Pantang Panik Hadapi STEMI
Jangan sampai Anda kagok menangani STEMI. Ingat, time is muscle!
ST elevation myocardial infarction (STEMI) didefinisikan sebagai infark miokardium yang disertai dengan elevasi segmen ST pada pemeriksaan EKG. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk sindrom koroner akut yang ditandai dengan munculnya kumpulan gejala khas, seperti rasa sesak yang memberat, berkeringat, mual, serta nyeri dada seperti tertindih yang menjalar hingga bahu, leher, dan lengan. STEMI termasuk salah satu kegawatdaruratan kardiovaskular yang bisa mengancam nyawa. Oleh karena itu, diperlukan tata laksana yang cepat dan tepat untuk menangani kejadian ini.
Prinsip dasar menangani STEMI adalah penatalaksanaan segera sejak kontak pertama. Maka dari itu, penegakkan diagnosis STEMI perlu dilakukan dalam 10 menit setelah kedatangan pasien. Kecepatan dalam mendiagnosis sangat diperlukan agar terapi reperfusi—tata laksana utama STEMI—lebih efektif.
Ada dua metode reperfusi yang dapat dipilih, yaitu intervensi koroner perkutan (IKP) dan terapi fibrinolitik. Pemilihan metode ini dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan fasilitas serta perkiraan waktu dimulainya reperfusi.
Sebagai langkah awal setelah diagnosis kerja STEMI ditegakkan, terus pantau EKG dan segera pasang akses intravena. Pertimbangkan pemberian morfin intravena secara drip pada pasien yang mengalami nyeri hebat. Oksigen dapat diberikan hanya jika saturasi oksigen pasien < 90%.
Dual antiplatelet therapy (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP wajib diberikan. Aspirin diberikan per oral dengan dosis 160-320 mg. Sementara itu, penghambat reseptor ADP yang diberikan bisa berupa ticagrelor (dosis awal 180 mg dengan dosis pemeliharaan 90 mg dua hari sekali) atau klopidogrel (dosis awal 600 mg dan dosis pemeliharaan 150 mg per hari).
Setelah tata laksana awal, pemilihan metode reperfusi dimulai dengan melihat ketersediaan fasilitas IKP. Meski IKP primer lebih diutamakan, fibrinolitik boleh dipilih apabila tidak ada rumah sakit dengan fasilitas IKP yang dapat dijangkau untuk memulai IKP primer dalam waktu 120 menit. Pemilihan ini dilakukan karena keterlambatan reperfusi dapat menambah total waktu iskemik sehingga perlu ditekan hingga seminimal mungkin. Selanjutnya, pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik dapat dikirim ke rumah sakit dengan fasilitas IKP bila memungkinkan.
Obat antikoagulan parenteral, seperti unfractioned heparin (UFH), harus diberikan selama IKP primer. UFH diberikan sebanyak 50-70 IU/kgBB bolus jika pasien juga menerima inhibitor GP IIb/IIIa. Pada terapi fibrinolitik, pasien juga diberikan aspirin dan klopidogrel dengan dosis yang sama seperti IKP primer. Pemberian antikoagulan juga disarankan selama fibrinolitik hingga terjadi revaskularisasi atau selama lima hari dirawat. Pada dasarnya, pemberian antikoagulan sangat penting dalam kedua metode reperfusi.
Pelaksanaan reperfusi yang cepat dan tepat adalah kunci penting untuk keberhasilan tata laksana STEMI. Tenaga medis harus cermat mempertimbangkan kondisi fasilitas dan waktu agar dapat memilih metode reperfusi yang sesuai. Terjadinya keterlambatan dalam reperfusi sangat berbahaya karena dapat menambah total waktu iskemik jantung pasien. Karena itulah, pencegahan terjadinya keterlambatan reperfusi sangat penting agar risiko kematian akibat STEMI dapat menurun.
Penulis: Nada Irza Salsabila
Editor: Kareen Tayuwijaya