Kejenuhan dalam Kehidupan

Mencari makna dalam keseharian tanpa tujuan

kejenuhan dalam kehidupan

Sambil menggandeng rasa lelah, aku disambut siraman air deras dan hembusan angin yang menusuk seraya melangkah ke luar gedung kantor. “Hujan lagi,” keluhku dalam hati. Sudah beberapa hari ini aku bertarung melawan hujan untuk mencapai pintu rumahku. Namun, hari ini aku akhirnya menyerah. Aku tidak ingin membayangkan nasib payungku yang harus berusaha melindungiku dari derasnya air yang jatuh. Dengan pasrah, aku kembali masuk ke dalam kantor untuk menunggu hujan berlalu.

Sambil meneduh, pikirku pun melayang ke mana-mana. Sudah bertahun-tahun lamanya aku bekerja di kantor ini. Mengulangi terus kebiasaan yang sama setiap harinya, hingga dapat kulakukan sambil menutup mata. Bagai hidup seperti seekor kerbau, waktuku sejak terbangun di pagi hari hingga tertidur di malam hari hanya dihabiskan untuk bekerja. Kulakukan semua itu agar mampu bertahan hidup.

“Belum pulang, Pak?” tanya seorang petugas kebersihan yang berhasil mengalihkan pikiranku. “Belum,” jawabku singkat sambil mengarahkan pandanganku pada sumber suara. Petugas kebersihan itu terlihat asing; seorang pemuda bertubuh kurus yang tampak seperti mahasiswa kampus ternama di kota besar. “Saya sepertinya belum pernah melihat kamu. Kamu baru bekerja di sini?” tanyaku kepada pemuda tersebut. “Iya, Pak,” jawabnya sambil melengkungkan senyum lugu, “saya baru mulai kerja sejak minggu ini.” Pantas saja, sepertinya ini adalah kali pertama aku bertemu dengan pemuda ini.

Untuk menghilangkan rasa bosan, aku memutuskan untuk menunggu hujan yang tak kunjung reda sambil mendengarkan lagu. Baru saja aku hendak mengeluarkan earphone, pemuda tersebut melayangkan sebuah pertanyaan lain. “Dulu.., kenapa Bapak memutuskan untuk bekerja di kantor ini?” tanya pemuda itu sambil membersihkan lantai. Mendengar pertanyaan tersebut, aku siap membuka mulut untuk menjawabnya. Namun, aku tiba-tiba terdiam. Aku tidak tahu. Lebih tepatnya, aku sudah lupa. Tidak ada sedikit pun ingatan dan kenangan mengenai masa-masa awalku mulai bekerja yang tergambar dibayangku. Seluruhnya sudah pudar terhapus rasa jenuh akan pekerjaan ini.

Alhasil, aku pun hanya terdiam dan tidak dapat menanggapi pemuda tersebut. Demi mengisi kesunyian yang membuat suasana canggung, lawan bicaraku menceritakan alasan dirinya bekerja. “Kalau saya, saya bekerja supaya bisa tetap kuliah. Bisnis ayah saya hampir bangkrut, beliau tidak sanggup menanggung biaya kuliah saya.” Mendengar tujuan mulia tersebut, aku sangat terkagum dengan pemuda tersebut. “Hebat kamu, Dek. Bekerja untuk meneruskan pendidikan,” ucapku. Sungguh ironis, aku yang sudah memiliki pekerjaan tetap malah tidak memiliki impian apapun.

“Ah, tidak. Kalau bisa saya ingin mempunyai pekerjaan seperti Bapak,” balas pemuda itu. Sebuah tanggapan yang sama sekali tidak kusangka. Ia ingin melakukan pekerjaan yang membosankan dan melelahkan ini? Sudah berpuluh kali aku memikirkan untuk mencari jalan lain. “Kenapa kamu mau bekerja seperti saya?” tanyaku lantaran terheran. Pemuda tersebut menjawab, “kalau saya mempunyai pekerjaan seperti Bapak, saya dapat menghidupi diri saya sendiri sambil membantu ayah saya.”

Setelah menjawab pertanyaanku, pemuda tersebut kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan lantai kantor yang dipenuhi jejak sepatu pegawai kantor di kala meneduh. Kemudian, aku kembali terjun dalam pikiran panjangku. Selama ini, aku tidak dapat menemukan tujuan hidup dari diri sendiri. Bagaimana jika aku mencari tujuan tersebut melalui orang lain? Melalui orang-orang yang masih berusaha meraih impian? Melalui orang-orang di sekitarku? Dengan membantu orang lain seperti pemuda giat itu, mungkin saja pekerjaanku akan menjadi lebih berarti. Tidak, mungkin saja seluruh hidupku akan lebih berarti. Aku melihat ke luar melalui jendela kantor. Hujan terlihat sudah mulai reda. Kulanjutkan perjalananku untuk kembali ke rumah, tidak sabar untuk melepas penatku dari kesibukan hari ini.

Hari ini, aku masih pulang sebagai seekor kerbau. Seekor kerbau yang selangkah lebih dekat untuk menjadi manusia.

Penulis: Ryan Andika
Editor: Ariestiana Ayu Ananda Latifa

kejenuhan dalam kehidupan

kejenuhan dalam kehidupan

kejenuhan dalam kehidupan

Share your thoughts