Pelanggaran Etik Terawan: Antara Basis Bukti dan Testimoni

Berbagai inovasi Terawan di bidang kesehatan, apa gunanya tanpa diiringi bukti sahih?

Pemberhentian Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad(K) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang belum lama ini terjadi mengundang berbagai reaksi, mulai dari masyarakat hingga tokoh-tokoh dalam pemerintah Indonesia saat ini. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa sang dokter lulusan Universitas Airlangga itu menerima perlakuan yang tidak layak dari IDI. Terlebih, sosok kontroversial tersebut telah melahirkan berbagai inovasi baru dalam dunia kesehatan Indonesia, meskipun bukti dari berbagai penemuan tersebut masih dipertanyakan. Polemik ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, terutama mengenai latar belakang dari keputusan besar yang diambil organisasi yang menaungi dokter-dokter di Indonesia tersebut, serta mengenai peran testimoni dalam penemuan ilmiah yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.

Kronologis Pemecatan Terawan: Bukan Keputusan Impulsif

Permasalahan mengenai tindakan Terawan sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2013. Prosedur terapi digital subtraction angiography (DSA) modifikasi, atau yang dikenal masyarakat awam sebagai prosedur “cuci otak” inovasi Terawan, sebenarnya merupakan tindakan diagnostik. Pemanfaatan DSA menjadi tindakan kuratif belum didasari bukti-bukti penelitian yang adekuat sehingga dikhawatirkan dapat membahyakan pasien. “Tidak ada penjelasan mengenai besar perhitungan sampel dan parameter-parameter yang diukur merupakan parameter pengganti,” ujar Prof. dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK. staf Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

Selain itu, Bukti dari efektivitas dan efikasi dari prosedur DSA yang dilakukan oleh Terawan sebagian besar berasal dari testimoni. “Pembuktian melalui testimoni bersifat rentan karena faktor subjektivitasnya besar,” jelas pria kelahiran 1948 itu. Terhadap prosedur dari DSA yang tidak sesuai dengan kaidahnya dan juga bukti-bukti penelitiannya yang belum valid, IDI merespons dengan melakukan pemanggilan terhadap Terawan untuk berdisksi. Tidak ada hukuman yang terlibat dalam pemanggilan ini dan proses dilakukan melalui forum tertutup, yang berarti tidak ada eksposur ke media luar untuk mencegah adanya pencorengan nama baik. Namun, ketidakhadiran Terawan dalam forum tersebut kemudian membuat IDI mempertimbangkan untuk memberikan konsekuensi yang lebih berat.

Keputusan untuk menghentikan Terawan dari IDI pun muncul pada tahun 2018 di Muktamar IDI Banjarmasin, tetapi tertunda selama empat tahun. “Keputusan sanksi etik Terawan telah melalui proses profesi dan akademik sehingga harus kita jalani dan hormati bersama,” ucap dr. Reyhan Eddy Yunus, SpRad, M.Sc., Koordinator Penelitian dan Pengembangan Departemen Radiologi FKUI-RSCM. Akan tetapi, dokter lulusan FKUI tahun 2014 ini juga mengungkapkan bahwa untuk merangkul dan mendukung seorang dokter spesialis radiologi yang sedang mengalami kesulitan, PDSRI (Persatuan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia) memberikan sebuah surat keberatan yang memohon pertimbangan kembali pemecatan Terawan pada Muktamar IDI di Banda Aceh.

Testimoni, Bukti Valid dalam Penelitian Medis?  

Salah satu akar permasalahan dari kasus Terawan adalah penerapan hasil penelitian yang melenceng dari prinsip pengobatan berbasis bukti atau evidence-based medicine (EBM). Sesuai dengan namanya, EBM merupakan suatu proses pendekatan medis berdasarkan bukti-bukti ilmiah. Hasil penelitian seperti metaanalisis dan penelitian dengan randomisasi memiliki tingkat bukti yang tinggi. Tingkat bukti yang paling rendah berdasarkan EBM adalah pendapat para ahli. Testimoni dari pasien, seperti yang digunakan Terawan dalam menerapkan hasil penelitiannya, sejatinya tidak memiliki tempat dalam EBM. Meskipun demikian, bukan berarti testimoni tidak memiliki peran. “Kalau kita memberikan suatu pengobatan kepada pasien dan ada testimoni, maka ilmuwan yang baik tidak mudah percaya dan menyusun publikasi laporan seri kasus untuk memicu pertanyaan dan rancangan penelitian”, jelas Rianto.

Melihat prinsip EBM tersebut, testimoni tidak semestinya dijadikan alat bukti dalam kesehatan. Testimoni juga berpotensi menimbulkan bias karena hanya diungkapkan oleh subjek yang mendapat perbaikan dari prosedur atau terapi tertentu, sedangkan  mereka yang tidak mendapatkan perbaikan atau manfaat dari tindakan yang diujikan tidak diikutsertakan dalam testimoni. Alhasil, akan tercipta kesalahan informasi di masyarakat atau kalangan awam yang pada gilirannya berisiko mendapat efek merugikan. “Bias yang terbentuk akan susah dikoreksi dan merupakan penipuan terhadap masyarakat awam. Karena itulah, penelitian yang memiliki metodologi amburadul akan memiliki kesimpulan yang tidak dapat dipegang”, tegas pria yang mendapat gelar spesialis Farmakologi Klinik pada tahun 1994 ini.

Temuan baru yang belum terbukti secara ilmiah tidak seharusnya disebarluaskan dan dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan. Meskipun begitu, temuan baru boleh didiskusikan dengan sesama ahli dalam forum tertutup. Hal itu bertujuan untuk mendukung inovasi baru melalui forum diskusi ilmiah yang menampung berbagai masukan dan saran mengenai suatu temuan.

Pelajaran dari Pemakzulan

Tindakan Terawan terkait prosedur cuci otak berbuah sanksi dari IDI berupa pelepasan keanggotaan. Pelanggaran etik yang dilakukan, seperti mengumumkan dan menerapkan penemuan pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya, serta mangkir dari pemanggilan diskusi selama beberapa kali menjadi alasan kuat dibalik keputusan final IDI tersebut pada tahun 2022 ini.

Polemik pemakzulan Terawan dapat menjadi pelajaran, terutama bagi tenaga medis tanah air, bahwa inovasi ilmiah dengan tujuan yang diterapkan sesuai kaidah penelitian yang berlaku. Ilmuwan dalam bidang kedokteran di Indonesia sudah sepatutnya menerapkan EBM sebagaimana standar, bukan berdasarkan cara sendiri yang tidak diakui secara luas. Temuan yang dikatakan sebagai karya anak bangsa memang perlu mendapat dukungan, tetapi bukan berarti mengabaikan kaidah ilmiah yang menjadi landasan kesahihan suatu prosedur terapi kesehatan. Di samping itu, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa penelitian kesehatan yang sedang ramai dibicarakan belum tentu teruji kebenarannya. “Katakanlah kita mendapat suatu berita mengenai efikasi atau keampuhan suatu obat atau terapi, maka itu harus kita sebagai tenaga kesehatan harus bisa mengkritisi dan masyarakat juga perlu mempertanyakan,” pesan Reyhan. yosafat, cahyadi

Penulis: Yosafat, Cahyadi

Editor: Amanda

Share your thoughts