Kematian Ibu dan Anak: Cerminan Kualitas Fasilitas Kesehatan Indonesia
Di saat rerata kematian ibu dan anak dunia menurun, justru angka di Indonesia masih tinggi. Apa yang salah?
Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan suatu negara. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), sebanyak 2,4 juta anak meninggal di bulan pertama kehidupan pada tahun 2019. Angka yang tinggi juga ditunjukkan pada AKI pada tahun 2017, yaitu mencapai 295 ribu kematian. Meskipun telah terjadi penurunan angka yang cukup signifikan sejak tahun 1990, banyak dari negara berkembang masih memiliki tingkat kematian yang tinggi setiap tahun. Salah satunya adalah Indonesia.
Sejak tahun 2017 hingga 2019, Indonesia bertahan menempati peringkat 10 besar negara dengan AKI dan AKB tertinggi di dunia. Rerata AKI di Indonesia masih berada di angka 305 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di Indonesia juga menunjukkan hasil yang tak kalah tinggi, mencapai 15 per 1000 kelahiran hidup dengan 40% bayi meninggal dalam 24 jam pertama kehidupan. Tingginya angka-angka tersebut membuat pemerintah mengangkat masalah AKI dan AKB menjadi salah satu dari enam isu kesehatan yang diprioritaskan oleh Kementerian Kesehatan di tahun 2021.
Penyebab utama kematian ibu dan anak di Indonesia adalah komplikasi yang tidak diprediksi dan ditangani dengan baik oleh pelayanan kesehatan selama kehamilan. Sekitar 75% penyebab kematian ibu adalah preeklampsia/eklampsia, perdarahan dan infeksi pasca-persalinan, serta aborsi yang tidak aman. Sementara itu, penyebab utama kematian bayi berkaitan erat dengan penanganan pasca-kelahiran dan pelayanan persalinan ibu. Secara otomatis, kesehatan bayi baru lahir akan selaras dengan kesehatan ibu.
Angka kematian ibu dan anak yang tinggi di Indonesia mengindikasikan kurangnya kualitas pelayanan kesehatan dan kesenjangan dalam pemberian layanan kesehatan. Dibutuhkan kesiapan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berkualitas untuk dapat memprediksi dan menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil. Selain itu, sistem rujukan yang tidak efektif sehingga tertundanya pelayanan juga menjadi salah satu penyebab AKI dan AKB tinggi.
Dalam rangka menurunkan AKI dan AKB, pemerintah telah membuat program Gerakan Sayang Ibu (GSI) sejak tahun 1996. Program ini dilaksanakan di kecamatan dengan melakukan pendekatan sosial budaya kepada masyarakat. Program-program yang terdapat di dalam GSI di antaranya pengorganisasian kemitraan dukun bayi dengan bidan, sistem tabungan ibu bersalin (tabulin), pengorganisasian ambulans dan donor darah pada desa binaan, mekanisme rujukan yang jelas, pengorganisasian kader penghubung, suami siaga, warga siaga, bidan siaga, pencegahan kematian ibu dan kematian bayi, ASI eksklusif, dan lain sebagainya.
Selain program GSI, pemerintah juga telah membuat terobosan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 untuk menurunkan AKI dan AKB. Upaya utama yang direncanakan adalah meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan ibu dan anak, seperti puskesmas, bidan praktik swasta, serta 120 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kabupaten/Kota. Pemerintah juga merencanakan untuk menempatkan dokter spesialis sebanyak 700 orang per tahun pada fasilitas kesehatan yang tersedia. Tak hanya itu, pemerintah juga merencanakan pemberdayaan organisasi kemasyarakatan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk membantu pelaksanaan program penyuluhan kepada ibu hamil.
Program-program yang telah ditawarkan pemerintah sudah cukup baik dan direncanakan dengan matang. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak yang belum optimal sehingga AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi. Pemerintah perlu terus meningkatkan kualitas dan akses fasilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selain itu, ada baiknya apabila program-program tersebut lebih diperkenalkan pada masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih berpartisipasi aktif. Dengan partisipasi masyarakat, diharapkan AKI dan AKB dapat ditekan secara drastis.