Pelangi di Balik Pandemi

Di balik huru-hara yang disebabkan oleh pandemi, apakah makna yang bisa dipetik?

Pandemi Covid-19 membawa berbagai perubahan tak terduga dalam kehidupan kita. Berbagai kegiatan yang sudah direncanakan hanya berakhir sebagai wacana. Bepergian yang ditujukan untuk hiburan kini dibelenggu oleh ketakutan. Berbagai usaha mulai tumbang dan ekonomi lesu. Ditambah lagi, berbagai kabar buruk datang bertubi-tubi tanpa tanda akan berhenti. Segala perubahan dan kekacuan yang terjadi akibat pandemic bagaikan mimpi buruk yang menjadi nyata.

Pandemi yang nampaknya masih belum ingin pergi memaksa kita untuk berdamai, hidup berdampingan dengan situasi. Situasi ini mengajak kita untuk membuka mata terhadap hikmah atas tragedi. Jika ada pelangi di balik hujan tanpa henti, mengapa tak ada bahagia di balik pandemi? Mungkin, inilah saatnya bagi kita untuk melihat hal-hal baik yang diberikan oleh pandemi meskipun semuanya tidak mudah.

Semenjak adanya pandemi, kesehatan—yang mungkin dulu seringkali diabaikan—kini menjadi kata kunci. Manusia, tua maupun muda, tak lagi memandang anugerah tersebut sebelah mata dan berusaha menjaganya sebaik mungkin. Pola hidup sehat kini menjadi bagian utama dari kehidupan, bukan sampingan. Kebiasaan hidup bersih semakin ditegakkan, dibuktikan dengan giatnya ajakan mencuci tangan dan cairan sanitasi yang tersedia di manapun kita berada. Hasilnya pun cukup menakjubkan. Terbukti, beberapa penyakit menular lain lebih sedikit ditemukan setelah pandemi datang. Pandemi juga membawa angin segar bagi lingkungan. Langit biru yang sejak lama dirindu, tiba-tiba datang kembali. Polusi udara perlahan-lahan angkat kaki. Lalu lintas pun semakin tenang; kecelakaan semakin jarang terjadi.

Sadar atau tidak, pandemi memanggil kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sejenak terlupakan. Manusia saling tolong-menolong, mengulurkan tangan pada siapapun yang terjatuh akibat pandemi. Kali ini, manusia tak lagi memikirkan jarak dan batas. Aksi sosial rupanya mampu memupuk solidaritas dan menembus batas antargolongan; suku, ras, dan agama, profesi, dan status sosial. Tampaknya kondisi sulit ini menyadarkan sebuah hakikat yang terlupakan bahwa kita hanyalah manusia yang saling membutuhkan.

Berbagai inovasi di bidang teknologi berkembang pesat untuk menjawab segala keterbatasan di tengah kondisi ini. Belajar dan bekerja yang sebelumnya berlangsung secara tatap muka, kini terpaksa dilakukan dari rumah masing-masing. Situasi ini sama sekali tak terduga tetapi memaksa manusia untuk berinovasi dan semakin bersahabat dengan teknologi. Telekonferesi menjadi teman sehari-hari. Berbagai aplikasi baru muncul untuk menunjang proses adaptasi.  Silaturahmi yang seringkali terhalang jarak dan waktu boleh jadi menjadi semakin intens dilakukan semenjak pandemi dengan bantuan teknologi. Bidang-bidang lain pun saling berlomba melakukan digitalisasi, mulai dari pameran seni secara daring hingga laboratorium Covid-19 dalam kontainer. Tak disangka, pandemi justru memaksa manusia untuk semakin berkembang dan berinovasi untuk beradaptasi.

Terakhir, namun  tak kalah penting, pandemi telah memberikan kita waktu lebih—waktu lebih untuk berkontemplasi, bersenda gurau bersama keluarga, bernostalgia kembali dengan kawan lama, atau berdamai dengan diri sendiri dengan cara merawat, mengembangkan diri, atau merasakan kehidupan di luar kejenuhan rutinitas. Biasanya kita terlalu sibuk dengan segala hiruk-pikuk kehidupan hingga melupakan rehat untuk sekadar menikmati dan mensyukuri segala kebaikan yang ada di kehidupan ini. Layaknya tombol berhenti, pandemi memberikan kesempatan bagi kita untuk beristirahat dan kembali mengenali diri sendiri.

Pandemi mungkin membawa nelangsa, mungkin membawa petaka. Tapi tanpanya, akankah kita berdiri setegar hari ini? Akankah kita menyadari dan menghargai setiap kebahagiaan kecil dalam hidup?

 

Penulis:
Hubert Andrew
Amanda Safira Aji

Share your thoughts