Memahami Arti Hidup Lewat Kontemplasi

kontemplasi

Menikmati setiap proses, menafsirkan momen menjadi sebuah pelajaran 

 

Pagi itu tidak seperti hari biasanya. Ia bangun lebih awal, mengalahkan terbitnya mentari. Persiapan seminggu belakangan tampaknya cukup membuat hati merasa tenang. Rangga, seorang pemuda yang baru saja lulus perguruan tinggi dihadapkan dengan sejuta tanggung jawab. Bukan untuk menjadi orang paling sukses, bukan pula mengumpulkan pundi-pundi harta, tetapi tanggung jawab untuk memahami hidup.

 

Motor tua yang menemani setiap waktunya telah bersiap di halaman. Pukul empat pagi, Rangga bersiap untuk berangkat ke basecamp. Hawa dingin di tengah sepinya jalanan mengingatkannya akan perjuangan ketika kuliah dulu, dalam mengisi lembaran kertas di seperempat malam demi mengejar sebuah nilai. Memaknai setiap momen menjadi hal yang melekat dalam dirinya.

 

Sampai di basecamp, ia kembali mempersiapkan segala perlengkapan sebelum memulai perjalanan menuju puncak tertinggi di kampung halamannya. Saat itu, ia berpikir “Mengapa perlu susah-susah merencanakan semua ini? Tinggal bawa tas berisi baju dan makanan bukankah sudah cukup?”. Pemuda ini kembali merenung, “Kalau tidak direncanakan dengan matang, mungkin saja aku mati di tengah jalan. Kehabisan makanan, diterjang badai yang tiba-tiba datang menghampiri, bahkan jalan menuju ke sana saja belum tentu tahu”. Mempersiapkan yang terbaik demi kemungkinan terburuk, kalimat yang cukup menggambarkan situasinya saat itu.

 

Pos satu, menjadi titik awal perjalanan Rangga bersama kawan-kawannya untuk dua hari ke depan. Gemerisik dedaunan mengiringi setiap langkahnya. Ia pun kembali bermain di dalam pikirannya, “Mengapa perlu jalan kaki berhari-hari untuk mencapai puncak? Mengapa tidak ada jalan raya menuju ke sana?”. Seketika sebuah jawaban menyambar pertanyaan di pikirannya, “Tentu saja, ada hal-hal yang butuh perjuangan. Mungkin tidak pasti, lama, dan melelahkan. Proses itu memberikan arti, bukan menjadi sebuah hal yang patut disesali dan dipertanyakan”.

 

Beberapa pos telah dilewati, pancaran sinar matahari pun berganti dengan terang rembulan dan gemerlap bintang di langit. Rangga beserta kawannya mendirikan tenda, beristirahat sejenak sembari mengisi tenaga untuk kembali mendaki besok pagi. Malam itu, ditemani hangatnya kopi, ia berbagi dan  mendengarkan kisah dari kawan-kawannya. Berkontemplasi, merenungi semua yang terjadi dan mencoba menggali hikmah di baliknya. Dengan tubuh lelahnya, ia berbaring memandangi langit malam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Baru setengah perjalanan, ada saja masalah yang harus dilewati” gumamnya dalam hati. Wajar saja, pendakian pertama ini membuatnya kewalahan. Meskipun sempat merasa tidak kuat lagi, Rangga terus memacu dirinya untuk melanjutkan perjalanan. “Bukankah ini sama seperti masa kuliah dulu? Awalnya memang terasa berat, tapi lama kelamaan akan terbiasa juga,” sambungnya. “Pengalaman pertama menjadi hal  yang paling sulit, bahkan ada hal-hal diluar ekspektasi yang justru mempersulit. Dari pengalaman pertama, aku bisa belajar untuk kesempatan berikutnya,” jawab dirinya sendiri.

Keesokan harinya, ia kembali melanjutkan pendakian dengan tenaga yang telah terisi penuh. Hujan semalam membuat jalur pendakian menjadi sulit untuk dilewati. Awalnya ia berencana sampai di puncak sebelum matahari terbenam, berniat bertemu keindahan sunset  untuk mengobati rasa penatnya. Akan tetapi, niatan itu terhalang karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Ia pun menginjakkan kaki di puncak daratan tertinggi satu jam setelah matahari terbenam. Meskipun tak sempat menikmati indahnya warna langit kala matahari terbenam, setidaknya ia telah mencapai tujuan utamanya. “Ini tidak hanya sebuah pencapaian, tetapi juga menjawab segala penasaranku. Bahwa hidup memang tidak selalu sejalan dengan keinginan, tetapi mensyukuri apa yang ada pun sudah lebih dari cukup,” tuturnya dalam hati. Dari kisah ini kita belajar bahwa setiap dinamika hidup dapat dijadikan pelajaran untuk berkembang.  Melalui refleksi diri, kita dapat lebih memaknai hidup.

Penulis: Dwi

Redaktur: Cahyadi

Share your thoughts