Kolaborasi Lintas Sektor dalam Menggencarkan Penerapan EBM
Penelitian berbasis bukti menjadi isu yang mencuat semenjak pemecatan Terawan dari keanggotaan IDI. Metode cuci otak yang diklaim mampu menangani berbagai pasien stroke, nyatanya mendapat tentangan dari komite etik kedokteran. Ketidakjelasan besar sampel dan kelompok pembanding dalam terapi cuci otak dengan metode DSA yang dilakukan seakan tertutupi oleh testimoni keberhasilan dari beberapa pasien yang telah menjalani terapi.
Penggiringan opini untuk memasarkan suatu produk obat turut terjadi pada masa pandemi Covid-19. Perusahaan farmasi yang memproduksi Ivermectin, secara sepihak menyatakan bahwa obat cacing tersebut mampu mengatasi Covid-19. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makan Republik Indonesia (BPOM RI) memastikan Ivermectin tidak dapat menjadi obat Covid-19 dan peredarannya hanya sebagai obat antiparasit.
Maraknya penggunaan opini publik sebagai landasan temuan medis menjadi keprihatinan beberapa ahli. “Bayangkan rakyat kita yang 270 juta ini akan menggunakan obat seperti makan kacang goreng, padahal obat itu tidak semuanya ramah dan banyak diantaranya memiliki efek samping bahkan kematian,” ujar Rianto. Menurutnya, hanya klaim dengan pembuktian keamanan dan efikasi obat yang baik boleh untuk dipasarkan kepada masyarakat.
Para petinggi negara dan pemangku jabatan turut memiliki peran dalam menunjukkan keberpihakannya kepada sains. Kesadaran untuk menghindarkan konflik kepentingan dalam penerapan EBM serta menghormati kebijakan profesi kedokteran menjadi langkah bijak yang dapat diambil.
Sementara itu, masih gencarnya penerapan testimony based medicine di masyarakat menjadi sinyal bahwa penerapan EBM masih terbatas pada dunia akademis saja. “Tantangan EBM di Indonesia adalah masih berkutat di pusat pendidikan seperti RS pendidikan sehingga di luar itu dapat terinfiltrasi seperti penyalahgunaan obat untuk suatu terapi,” tambah Reyhan.
Kemenkes RI dan akademisi pun memiliki tanggung jawab untuk menegur dan meluruskan apabila terdapat sesuatu yang salah khususnya terkait bidang kesehatan. Selain itu, mahasiswa dapat terlibat dalam mendukung penerapan EBM melalui kegiatan membaca jurnal, penilaian kritis mengenai suatu temuan, maupun melakukan riset akan suatu isu kesehatan. Dengan begitu, diharapkan terbentuk pemikiran mahasiswa yang kritis dan berorientasi pada kebenaran.
Kolaborasi berbagai pihak, baik itu akademisi, industri, maupun pemangku jabatan menjadi bagian integral dalam kemajuan penerapan EBM di Indonesia. Diperlukan pula penguatan sistem yang tidak terbatas hanya sebagai anjuran, tetapi aturan yang mengikat dapat mendorong posisi EBM di masyarakat. Hasilnya, masyarakat dapat menyesuaikan diri dan meletakkan EBM sebagai fondasi yang penting untuk menyaring informasi hoaks maupun pengambilan keputusan medis terkait. cahyadi, yosafat
Penulis: Cahyadi, Yosafat
Editor: Amanda