Manajemen Rhinitis Alergi dan Obstructive Sleep Apnea pada Anak

Penyakit hidung dan tenggorok pada anak seringkali membutuhkan pendekatan dan penanganan yang berbeda pada anak. Melihat fakta tersebut, Departemen bedah kepala dan leher FKUI-RSCM bekerja sama dengan Perhati-KL Jakarta menghadirkan webinar dengan topik “Penatalaksanaan Rhinitis Alergi dan Komorbiditas pada Aak” dan “Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Anak”. Webinar ini dilaksankan pada Kamis, 8 Oktober 2020 dan merupakan bagian dari rangkaian seri webinar sebelum acara JAKPOS : Jakarta Pediatric Otorhinolaryngology – Head and Neck Surgery Symposium. Webinar ini dimoderatori oleh dr. Fikry Hamdan Yasin, SpTHT-KL(K), terbagi atas dua sesi materi.

Sesi pertama dibawakan oleh dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K) dengan topik rhinitis alergi. Kecurigaan rhinitis alergi dapat muncul dari gejala anak biasanya merasa hidung tersumbat, gatal sehingga mengucek hidung yang berakibat kesulitan pada tidur. Nina mengatakan bahwa penting untuk memperhatikan tatalaksana rhinitis alergi dengan baik karena mempengaruhi kualitas hidup, produktivitas, dan performa belajar anak. “Diperlukan kepatuhan dan komitmen untuk mengontrol penyakit, baik dari dokter dan pasien,” ujar Nina.

Manajemen rhinis alergi memiliki 3 komponen yaitu farmakoterapi, imunoterapi, dan menghindari sumber alergi. Terapi farmakologi dapat menggunakan obat utama yaitu antihistamin oral atau intranasal steroid (INCS). Bersamaan dengan itu, anak perlu diberikan irigasi nasal dan dihindarkan dari allergen seperti tungau debu rumah, hewan, debu, atau yang lainnya. Apabila tidak membaik, dokter dapat memberikan penambahan antihistamin dan leukotriene receptor antagonis. “Imunoterapi diberikan pada pasien dengan rhinitis alergi yang persisten. Bebeberapa bukti menyebutkan imunoterapi memampu menurunkan respons seluler dan humoral terhadap aleger, meningkatkan toleransi terhadap antigen,” tambah Nina.

Terdapat beberapa jenis komorbid pada rhinitis alergi anak di antaranya Pediatric Chronic Rhinosinusitis (PCRS), Chronic Rhinosinusitis, Otitis Media dengan efusi, dll. Komorbid ini dapat meningkatkan keparahan dan durasi dari penyakit sehingga perlu diidentifikasi dengan baik untuk mendapatkan tatalaksana yang tepat.

Sesi kedua membahas mengenai OSA, disampaikan oleh dr. Syahrial M. Hutauruk, SpTHT-KL(K). Beliau mengatakan bahwa OSA merupakan spektrum akhir dari suatu penyakit. Komsep terbaru menyatakan bahwa tatalaksana dimulai sejak awal sebelum OSA terjadi. Biasanya, gejala awal adalah habitual snoring yang menyebabkan anak sulit tidur. Kondisi ini menyebabkan orang tua seringkali tidak tenang hingga mengalami kesulitan tidur juga.

“Pada OSA terjadi sumbatan napas sehingga menurunkan saturasi oksigen. Hal ini membuat anak sering terbangun dari tidur. Gangguan tidur dapat menganggu tumbuh kembang, imunitas, dan perilaku anak,” imbuh Syahrial. OSA disebabkan oleh penyempitan saluran napas dengan meningkatnya jaringan lunak di faring akibat lidah besar, hipertrofi adenotonsilar, penebakan dinding faring karena deposisi lemak dan peradangan kronik.

Tata laksana OSA disesuaikan dengan penyebab penyempitan saluran napas yang terjadi. Apabila disebabkan oleh hipertrofi adenotonsilar maka terapi yang dipilih adalah tonsilektomi. Namun pada OSA yang berat, adenotonsilektomi dilaporkan tidak terlalu efektif. Penyebab OSA yang lain adalah obesitas sehingga memerlukan manajemen penurunan berat badan dengan kombinasi pembatasan kalori. Upaya yang dapat dilakukan adalah mengubah kebiasaan makan, melakukan aktivitas fisik atau olahraga, dan terapi perilaku dan gaya hidup. Ketika OSA disebabkan oleh sumbatan hidung seperti rhinitis alergi atau polip nasal maka diberikan INCS/dekongestan, reduksi konka dan pengangkatan polip. Alternatif terapi OSA apabila tidak mau menggunakan prosedur bedah adalah dengan nasal CPAP dengan syarat kondisi hidung baik.

 

Share your thoughts