Mendiagnosis dan Mengatasi Lebih dari 2.000 Masalah Kesehatan dengan Terapi Bioresonansi? Cek Lagi!

Dengan semakin berkembangnya teknologi, dunia kedokteran juga mengalami banyak perubahan. Dewasa ini pilihan pengobatan menjadi sangat beragam mulai dari obat-obatan, operasi dari skala besar hingga menggunakan robot, terapi genetik, dan tentunya tidak yang tidak dapat terlupakan: alat kesehatan. Alat kesehatan menjadi sebuah modalitas bukan hanya untuk terapi tetapi juga sebagai alat diagnosis. Setiap hari kita disuguhi dengan iklan alat kesehatan di berbagai stasiun TV dengan nano-nano klaim cara kerja dan manfaat. Salah satunya adalah alat kesehatan berbasis bioresonansi yang diklaim bisa mendeteksi ribuan penyakit dan di-setting secara spesifik untuk mengobati penyakit tersebut. Bisakah kita percaya?

Apa itu terapi bioresonansi?

Bioresonansi adalah sebuah cabang ilmu yang berkaitan dengan pancaran gelombang elektromagnetik dari objek biologi/mahkluk hidup. Terapi bioresonansi didasarkan pada teori bahwa sebuah medan bioelektromagnetik menyebabkan getaran dan gelombang dengan frekuensi tertentu yang dalam tubuh manusia merupakan sistem pertukaran informasi. Dalam konteks penyakit, setiap penyakit yang berbeda memiliki karakteristik (frekuensi) gelombang yang berbeda dan spesifik. Gelombang abnormal ini kemudian akan ditangkap oleh alat dan “dilawan” dengan gelombang lain sehingga gelombang kembali normal.

Adakah bukti ilmiah bioresonansi?

Pertama, teori interaksi antarsel melalui medan bioelektromagnetik hanya sebatas hipotesis tanpa ada bukti. Teori ini muncul karena penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa gelombang elektromagnet dapat memengaruhi pertumbuhan dan kehidupan sel pada penelitian di atas cawan petri. Sementara manusia berada pada tingkat kompleksitas yang berbeda, melibatkan miliaran sel (dan bahkan bakteri).1

Kedua, bukti ilmiah yang ada sangat beragam dari segi hasil dan kualitas bukti.1 Sebagai informasi, penelitian telah dilakukan untuk menguji kemampuan diagnosis dan terapi bioresonansi terhadap penyakit alergi, dermatitis atopik, radang sendi, kecanduan alkohol, depresi, hingga berhenti merokok. Seperti yang kita tahu dalam hal terapi uji klinis acak terkontrol menjadi patokan. Studi yang menyatakan adanya manfaat memiliki kualitas bukti yang rendah, jumlah subjek yang minimal, metodologi yang kurang baik, dan kurang memiliki relevansi secara klinis.1 Tidak lupa, sponsor penelitian yang ada diberikan oleh perusahaan yang bergerak di bidang bioresonansi dan menjadikan terapi ini sebagai jualan.

 

Bagaimana harus bersikap? 

Menjawab pertanyaan pertama “Bisakah kita percaya?” tidaklah mudah, karena pada beberapa kasus memang ada dampak positif seperti pada kasus berhenti merokok meskipun diduga sebagai bagian dari efek plasebo.3 Akan tetapi, jika mengenai klaim yang berhubungan dengan ribuan penyakit dalam satu alat, jawabannya TIDAK! Jika Anda mendapat sebuah informasi yang terasa sangat bombastis, sudah selayaknya Anda curiga. 

Jika memang benar bahwa sebuah alat seukuran jam tangan dapat mendeteksi dan mengobati hingga ribuan penyakit dengan harga belasan juta, temuan itu pasti sudah mendapatkan hadiah Nobel, dipakai di seluruh dunia, dan sang penemu menjadi orang yang sangat kaya. Bayangkan, jika memang benar terapi berhenti merokok berbasis mendeteksi gelombang nikotin, berapa banyak molekul yang harus difilter oleh alat tersebut sehingga ia tidak salah mendeteksi senyawa yang serupa dan penting bagi tubuh. Terlebih lagi jika ada sebuah iming-iming bisnis multi level marketing dengan keuntungan besar. 

Kita tidak bisa mengabaikan bukti yang ada bahwa terapi bioresonansi memiliki manfaat pada beberapa kasus. Namun, itu bukan berarti bermanfaat pada semua kasus. Segala sesuatu yang berlebih pasti tidak baik. Meskipun terapi bioresonansi terbilang aman dan dapat ditoleransi, hal ini akan menjadi berbahaya jika pasien malah menunda pengobatan yang benar-benar sudah teruji dan mengalami perburukan sehingga terlambat ditangani. 

Referensi

  1. Ludwig Boltzmann Institute of Health Technology Assessment. Bioresonance therapy for allergies, atopic dermatitis, non-organic gastrointestinal complaints, pain, and rheumatic diseases. Vienna: Ludwig Boltzmann Gesellschaft GmbH; 2009. 
  2. Coghill R. Bioresonance – fact of fallacy? An evidence-based approach [Internet]. Positive Health Online; 2007. Tersedia: Positive Health Online | Article – Bioresonance – Fact or Fallacy? An Evidence-Based Approach
  3. Pihtili A, Galle M, Cuhadaroglu C, Kilicaslan Z, Issever H, Erkan F, Cagatay T, Gulbaran Z. Evidence for the efficacy of a bioresonance method in smoking cessation: a pilot study. Forsch Komplementmed. 2014;21(4):239-45. doi: 10.1159/000365742.  

Share your thoughts

Yuk berlangganan SKMA!

Anda akan memperoleh berita dan artikel terkini mengenai isu, perkembangan, dan tips-tips seputar kedokteran dan kesehatan.

Klik link berikut untuk berlangganan SKMA digital!

http://linktr.ee/medaesculapius

Bantu Beranisehat menjadi lebih baik lagi:

http://tiny.cc/EvalBeranisehat23