Kenaikan Cukai Rokok: Paru Sehat, Ekonomi Meningkat

Bertujuan untuk menekan jumlah perokok, bagaimana efektivitasnya untuk kesehatan dan ekonomi?

kenaikan tarif cukai rokok

Kementerian Keuangan Republik Indonesia baru saja mengeluarkan peraturan baru untuk menaikkan harga rokok dan produk tembakau lain. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK0.10/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, Kemenkeu menetapkan bahwa tarif cukai rokok rata-rata akan naik sebesar 12%. Kebijakan tersebut resmi berlaku pada 1 Januari 2022 lalu walaupun sudah efektif dua belas hari sebelumnya, yaitu pada 20 Desember 2021. Salah satu tujuan dari peraturan ini adalah untuk menekan tingginya jumlah perokok di Indonesia, terutama perokok di kalangan anak-anak.

Seribu Perokok, Sejuta Konsekuensi

Proliferasi industri dan pasar domestik rokok adalah suatu perkara yang cukup unik di Indonesia karena menimbulkan banyak masalah di berbagai aspek. “Kalau di bidang paru, 80—90% penderita kanker paru memiliki riwayat merokok dan kita tahu sejauh ini kanker paru belum ada obatnya,” ungkap dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), M.Pd.Ked, staf Divisi Paru Kerja dan LingkunganDepartemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan. Selain kanker, perokok juga dua sampai sembilan kali lebih rentan terkena tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan berisiko mengalami gejala Covid-19 yang lebih berat.

Perokok memiliki konsekuensi kesehatan berat berupa peningkatan morbiditas dan mortalitas. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap produktivitas seseorang untuk menafkahi keluarganya. Di samping itu, pengeluaran untuk rokok akan memakan jatah untuk kebutuhan pokok. “Anak-anak di kelompok ini bisa mengalami kurang gizi dan stunting akibat uang yang lebih diperuntukkan untuk membeli rokok,” ujar Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Alumnus University of California tersebut juga mengungkapkan bahwa sekitar 40% kelompok masyarakat miskin memilih membeli rokok dibandingkan beras yang notabene merupakan makanan pokok.

Pada anak-anak, asap rokok yang terhirup baik sebagai perokok aktif maupun pasif dapat turut berkontribusi dalam terciptanya sumber daya manusia yang kurang berkualitas. “Disebut-sebut generasi emas, tetapi memiliki masalah seperti stunting, gangguan tumbuh kembang, dan adiksi pula nanti saat remaja. Itu bukanlah generasi emas yang kita harapkan,” tegas Feni.

Kenaikan Tarif Cukai Rokok, Untung atau Buntung?

Kenaikan tarif cukai rokok otomatis akan meningkatkan harga eceran rokok. Permintaan rokok diperkirakan akan menurun karena harganya yang menjadi lebih tidak terjangkau. Tobacco Control Advocacy dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) telah menelaah beberapa dampak spesifik dari kenaikan tarif cukai rokok. Simulasi ekonomi CISDI mengenai kenaikan cukai sebesar 23% yang ditetapkan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa kenaikan tersebut mampu menurunkan konsumsi rokok kretek dan rokok putih berturut-turut sebesar 17,32% dan 12,79%.

CISDI juga melakukan sebuah simulasi dengan anggapan cukai rokok naik 45%. Berdasarkan simulasi tersebut, didapatkan penurunan konsumsi rokok kretek dan putih sebesar 27,74% dan 19,50%. Dari segi ekonomi, pengeluaran yang dialokasikan rokok akan menurun sebesar 25,47 triliun rupiah sehingga dapat digunakan untuk pengeluaran di luar komoditas rokok. Model tersebut juga memperkirakan bahwa kenaikan cukai rokok 45% dalam kondisi optimal akan tetap menghasilkan tambahan pendapatan 7,92 triliun rupiah. “Dalam riset ini, kita juga ingin menjawab kekhawatiran negara/pemerintah karena tidak bisa dipungkiri, rokok ini masih menjadi salah satu sumber penerimaan negara,” papar Lara Rizka, Project Officer for Tobacco Control CISDI.

Selain berdampak positif pada makroekonomi, perkiraan CISDI juga menunjukkan bahwa ketetapan tersebut dapat menekan pengeluaran kesehatan negara. Pada tahun 2019, estimasi CISDI terhadap pengeluaran BPJS-K untuk penyakit akibat merokok adalah 10,510 sampai 15,582 triliun rupiah. Angka tersebut berkontribusi 61,76—91,8% dari defisit BPJS-K tahun 2019. Pengeluaran yang fantastis tersebut belum termasuk biaya yang ditanggung oleh asuransi swasta. Total pengeluaran BPJS-K dan asuransi swasta untuk penyakit akibat rokok diperkirakan mencapai 17,922 hingga 27,670 triliun rupiah. Dari perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengurangan jumlah perokok akan memiliki hasil yang sangat nyata.

Cukai Rokok Naik, Jumlah Perokok Turun?

Meski simulasi di atas memberi kesan bahwa kenaikan tarif cukai rokok dapat menurunkan angka perokok, efektivitasnya di dunia nyata masih diperdebatkan. Berkaca dari kebijakan cukai rokok yang sebelumnya telah berlaku, nampaknya usaha tersebut belum mampu menurunkan jumlah perokok. Sebaliknya, kebiasaan merokok di kalangan masyarakat justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Hasbullah, fenomena tersebut mungkin disebabkan oleh masifnya promosi produk rokok ketimbang promosi anjuran untuk berhenti rokok. “Coba lihat, dalam sehari ada berapa banyak iklan rokok yang tayang? Bandingkan dengan jumlah iklan layanan masyarakat terkait edukasi rokok, bisa jadi tidak ada. Sederhana saja. Tak heran angka perokok lima tahun terakhir ini malah meningkat,” tandas Hasbullah.

Pendapat mengenai kurangnya efektivitas kenaikan tarif cukai rokok untuk menghentikan kebiasaan merokok juga disetujui oleh pihak CISDI. “Berdasarkan survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), hampir 80% responden menyatakan bahwa mereka akan berhenti merokok jika harganya sudah mencapai Rp70.000,00 ke atas,“ terang Iman Mahaputra Zein, Lead Creative Advocacy CISDI. Kebijakan menaikkan tarif cukai tahun 2020 lalu pun menunjukkan hasil yang serupa. Pada saat itu, cukai rokok dinaikkan sebesar 23% dan penurunan angka perokok hanya sekitar belasan persen. “Efektif atau tidaknya kebijakan harga ini masih belum terbukti di Indonesia. Sampai saat ini pun kebijakan rokok belum cukup tinggi hingga melebihi daya beli masyarakat,” pungkas Iman.

Kenaikan tarif cukai rokok merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Sayangnya, kebijakan ini dinilai masih kurang efektif untuk mengurangi angka perokok sampai saat ini. Fenomena tersebut dikaitkan dengan harga rokok yang relatif masih terjangkau oleh daya beli masyarakat bahkan setelah kebijakan ini diterapkan. Kenaikan tarif yang tidak signifikan ini belum mampu mendorong masyarakat untuk berhenti merokok. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pengkajian ulang untuk meningkatkan persentase kenaikan tarif cukai rokok sebagai upaya menurunkan jumlah perokok di Indonesia.

Referensi

  1. Terbaru, Ini Daftar Harga Rokok 2022 – Ekonomi Bisnis.com [Internet]. [cited 2022 Feb 5]. Available from: https://ekonomi.bisnis.com/read/20220103/9/1484738/terbaru-ini-daftar-harga-rokok-2022
  2. Media KC. Sah, Cukai Rokok Naik Mulai 1 Januari 2022 Halaman all [Internet]. KOMPAS.com. 2021 [cited 2022 Feb 5]. Available from: https://money.kompas.com/read/2021/12/30/082000826/sah-cukai-rokok-naik-mulai-1-januari-2022
  3. Nurhasana R, Ratih SP, Dartanto T, Moeis FR, Hartono RK, Satrya A, et al. Public support for cigarette price increase in Indonesia. Tobacco Control [Internet]. 2020 Dec 18 [cited 2022 Feb 5]; Available from: https://tobaccocontrol.bmj.com/content/early/2020/12/18/tobaccocontrol-2019-055554
  4. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives. (2021). The 2019 Health Care Cost of Smoking in Indonesia. Jakarta: CISDI.
  5. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives. (2021). The macroeconomic impacts of tobacco taxation in Indonesia. Jakarta: CISDI.

Penulis: Benedictus Ansell Susanto dan Nada Irza Salsabila
Editor: Amanda Safira Aji

Share your thoughts