Mencapai ASI Berkualitas: Mulai dari Mana?
Pola makan dan status gizi ibu sebagai kunci awal ASI yang berkualitas
Air susu ibu (ASI) adalah komponen yang paling efektif untuk menunjang kebutuhan nutrisi bayi, khususnya pada awal kehidupan. Pernyataan ini didukung oleh WHO dan berbagai studi lainnya yang menunjukkan peran ASI dalam proses tumbuh kembang bayi, yaitu menunjang perkembangan otak, membentuk kekebalan tubuh, dan mencegah obesitas. Berangkat dari banyaknya manfaat tersebut, WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupan. Namun, data menunjukkan hanya sepertiga ibu Indonesia yang berhasil melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, Human Nutrition Research Center IMERI (HNRC IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengadakan webinar pada Sabtu, 7 Agustus 2021 dengan tema “Promoting Breastfeeding during COVID-19 Pandemic: From Research to Community” melalui platform Zoom Meeting. Dengan mengangkat topik tentang berbagai tantangan pemberian ASI, Dr. dr. Rina Agustina, M.Gizi menekankan pentingnya pemberian ASI pada bayi.
Studi menunjukkan bahwa jumlah ibu yang berhasil memberikan ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara low-middle income lainnya. Uniknya, salah satu alasan rendahnya angka tersebut adalah banyak ibu menyusui yang merasa kandungan nutrisi dalam ASI kurang. Anggapan ini mendorong para ibu untuk menambahkan sumber makanan lain dalam diet anaknya. Selain itu, kurangnya dukungan menyusui bagi ibu di tempat kerja turut menjadi salah satu hambatan yang umum dijumpai.
Menyoroti fenomena tersebut, Rina menegaskan kembali bahwa ASI merupakan sumber gizi yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan bayi. “Air susu ibu mengandung nutrisi komplet untuk menunjang tumbuh kembang bayi,” papar Rina. Berdasarkan penelitian, komponen bioaktif ASI dapat menurunkan beragam risiko inflamasi. Penelitian lainnya mengungkap bahwa kolostrum (ASI yang keluar pertama kali—red) memiliki keberagaman mikrobiota yang lebih banyak dari susu formula. Keberagaman ini sangat penting karena dapat menunjang kematangan sistem kekebalan tubuh bayi.
Untuk mencapai kandungan ASI yang berkualitas, ibu menyusui harus mulai memperhatikan dietnya. “Dietary quality pada ibu menyusui di Indonesia masih sangat rendah,” tegas Rina. Pada sebuah studi meta-analisis terhadap ibu menyusui di Indonesia dan Malaysia, konsumsi protein, kalsium, dan vitamin A masih jauh lebih rendah dari angka kecukupan gizi. Berkaca dari peristiwa tersebut, Rina mengingatkan kembali panduan pemerintah “Isi Piringku” yang merekomendasikan tambahan kebutuhan kalori sebanyak 330 kkal selama 6 bulan pertama dan 400 kkal selama 6 bulan kedua periode laktasi.
Selain itu, untuk mendukung diet maternal yang seimbang, HNRC-IMERI menyusun sebuah modul berjudul BRAVE untuk ibu menyusui. Modul ini memuat panduan pola makan sehat selama masa menyusui. Terdapat empat pilar yang berperan dalam pembentukan pola makan gizi seimbang, yaitu mengonsumsi pangan beraneka ragam, melakukan aktivitas fisik, membiasakan perilaku hidup bersih, serta mempertahankan berat badan normal. Meskipun UNICEF menyebutkan telah terjadi hambatan fasilitas kesehatan akibat pandemi yang berdampak pada praktik menyusui, modul ini tetap diharapkan dapat mendorong intervensi gizi selama periode laktasi.
Sebagai penutup, Rina menuturkan kembali pentingnya penelitian untuk membantu menyelesaikan masalah pada ibu menyusui. Selain itu, ia juga berharap bahwa ibu semakin memahami upaya pencapaian ASI eksklusif di kalangan ibu Indonesia melalui kegiatan webinar ini.
Penulis: Rheina Tamara Tarigan
Editor: Gabrielle Adani