Mengenal Segudang Tantangan dalam Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Anak

Berbeda dengan pada dewasa, apa alasan TB anak lebih sulit didiagnosis?

tantangan diagnosis tuberkulosis anak

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi anak-anak di Indonesia. Selain tingkat insidensi yang tinggi, penyakit ini dinilai mengkhawatirkan karena sering menyebabkan kematian pada anak. Pada tahun 2018, jumlah kejadian TB anak dilaporkan mencapai 60.676 kasus dengan proporsi terobati hanya sekitar 9,4—11%. Alat diagnostik yang kurang adekuat serta pelaporan dan penanganan yang belum memadai dinilai sebagai alasan mengapa TB anak masih merajalela di Indonesia. Menyoroti hal tersebut, FK Digital mengadakan kuliah daring yang bertajuk “Tuberkulosis Anak” pada hari Selasa, 16 Februari 2021 dengan narasumber dr. Fahreza Aditya Neldy, Sp.A dari Divisi Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Anak termasuk dalam kategori pasien dengan tingkat kerentanan cukup tinggi terhadap infeksi TB. Sayangnya, penanganan penyakit ini kerap menemui banyak tantangan, seperti dalam proses mendiagnosis. Diagnosis TB anak dianggap lebih sulit dibanding TB dewasa sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hal ini atas dasar beberapa pasien hanya menunjukan gejala klinis yang samar seperti demam, malaise, penurunan berat badan, atau limfadenopati. Apabila anak menunjukkan gejala samar tersebut, dokter perlu melakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Namun, jika tanda spesifik seperti spondilitis TB, skrofuloderma, ataupun foto toraks bentuk milier dengan infiltrat sudah ditemukan, diagnosis TB pada anak dapat langsung ditegakkan. 

Dalam presentasinya, Fahreza menyampaikan bahwa setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis TB anak, yaitu menemukan gejala klinis khas TB, konfirmasi bakteriologis, pembuktian bahwa anak mengalami infeksi TB, serta pengambilan gambar foto toraks. Selanjutnya, Fahreza juga menyebutkan bahwa gejala nonspesifik seperti demam, batuk, dan malaise dapat dicurigai sebagai gejala spesifik apabila berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari dua minggu. Sementara itu, berat badan anak yang sulit naik setelah diberikan intervensi gizi yang cukup selama lebih dari dua bulan juga bisa menjadi pertanda adanya infeksi TB.

Tak hanya gejala yang samar, identifikasi kuman TB ternyata turut menjadi momok saat mendiagnosis. Proses konfirmasi bakteriologis terbilang sulit dilakukan pada anak karena bakteri umumnya bersifat sedikit atau pausibasiler. Selain itu, anak sering mengeluhkan proses induksi sputum yang tidak nyaman sehingga metode pengambilan sampel kerap diganti dengan pemeriksaan bilas lambung. Sebagai alternatif, Fahreza menambahkan bahwa jenis sampel juga bisa diambil dari cairan pleura, cairan serebrospinal, ataupun biopsi organ terkait. Akan tetapi, pemeriksaan sampel jenis tersebut kadang terkendala oleh fasilitas yang kurang memadai di beberapa fasilitas kesehatan.

Diagnosis merupakan salah satu langkah terpenting yang harus dilakukan dokter dalam penanganan TB anak. Meski memiliki banyak hambatan dalam pelaksanaannya, diagnosis perlu dilakukan dengan tepat agar anak mendapatkan pengobatan dan terapi yang sesuai. Penegakkan diagnosis yang tepat ini diharapkan dapat membantu menurunkan angka kejadian TB pada anak.

Penulis: Nada Irza Salsabila
Editor: Gabrielle Adani

Share your thoughts