Lika-Liku Perjalanan Vaksin Nusantara

Meninjau kembali perjalanan vaksin “karya putra bangsa“ yang banyak menimbulkan

tanda tanya

vaksin nusantara

Akhir dari pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum terlihat. Setelah kenaikan kasus sempat stabil selama beberapa bulan terakhir, kini kasus Covid-19 di Indonesia kembali melonjak dan cukup mengkhawatirkan di beberapa daerah. Kenaikan angka tersebut menjadi penanda bahwa negara perlu melakukan penanganan dengan segera dan tepat untuk mencegah munculnya gelombang baru kasus dan kematian akibat Covid-19. Program vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu upaya pemerintah  dalam mengatasi pandemi. Sayangnya, per tanggal 16 Juni 2021, baru 11,8 juta (4,5%) penduduk Indonesia yang telah mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19.

Sejauh ini, vaksin yang beredar di Indonesia, seperti Sinovac dan AstraZeneca, merupakan hasil manufaktur luar negeri. Agar dapat lebih mandiri dan mempercepat program vaksinasi, lembaga-lembaga penelitian di Indonesia sudah mulai bergerak untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Salah satunya adalah vaksin Nusantara, vaksin gagasan eks Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto. Vaksin Nusantara mengambil pendekatan berbeda dibandingkan vaksin pada umumnya, yaitu dengan menggunakan teknologi sel dendritik. Sayangnya, eksekusi ide tersebut mengundang kontroversi dari berbagai ahli dan tokoh masyarakat.

Vaksin Nusantara dan Berbagai Perkara Klinisnya

Di samping isu politik terkait vaksin Nusantara yang juga menjadi kontroversi, beredar kabar mengenai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada uji klinis fase I vaksin Nusantara, yaitu sebanyak 20 dari 28 (71,4%) subjek uji klinis mengalami efek samping. Menanggapi hal tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun mengevaluasi proses pengembangan vaksin yang dilakukan oleh tim peneliti. “BPOM sebagai regulator nasional memiliki otoritas untuk memantau dan memberikan catatan dari pelaksanaan fase I vaksin dendritik,” terang Prof. Dr. dr. Hinky Hindra Irawan Satari Sp.A(K), M.TropPaed, Kepala Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI).

Sebelum uji klinis vaksin diperbolehkan memasuki tahap selanjutnya, hasil evaluasi uji klinis tahap I harus dilakukan dan dipenuhi terlebih dahulu . Hal inilah yang menyebabkan vaksin Nusantara tidak mendapatkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II dari BPOM. “Kalau BPOM sampai tidak memberi izin melanjutkan fase II, saya menduga hal yang harus dikoreksi dan laporan yang diminta BPOM itu tidak dilakukan sehingga prosesnya tidak bisa dilanjutkan,” tutur Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), anggota Tim Advokasi Vaksin Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Beberapa ketentuan yang ternyata tidak dipenuhi oleh vaksin Nusantara antara lain tidak melakukan uji praklinik menggunakan hewan, komponen yang tidak pharmaceutical grade, serta keamanan dan efektivitas untuk meningkatkan antibodi yang masih diragukan.

Meskipun demikian, hasil uji klinis yang kurang memuaskan dan mendapatkan teguran dari BPOM merupakan hal lumrah dalam penelitian, terutama ketika menyangkut vaksin yang akan digunakan secara massal pada manusia. BPOM memiliki wewenang sebagai pengawas untuk memastikan penelitian vaksin Nusantara memenuhi good clinical practice (GCP), good laboratory practice (GLP), dan good manufacturing practice (GMP). Hal ini seharusnya tidak perlu menimbulkan kehebohan di masyarakat. “Vaksin Pfizer, Sinovac, dan AstraZeneca itu telah melalui berbagai kegagalan. Jadi kalau ada yang harus diperbaiki pada fase satu, itu bukanlah suatu hal yang aneh. Memang tugas tim tersebut untuk melakukan perbaikan sehingga dapat dilanjutkan ke fase II,” jelas Hindra.

Tak hanya menghadapi kendala perizinan melanjutkan uji klinis, vaksin Nusantara dengan basis sel dendritik dinilai tidak praktis sebagai solusi untuk menghadapi pandemi dibandingkan dengan vaksin lainnya. Penerapan teknologi sel dendritik yang bersifat individual  membutuhkan waktu lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta infrastruktur dan sumber daya manusia yang lebih banyak dibandingkan vaksin yang telah beredar. Padahal, vaksin harus bisa diproduksi secara massal dalam waktu yang relatif singkat untuk mencapai herd immunity atau kekebalan komunitas. “Untuk mencapai herd immunity di Indonesia, diperkirakan butuh 140 juta orang yang divaksin, sedangkan vaksin sel dendritik perlu dikerjakan satu per satu, lalu menunggu delapan hari untuk dimasukkan kembali ke dalam tubuh. Kapan selesainya kalau begitu?” ujar Erlina.

Meneropong Masa Depan Vaksin Anak Bangsa

Untuk mengakhiri polemik yang terjadi, Kemenkes RI, BPOM, dan pihak Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto menyepakati proyek vaksin Nusantara sebagai riset berbasis pelayanan di bawah pengawasan Kemenkes RI, bukan sebagai uji klinis. Untuk mengetahui efektivitas dari vaksin Nusantara dalam memberikan proteksi terhadap Covid-19, masih diperlukan publikasi dari hasil penelitian tersebut. “Selama ini, yang kita dengar hanya testimoni dan pidato, tetapi belum terdapat data ilmiah yang dipublikasi. Jadi, kita tunggu saja bagaimana pelayanan yang dilakukan di RSPAD, apakah yang sudah disuntikkan kembali sel dendritiknya dapat memberikan proteksi terhadap Covid-19,” pungkas Erlina.

Keberadaan vaksin Covid-19 buatan anak bangsa tentu menumbuhkan rasa bangga pada masyarakat. Melihat sumber daya manusia, kapasitas laboratorium, dan institut penelitian yang ada, membuat vaksin dalam negeri tidak menjadi hal yang mustahil bagi Indonesia.  Meskipun begitu, menciptakan vaksin bukanlah proses yang sederhana. Diperlukan teknologi yang mutakhir, ketelitian, dan juga waktu yang tak sebentar. Kegagalan dan hambatan selama proses penelitian vaksin menjadi hal yang wajar terjadi.

Mengingat sulitnya proses pembuatan vaksin, masyarakat juga harus mendukung proses penelitian yang telah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai lembaga penelitian Indonesia. Selain vaksin Nusantara, saat ini ada banyak calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh beberapa lembaga, seperti UNAIR, UGM, UI, LIPI, dan Eijkman yang tergolong sebagai vaksin Merah Putih. “Vaksinasi merupakan cabang ilmu kesehatan yang penting. Kita perlu mengembangkan ilmu ini dan memproduksi vaksin di tanah air secara mandiri. Ini tentunya membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat,” tutur Hindra.

Menilik perjalanan vaksin Nusantara yang berbatu dan penuh kontroversi, nampaknya vaksin ini tak dapat menjadi solusi atas pandemi Covid-19 di Indonesia dan hanya akan menjadi angin lalu. Meski demikian, patut ditunggu kelanjutan hasil penelitian yang akan dilakukan oleh RSPAD terkait vaksin Nusantara. Saat ini, upaya terbaik untuk menekan kasus Covid-19 adalah terus mengedukasi masyarakat untuk mau menggunakan vaksin yang telah beredar, apapun jenisnya. Vaksin-vaksin tersebut sudah melalui uji klinis dan terjamin keamanan serta efektivitasnya oleh otoritas yang berwenang.

Penulis: Alessandrina Janisha Parinding, Ryan Andika
Editor: Amanda Safira Aji

Share your thoughts