebut dan merayakan keberhasilannya dengan sukacita. Menurutnya, hari tersebut seakan-akan menjadi penanda baru, pembuka jalan, dan pengubah nasib. 

Keesokan harinya, ia datang kembali dan pulang dengan kondisi yang sama. Begitu juga dengan hari-hari selanjutnya. Hari demi hari berlalu, siklus yang sama berulang dan terus berulang. Namun, muncul perasaan tidak puas di hati Rustam. Selama ini, ia yakin menjadi pianis di bar Mustard akan menjadi titik tolak perubahan hidupnya. Nyatanya, hidupnya tidak jauh berbeda. Satu minggu kemudian, setelah Rustam menyelesaikan pekerjaannya, ia bertanya kepada penyanyi terkenal yang menjadi pasangan kariernya sekarang, “Aku telah mencapai puncak dalam pegununganku, tetapi mengapa semuanya masih terasa sama dan biasa saja?”. 

Pertanyaannya dibalas dengan suatu perumpamaan, “Saya pernah mendengar sebuah cerita mengenai seekor ikan muda. Ia berenang mendekat ke ikan yang lebih tua dan berkata, ‘Aku sedang mencoba mencari sesuatu yang hebat, dikenal dengan nama samudra.’ 

‘Samudra?’ Tanya ikan yang lebih tua kebingungan, ‘Kita sedang berada di  samudra, nak’. 

‘Ini? Oh tidak, ini hanyalah air. Yang saya cari adalah samudra,’ kata ikan muda tersebut. Pada akhirnya, ia masih terus mencari samudra hingga wafat.”

Penulis: Kelvin Kohar
Editor: Ariestiana Ayu Ananda Latifa

Share your thoughts