Menilik Tata Laksana dan Persiapan Rujukan HPP
Berdasarkan Data Rutin Direktorat Bina Kesehatan Ibu, penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan. Adapun risiko kematian ibu dan anak terjadi paling banyak saat persalinan karena persalinan memiliki banyak potensi kegawatdaruratan. Salah satu kasus kegawatdaruratan obstetri yang umum dijumpai adalah perdarahan postpartum (HPP). Menilik fenomena tersebut, EMBRYO PLD UI mengadakan webinar bertajuk “Tata Laksana Awal, Stabilisasi, dan Persiapan Rujukan HPP” yang dibawakan oleh Dr. dr. Arietta Pusponegoro, Sp.OG(K) pada Sabtu, 30 Oktober 2021.
Penyebab utama HPP biasa disimpulkan dalam 4T, yakni tonus (uterus tidak berkontraksi dengan adekuat), trauma (ruptur uteri), tissue (jaringan), dan thrombin. Berikut adalah rangkuman manifestasi klinis HPP:
Diagnosis HPP dapat ditegakkan melalui dua metode, yakni metode visual dan metode kuantitatif untuk perkiraan kehilangan darah setelah persalinan pervaginam. “Dokter sekalian sebaiknya melakukan latihan untuk memperkirakan berapa volume darah yang hilangdengan tampilan dan cerita pasien,” ujar Arietta.
Terdapat banyak hal yang dapat meningkatkan risiko seorang ibu mengalami HPP. Faktor-faktor risiko HPP antara lain meningkatnya usia maternal > 35 tahun, etnis Asia, obesitas dengan BMI > 35, grande multipara, abnormalitas uterus, kelainan darah maternal, anemia dengan Hb <9 g/dl, perdarahan antepartum, serta overdistensi uterus. “Apabila dokter-dokter menemui pasien dengan banyak faktor risiko di atas, segera rujuk untuk manajemen risiko!” pesan Arietta.
Kemudian, Arietta memaparkan manajemen risiko HPP antepartum, intrapartum, dan postpartum.
Berikut adalah ilustrasi pendekatan tim yang bisa menolong HPP. Penolongan ini harus dilakukan oleh tim yang terdiri dalam minimal 3 orang; karena perlu bekerja secara simultan untuk intervensi dan pencarian sumber perdarahan.
Lakukan primary survey. selanjutnya lakukan tatalaksana syok. Masukkan obat-obatan uterotonika, cari etiologi, hentikan sumber perdarahan, dan berikan cairan pengganti cairan yang hilang. Algoritma penanganan perdarahan pasca salin ditunjukkan oleh gambar di bawah ini. Mnemonic untuk membantu hapalan urutan manajemen juga dibagikan oleh Arietta.
“Hal yang bisa kita lakukan di praktek bidan mandiri atau faskes primer itu hanyalah tata laksana awal untuk kegawatdaruratannya, cek airway, breathing, dan circulation, lanjut tata laksana syok,” ujar Arietta. “Masukkan obat-obatan uterotonik, lakukan secondary survey untuk mencari etiologi, dan primer harus beres dari segi tonus, trauma, dan tissue. Selanjutnya pastikan hitung cairan yang hilang diganti. Apabila tonus dicurigai, lakukan juga massage. Selanjutnya tata laksana definitif dilakukan di rumah sakit.”
“Prinsipnya, setelah HPP membaik atau teratasi, dokter harus merujuk. HPP dapat terjadi berulang,” pesan Arietta, “semua HPP harus dirujuk ke fasilitas rujukan. Apabila telah dirujuk kembali, dokter perlu melakukan observasi ketat dengan daftar kontrol istimewa.”