Memberdayakan Akses Kesehatan Penyandang Disabilitas
Jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia kian meningkat, lalu sudah mudahkah akses pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas di Indonesia?
Cahyadi Budi Sulistyoaji
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III
Setiap tahun pada tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Momen ini menjadi pengingat bahwa per 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1,3 miliar orang atau setara dengan 16% populasi global mengalami disabilitas. Angka tersebut terus bertambah seiring peningkatan jumlah penderita penyakit tidak menular yang hidup dengan keterbatasan fungsional. Adapun, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar lima persen penduduk menurut data berjalan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020.
Peningkatan jumlah penyandang disabilitas disebabkan oleh peningkatan jumlah populasi secara umum, dengan populasi lansia atau berusia >60 tahun meningkat 40% dibandingkan 2010. Terlebih, lansia dengan penyakit tidak menular atau masalah kesehatan kronis lain yang hidup dengan keterbatasan fungsi juga meningkat secara signifikan. Data Beban Penyakit Global (GBD) tahun 2021 mengungkapkan adanya peningkatan jumlah orang dengan masalah muskuloskeletal, neuropsikiatri, serta fungsi dari pancaindra seperti kehilangan pendengaran dan penglihatan.
Walaupun begitu, cakupan pembiayaan untuk alat bantu kesehatan bagi penyandang disabilitas masih tergolong minim. Hanya tujuh jenis alat bantu yang dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016. Oleh sebab itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak dapat membiayai alat bantu adaptif lain bagi penyandang disabilitas apabila belum terdapat perubahan pada peraturan terkait. Selain itu, belum banyaknya alat bantu yang diproduksi dalam negeri menyebabkan tingginya kebutuhan impor alat bantu adaptif dengan bea masuk tinggi sehingga menyulitkan masyarakat untuk menebusnya.
Masalah lain adalah terkait ketersediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang mumpuni dalam memberikan pelayanan pada penyandang disabilitas. Belum semua tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat berkomunikasi dengan penyandang disabilitas seperti teman tuli. Ketersediaan juru bahasa isyarat (JBI) yang dapat membantu pemberian pelayanan yang optimal belum diterapkan secara menyeluruh di semua rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain.
Di sisi lain, sebetulnya beberapa rumah sakit dan puskesmas telah menyediakan jalur khusus untuk penyandang disabilitas seperti pasien dengan tunanetra. Selain itu, terdapat inovasi berupa penggunaan huruf braille pada papan nama, komputer, maupun lembar informasi pengobatan bagi tunanetra. Walaupun demikian, fasilitas tersebut belum sepenuhnya terselenggara secara merata di Indonesia.
Data akurat mengenai penyandang disabilitas di Indonesia juga tidak memadai. Hal tersebut dikarenakan masih kurangnya informasi krusial meliputi kebutuhan, kapasitas, dan kesejahteraan penyandang disabilitas. Selain itu, selama ini data penyandang disabilitas dikeluarkan oleh Kementerian Sosial dan dinas sosial di daerah. Data tersebut apabila mengacu pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2019, hanya memasukkan penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga ekonomi kurang atau kategori Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Alhasil, penyandang disabilitas yang berada di atas garis kemiskinan tidak terdata meskipun memiliki disabilitas berat dan rentan untuk jatuh pada jurang kemiskinan karena hambatan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan melalui JKN.
Kementerian Sosial selanjutnya menindaklanjuti permasalahan data penyandang disabilitas melalui pendataan ulang yang tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 Tahun 2021. Pengumpulan data dimulai dari tingkat kelurahan dan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memverifikasi kecocokan data kependudukan penyandang disabilitas. Harapannya melalui pencatatan ulang tersebut, dapat memperluas alokasi bantuan jaringan perlindungan sosial dan mendukung pelayanan yang diberikan pada penyandang disabilitas.
Dengan demikian, diperlukan upaya berbagai pihak dalam mendukung implementasi tema Hari Disabilitas Internasional 2022, yakni, “Solusi Transformatif untuk Pembangunan Inklusif: Peran Inovasi dalam Mendorong Dunia yang dapat Diakses dan Adil.” Layanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas dapat dicapai melalui beberapa strategi meliputi komitmen politik dan pemerintahan, optimalisasi sistem pembiayaan kesehatan, kerja sama antara sektor pemerintahan dengan swasta, peningkatan kualitas tenaga dan pelayanan kesehatan, pembangunan infrastruktur dan teknologi digital yang mendukung kemandirian penyandang disabilitas, serta kebijakan kesehatan dan data holistik terkait kondisi penyandang disabilitas. cahyadi