Melepas Kekangan Batas
Bagaimana bisa percaya diri sebelum menghargai diri sendiri?
Sudah hitungan jam diriku memandangi hamparan laut biru di hadapanku. Sesekali mataku terarah pada deburan ombak, anak-anak kecil yang tengah berlari, atau sekadar menatap kosong ke depan. Sejak tadi pikiranku telah mengembara jauh. Entah mengeluhkan semangat kuliah yang kian sirna atau menyalahkan diri sendiri lantaran belum berhasil menyelesaikan pendidikan yang kuimpikan sejak dulu. Aku pun menghela napas, pikiranku bagaikan seutas benang kusut yang sulit diurai.
“Kusut benar wajahmu, Dik” ujar seorang konglomerat beken kampung yang menghampiriku. Benar, kekusutan tergambar jelas diwajahku. Ku sambut pria yang kini berdiri di sampingku sambil mengukir lengkung senyum tipis.
“Sore, Pak Tedjo.” sapaku yang hanya dibalas dengan sebuah anggukan.
Sunyi, hanya terdengar suara ombak yang menyapu pantai. Detik demi detik pun terasa berjalan lambat. Kehadiran Pak Tedjo justru membuat pikiranku semakin semrawut. Bayangkan saja, berjumpa dengan donatur biaya pendidikan pada masa pasang surut semangat tentu bukan situasi yang aku harapkan. Sebagai satu-satunya anak kampung yang berhasil lolos di universitas ternama, menjalani perkuliahan di kota besar bukanlah hal yang mudah. Anggapan bahwa aku tidak mampu bersaing dengan teman sejawat terus menggerus pikiranku. Keputusan untuk mengambil cuti karena merasa jauh tertinggal membuat perasaanku campur aduk.
Kupandang diam-diam pria paruh baya di sebelahku. Ah, andai saja hartaku sebanyak Pak Tedjo, pasti akan lebih mudah, bukan? Aku dapat dengan mudah membeli memenuhi kebutuhan perkuliahku, memiliki varian gawai terkini, dan bergaya seperti orang kota—sama seperti teman-temanku! Jika seperti itu, meski aku anak kampung, bukankah aku tidak akan merasa tertinggal?
“Dulu saya pernah dapat kesempatan kuliah. Tapi tidak saya ambil,” tiba-tiba Pak Tedjo memecah kesunyian. Sambil tersenyum teduh, ia menatap lurus pada langit yang mulai kemerahan. Dahiku kontan berkerut, rasanya pria ini telah membaca pikiranku. Alhasil, aku hanya dapat tersenyum kecut tanpa berniat menanggapi ucapannya.
“Padahal waktu itu saya bisa masuk perguruan tinggi negeri terkenal. Uang keluarga saya juga banyak, semestinya tidak risau masalah biaya,” lanjut pria paruh baya itu. Ia melontarkan tawa pahit sejenak sebelum mengalihkan padangannya padaku, “Tetapi sayangnya saya penakut. Takut akan hidup di kota besar sendirian. Kalau dipikir-pikir itu konyol sekali, membuang kesempatan hanya karena saya tidak percaya pada diri sendiri.”
Sore itu menjadi hari yang panjang dengan Pak Tejdo dengan ceritanya. Tatapan hangatnya seakan memberi tahu bahwa ia pernah merasakan hal yang sama. Sayangnya, hal itu justru membuatku semakin kesal. Bukankah mudah baginya untuk mengatakan hal tersebut karena dia memiliki banyak uang?
“Tetapi, kalau saya punya banyak uang pasti bisa lebih semangat kuliah dan percaya diri untuk bersaing dengan yang lain, kan?” tanyaku ketus.
Dalam sekejap Pak Tedjo langsung tertawa dan mengakhirinya dengan senyum jenaka, “Kamu keliru. Masih ada yang lebih penting dari pada memiliki harta yang banyak.”
“Maksud Bapak?”
“Cobalah menghargai diri sendiri. Kamu sudah pernah lulus tes masuk di universitas ternama, bukankah itu berarti kemampuanmu sama dengan teman-teman yang lain?”
Lagi-lagi Pak Tedjo tersenyum, menepuk pundakku sebelum berjalan menjauh. Tak hanya pundak, pikiranku pun juga tertepuk lantaran aku hanya mampu terdiam dan menyetujui ucapannya. Benar juga, sepertinya pikiran ini bersumber dari rasa dengki dengan apa yang dimiliki orang lain. Aku terlalu fokus menciptakan batas-batas yang membuatku terasa semakin berbeda dari yang lain. Kalau begitu, bukankah masalah ini dapat ditangani apabila aku mencoba lebih bersyukur dan menghargai apa yang aku miliki?
Penulis: Nada Irza Salsabila
Editor: Ariestiana Ayu Ananda Latifa