Langkah Tepat Atasi GERD

Dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, bagaimana penanganan pada pasien GERD?

GERD atau gastroesophageal reflux disease merupakan penyakit gastrointestinal kronik yang ditandai dengan naiknya isi lambung menuju lumen esofagus, orofaring, bahkan saluran pernapasan. Umumnya, pasien akan merasakan dua gejala tipikal berupa heartburn dan regurgitasi. Gejala heartburn dapat diartikan sebagai sensasi seperti terbakar di dada, sementara regurgitasi berupa rasa pahit atau asam di lidah. 

Pasien GERD dapat dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan keberadaan erosi di mukosa esofagus, yaitu erosive esophagitis (EE) dan nonerosive reflux disease (NERD). Sementara itu, pasien yang diberikan terapi proton pump inhibitor (PPI) selama 8 minggu tetapi tidak berespons dapat digolongkan ke dalam GERD refrakter. 

Pada dasarnya, penanganan GERD meliputi terapi farmakologis, non-farmakologis, dan intervensi endoskopi maupun bedah. Terapi farmakologis pada pasien GERD dapat berupa pemberian beberapa golongan obat, seperti antasida, proton-pump inhibitor (PPI), H2-receptor antagonist (H2RA), dan prokinetik. Setelah diagnosis ditegakkan, pasien dapat diberikan tata laksana awal berupa PPI dosis tunggal setiap sebelum makan pagi selama 2 hingga 4 minggu. Terdapat beberapa jenis PPI yang beredar di Indonesia beserta dosisnya, yaitu omeprazole (20 mg), rabeprazole (20 mg), lansoprazole (30 mg), pantoprazole (40 mg), dan esomeprazole (40 mg). Jika gejala masih ditemukan setelah pemberian dosis tunggal, pasien dapat diberikan PPI dosis ganda selama 4-8 minggu. 

Pada pasien yang memiliki respon parsial terhadap penghambat pompa proton, dapat diberikan obat golongan H2RA sebelum tidur  untuk mengurangi kejadian nocturnal acid breakthrough. Selain itu, dapat dipertimbangkan pula pemberian prokinetik, seperti metoklopramid, yang dapat meningkatan tekanan sfingter esofagus bawah dan mempercepat proses pengosongan lambung. Alternatif lain yang dapat diberikan pada pasien dengan GERD refrakter berupa golongan agonis reseptor GABA (B), seperti baklofen dengan dosis 5–20 mg sebanyak 3 kali sehari. Baklofen diketahui memiliki efek pengurangan relaksasi transien sfingter esofagus bawah sehingga dapat mengurangi episode refluks. Jika gejala pasien masih belum menunjukkan perbaikan, dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi dan terapi yang disesuaikan dengan keparahan lesi mukosa esofagus. 

Selain tatalaksana medikamentosa, aspek non-farmakologis juga tidak kalah penting dalam menangani keluhan yang dialami pasien GERD. Dokter dapat memberikan edukasi seputar modifikasi gaya hidup, yaitu elevasi kepala saat tidur, menurunkan berat badan berlebih, mengurangi konsumsi alkohol dan merokok, menghindari makan sebelum tidur, dan mengurangi konsumsi makanan yang dapat memicu refluks asam lambung, seperti makanan pedas dan berlemak, makanan asam, minuman berkafein, serta coklat.

Apabila kerusakan pada katup gastroesofageal semakin progresif dan tidak menghasilkan respon yang baik setelah pemberian terapi medikamentosa, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan terapi pembedahan, seperti fundoplikasi Nissen, perbaikan hernia hiatal, dan intervensi bedah lainnya. Selain itu, dapat dilakukan juga terapi endoskopik, meliputi prosedur ligasi, endoscopic mucosal resection, dan argon plasma coagulation.

Beberapa gejala GERD yang ada dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan mempengaruhi kualitas hidupnya. Oleh karena itu, diperlukan tata laksana yang cepat dan tepat sesuai dengan kondisi klinis pasien. 

 

Referensi:

 

Penulis: Dwi

Editor: Raisa

Share your thoughts