Menilik Perubahan dan Kontroversi di Balik RUU Kesehatan
Perjalanan Undang-undang Kesehatan dan Urgensinya Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan merupakan salah satu topik hangat yang menjadi sorotan utama beberapa waktu kebelakang, terutama dalam dunia kesehatan. UU ini diajukan sebagai regulasi baru yang menggantikan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan undang-undang atau rancangan undang-undang lain yang terkait. Dalam perkembangan terbaru, RUU Kesehatan ini sendiri sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI menjadi Undang-undang Kesehatan pada 11 Juli 2023 lalu yang digelar di Gedung Nusantara II, Jakarta dan dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani. Berbagai reaksi penolakan muncul bukan tanpa alasan. Salah satu pasal yang mengalami perubahan adalah penghapusan alokasi minimum anggaran negara untuk belanja kesehatan. Pada pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, porsi minimum belanja kesehatan adalah 5% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah atau APBN dan pada level daerah, pemerintah wajib mengalokasikan setidaknya 10% dari APBD. Namun, aturan tersebut sudah tidak lagi dicantumkan dalam UU Kesehatan terbaru.
Pasal lain yang menjadi sorotan adalah pasal terkait izin dokter asing dan diaspora untuk berpraktik di dalam negeri dengan mana disebutkan bahwa syarat kepemilikan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) tidak diberlakukan pada mereka. Perubahan juga ditemukan dalam regulasi penerbitan SIP dan STR, yaitu STR yang awalnya berlaku selama lima tahun diubah menjadi seumur hidup serta diterbitkan di atas nama Menteri. Selain itu, dalam penerbitan SIP, terdapat penghapusan syarat rekomendasi organisasi profesi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Padahal, kedokteran sebagai sebuah profesi adalah pekerjaan yang diatur oleh etik yang berasal dari kesadaran untuk mengatur dirinya sendiri. “Pertanyaan tentang apakah saya sebagai dokter masih bersikap etis, kompeten, dan profesional, ketiga hal inilah yang wajib diukur secara reguler dalam kurun waktu tertentu untuk memastikan kualitas seorang dokter agar tetap terjaga,” terang Prof. dr. H. Menaldi Rasmin, Sp.P(K), FCCP, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia 2009-2014. Di Indonesia, pengukuran ini dilakukan setiap lima tahun sekali. Ketika seorang dokter dianggap telah memenuhi kriteria tersebut, orang itu berhak untuk melakukan praktik kedokteran dengan memperoleh perpanjangan STR.
Penulis: Syidan dan Hana
Redaktur: Yuri dan Sofia