Kerap Dicap Buruk, Apa Kata Sains Tentang “Micin”?
Micin, yang juga dikenal sebagai vetsin atau MSG (monosodium glutamat), adalah salah satu bumbu dapur yang dapat ditemui hampir di seluruh dapur orang Indonesia. Ada banyak sekali orang yang menyukainya, meski tidak sedikit juga yang membencinya. Selama ini, MSG memiliki reputasi yang buruk, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lain. Alasannya beragam, mulai dari mitos pengaruhnya terhadap tingkat kepandaian seseorang hingga perannya dalam memicu kanker. Saat ini, bahkan muncul sebutan “generasi micin” dengan konotasi buruk yang kerap disematkan pada kaum muda karena adanya stereotip bahwa merekalah yang paling banyak mengonsumsi MSG.
MSG adalah garam sodium dari asam glutamat. MSG merupakan suatu zat yang terbentuk secara alami dan telah dikonsumsi sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Penggunaannya dalam masakan dapat meningkatkan cita rasa karena adanya rasa umami yang diberikan. MSG dapat ditemukan secara alami pada keju dan tomat. Penggunaan MSG biasanya paling sering dijumpai pada masakan-masakan Asia, termasuk Indonesia. Lantas, bagaimana MSG atau “micin” ini mendapatkan reputasi buruknya?
Citra buruk MSG berasal dari suatu tulisan dalam jurnal ilmiah terbitan New England Journal of Medicine (NEJM) pada tahun 1960-an. Awal mulanya, dr. Robert Ho Man Kwok mengirimkan sebuah surat yang ditujukan kepada pengelola NEJM yang memuat tulisan mengenai “Chinese Restaurant Syndrome”. Dalam suratnya, ia mendeskripsikan “Chinese Restaurant Syndrome” sebagai serangkaian keluhan yang meliputi rasa baal di leher hingga ke lengan dan punggung, rasa lemas, serta jantung yang berdegup kencang yang muncul setelah makan di restoran Tionghoa di Maryland, Amerika Serikat. Ia menduga bahwa hal ini disebabkan oleh penggunaan MSG dalam jumlah banyak yang biasa dilakukan di restoran-restoran Tionghoa.
Sepucuk surat ini menjadi cikal bakal dari perdebatan mengenai MSG hingga akhirnya dilakukan penelusuran. Ternyata, Dr. Robert Ho Man Kwok sejatinya bernama dr. Howard Steel, seorang ahli orthopedi yang memutuskan untuk mengirimkan surat itu karena suatu taruhan. Howard tidak menyangka bahwa surat yang ditulisnya itu akan memunculkan kontroversi panas, bahkan sampai saat ini.
Beberapa uji klinis telah dilakukan untuk memeriksa kesahihan hubungan konsumsi MSG dengan penurunan fungsi tubuh. Namun, hingga saat ini, masih belum didapatkan kesimpulan yang jelas. Lantas, apakah kita perlu menghindari MSG? MSG masih boleh dikonsumsi, tetapi dalam jumlah yang tepat dan tidak berlebihan. Di Indonesia, konsumsi garam untuk orang dewasa normal dianjurkan tidak melebihi 1500 mg per hari. Lebih dari itu, maka dapat dipastikan akan muncul gejala-gejala yang tidak diinginkan seperti rasa pusing, lemas, dan rasa kaku pada otot. Oleh karena itu, pastikan bahwa Anda selalu makan makanan dengan nilai nutrisi seimbang.
Referensi:
- Questions and answers on monosodium glutamate (MSG) [Internet]. FDA; 2012 Nov 29 [cited 2021 Feb 26]. Available from: https://www.fda.gov/food/food-additives-petitions/questions-and-answers-monosodium-glutamate-msg
- Blanding M. The strange case of Dr. Ho Man Kwok [Internet]. Colgate Magazine; [cited 2021 Feb 26]. Available from: https://news.colgate.edu/magazine/2019/02/06/the-strange-case-of-dr-ho-man-kwok/
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan Indonesia tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019. Report No.: 28.
Penulis: Regine Viennetta Budiman
Editor: Alexander Rafael Satyadharma