Kenali Cacar Monyet, Hindari Pandemi Berikutnya

Langkah deteksi dan mitigasi yang tepat kunci pencegahan penyebaran massal

monkeypox cacar monyet

Peningkatan insidensi penyakit cacar monyet atau monkeypox di berbagai penjuru dunia berpotensi untuk menyebabkan wabah baru. Merespon hal tersebut CME FKUI (Continuing Medical Education Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), menyelenggarakan Webinar Kesehatan: Indonesia Waspada Wabah Monkeypox. Webinar ini diselenggarakan secara virtual dan mengundang tenaga kesehatan serta orang-orang yang antusias terhadap isu kesehatan untuk ikut. Berlangsung pada Selasa, 9 Agustus 2022 yang lalu, terdapat tiga topik besar yang dibawakan oleh tiga narasumber, yaitu deteksi awal dan manifestasi kulit cacar monyet, perkembangan terbaru mengenai tata laksana cacar monyet, dan peran fasilitas kesehatan primer dalam mengatasi infeksi cacar monyet.

Dibuka oleh Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, FINASIM selaku dekan FKUI, yang mengingatkan pentingnya dokter dan masyarakat memperhatikan kasus cacar monyet. “Memang WHO sudah menetapkan ini (cacar monyet) sebagai sesuatu yang menjadi perhatian, mengingat sudah ada kasus yang ditemukan di negara tetangga, dan di Indonesia sendiri sudah ada kasus yang dilaporkan,” ucap Ari, “walaupun penyebarannya tidak secepat COVID, tetapi kewaspadaan dan kehati-hatian harus tetap ada di antara kita.” Berikutnya, acara dilanjutkan oleh dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH sebagai moderator.

Topik pertama, yaitu tata laksana terkini disampaikan oleh dr. Robert Sinto, Sp.PD-KPTI. Ia mengungkapkan mengenai perbedaan penampakan khas monkeypox dengan cacar-cacar jenis lainnya yaitu limfadenopati beserta lesi-lesi kulit lain yang khas, seperti pada dareah anogenital. Seseorang juga sudah dapat menularkan monkeypox pada saat muncul gejala awal, seperti sakit kepala dan demam tanpa perlu lesi pada kulit muncul terlebih dahulu, sehingga diagnosis seperti melalui PCR perlu untuk dilakukan pada saat muncul kecurigaan. Kendati kekhawatiran publik, penyakit ini merupakan kondisi yang bersifat self limiting akan tetapi perlu diperhatikan komplikasinya. Oleh sebab itu, terapi terutama bersifat suportis dan simptomatis, dengan penggunaan antivirus sejauh ini hanya pada orang yang mengalami imunokompromi. Terakhir, sebagai pesan edukasi kepada masyarakat, Robert berkata, ”Jika ada lesi pada kulit, datanglah ke dokter, gunakan masker, dan hindari pertemuan dan close skin-to-skin contact.”

Topik kedua disampaikan oleh Dr.dr. Elza Miranda, Sp.KK(K), yang menerangkan metode diagnosis awal dalam deteksi cacar monyet dan metode penyebaran. Ia mengatakan bahwa anamnesis penting dilakukan, karena penyakit ini dapat menyebar melalui banyak metode, seperti lewat droplet, kontak erat, benda yang terkontaminasi, hewan, dan hubungan seksual terutama pada LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan laki-laki). Monkeypox juga dapat terjadi sebagai koinfeksi dengan infeksi menular seksual lainnya. Wabah monkeypox kali ini juga memiliki manifestasi lesi yang berbeda dengan wabah di tahun 2003. “Pada 2022 (monkeypox), lesi bersifat atipikal, lesi dapat timbul bersamaan dalam berbagai stadium yang berbeda-beda, seperti papul, pustul, dan pseudo pustul,” ucap Eliza, “dengan lesi terlokalisasi dan terdapat gejala prodormal.” Pada sesi terakhir, topik peran fasilitas kesehatan primer dalam mengatasi monkeypox disampaikan oleh Dr. dr. Retno Asti Wardhani, M. Epid. Kepala departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI ini menjelaskan berbagai kriteria suspek, probable, dan konfirmasi. Retno juga mengungkapkan pentingnya penyelidikan secara epidemiologis serta pentingnya isolasi hingga gejala hilang agar mencegah penyebaran lebih lanjut. Harapannya, dengan berbagai informasi yang telah disampaikan, tenaga kesehatan dapat dipersiapkan lebih baik dalam menangani kondisi ini.

Penulis: Yosafat Sebastian Prayogo

Redaktur: Rheina Tamara Tarigan

Referensi:

https://www.youtube.com/watch?v=Z95XRrgi4gQ

Share your thoughts