Penerapan Kelas Rawat Inap Standar: Untung atau Buntung?

Apakah inovasi baru BPJS ini merupakan langkah yang tepat untuk memajukan sistem pelayanan kesehatan ?

kelas rawat inap standar KRIS

Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah melakukan uji coba penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sejak bulan Juli lalu. Program tersebut sejatinya merupakan hasil “peleburan” dari klasifikasi tiga kelas layanan yang telah berlaku sebelumnya. Akankah kebijakan ini mampu memenuhi ekspektasi pemerintah dalam mewujudkan sistem pelayanan kesehatan yang berkualitas, atau justru  membebani seluruh komponen yang terlibat di dalamnya?

Kebijakan Baru, Apakah Buru-buru?

Penerapan kelas standar ini pada dasarnya telah direncanakan sejak tahun 2021 dengan didasari berbagai pertimbangan, baik dari segi peraturan maupun realisasinya di lapangan.  Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D, AAK, Direktur Utama BPJS Kesehatan, mengungkapkan bahwa kebijakan kelas rawat inap standar tidak bisa diimplementasikan secara tergesa-gesa karena memerlukan persiapan yang matang. “Perlu adanya perumusan kembali terkait tujuan dan defisit kelas rawat inap standar serta memperhatikan kesiapan fasilitas kesehatan dan juga peserta,” ungkapnya dalam acara Public Expose Pengelolaan Program dan Keuangan oleh BPJS Kesehatan 2021 silam.

Dalam acara Rapat Dengar Pendapat bersama DPR RI pada bulan Juni lalu, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyepakati 12 kriteria KRIS yang meliputi sarana dan prasarana non-medis, dalam hal ini difokuskan pada kondisi ruangan rawat inap. Dari beberapa kriteria tersebut, belum ada kriteria dari sisi medis yang disepakati sebagai bagian dalam regulasi KRIS. Maka dari itu, Ali mengungkapkan bahwa terdapat dua kriteria tambahan lain yang diusulkan dalam perumusan kriteria KRIS, yaitu akses terhadap dokter dan obat. Ia berharap regulator dapat mempertimbangkan berbagai aspek penting yang diperlukan sehingga implementasi KRIS kedepannya dapat berjalan dengan baik dan meningkatkan kenyamanan peserta.

Sejauh ini, kebijakan KRIS telah diuji coba di beberapa rumah sakit vertikal yang berada di bawah naungan Kemenkes RI, di antaranya RSUP Kariadi Semarang, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang, dan RSUP Surakarta. Uji coba tersebut bertujuan untuk melihat kesiapan rumah sakit, penerimaan peserta, serta dampak finansial terhadap dana jaminan sosial kesehatan.

Antara Harapan dan Konsekuensi

Sistem KRIS yang kini diuji coba meliputi perubahan perhitungan tarif peserta BPJS. Tarif kapitasi merupakan besarnya pembayaran bulanan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) berdasarkan jumlah peserta terdaftar. “Tarif kapitasi sudah 8 tahun tidak disesuaikan. Dalam ilmu ekonomi, 8 tahun tidak berubah dianggap tidak normal,” jelas Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia. Tarif yang stagnan menimbulkan ketimpangan dibandingkan dengan biaya produksi yang terus meningkat. Tenaga kesehatan pun sulit untuk memberikan pelayanan optimal apabila kebutuhannya sendiri tidak tercukupi. Dengan perubahan sistem iuran BPJS menjadi sesuai persentase penghasilan, diharapkan tenaga kesehatan dan pihak fasilitas pelayanan kesehatan dapat menerima imbalan yang manusiawi untuk memberikan perawatan kesehatan terbaik kepada seluruh masyarakat.

Sistem kelas BPJS yang saat ini diberlakukan juga kerap memicu kesenjangan kualitas pelayanan kesehatan antara peserta yang membayar lebih dan tidak membayar. Dengan diberlakukannya KRIS, kelas standar akan menjamin hak masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan sesuai prinsip ekuitas. “Kalau kebutuhan, ya, silakan ditanggung oleh negara. Kebutuhan kita sama sesama manusia. Kalau keinginan, silakan bayar sendiri,” ujar pria kelahiran 1954 itu. Perubahan ini diharapkan pula dapat menggeser persepsi dan mental diskriminatif yang kerap menyulitkan masyarakat golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas.

Dari segi fasilitas, setiap rumah sakit diharapkan berbenah untuk memenuhi standar atau kriteria lainnya. Hal ini tentunya meningkatkan kualitas pelayanan dari sisi non-medis sehingga peserta dapat merasakan keuntungan saat menerima layanan. Di samping itu, perbaikan ruangan rawat inap yang dilakukan oleh pihak rumah sakit memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga berpotensi mengubah besaran iuran. “Kita harus tahu bahwa memang sebagian rumah sakit akan mengubah ruangan-ruangannya dan perlu biaya, maka dari itu kita naikkan bayarannya” tegas Hasbullah.

Niat Baik Untuk Masyarakat, Lantas Bagaimana Tanggapan Mereka?

Kebijakan standarisasi fasilitas pelayanan rumah sakit melalui program KRIS mengundang berbagai respon di tengah masyarakat. Ada masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut dan ada pula yang mengeluhkannya apabila mendapatkan fasilitas yang setara dengan orang yang membayar sedikit. Adrian, seorang pegawai swasta, mendukung pemerintah dalam menerapkan kebijakan KRIS apabila mutu kualitas layanannya ditingkatkan. “Tentunya mendukung kalau fasilitas dan aksesnya diperbaiki. Kalaupun iurannya naik, itu tidak masalah” ucapnya. Laksmi, pegawai negeri sipil, menyatakan kurang setuju terhadap  kebijakan tersebut. Menurutnya, pemerintah bisa lebih berlaku adil dalam menyediakan layanan kesehatan. “Kalau fasilitas disamaratakan, terus untungnya saya bayar lebih apa? Lebih baik menggunakan sistem yang sebelumnya saja” tegas Laksmi.

Meskipun telah dilakukan uji coba, perubahan kelas layanan ini masih belum diketahui sebagian peserta. Ida, seorang ibu rumah tangga, mengaku belum mengetahui adanya perubahan dari tiga kelas layanan menjadi satu kelas rawat inap standar. “Saya juga baru tahu ada perubahan itu. Mudah-mudahan tidak merugikan dan membebani kita” ujarnya. Ia juga berharap pemerintah segera mensosialisasikan kebijakan baru tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman dari pihak peserta.

Berkaca dari pelaksanaan kualitas pelayanan standar yang sebelumnya telah lama diberlakukan di negara-negara seperti Thailand dan Malaysia, pada dasarnya, KRIS merupakan upaya pihak BPJS dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan yang didapat oleh pasien. Setiap perubahan pun tentu disertai pro dan kontra dari masing-masing pihak. Meskipun demikian, segenap masyarakat dan pemerintah perlu memahami bahwa diperlukan partisipasi dari seluruh pihak untuk mencapai target cakupan kesehatan semesta atau universal health coverage (UHC) bagi seluruh golongan masyarakat. Akhir kata, kebijakan kelas rawat inap standar diharapkan menjadi terobosan baru yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia demi mencapai negara yang berkeadilan.

Penulis: Dwi Oktavianto Makdasari, Sofia Salsabilla Syifa

Redaktur: Ryan Andika, Benedictus Ansell Susanto

Share your thoughts