Perdarahan Postpartum

Definisi

Perdarahan postpartum (PPH: post-partum hemorrhage) merupakan kegawatdaruratan obstetrik yang dapat dikategorikan sebagai PPH primer, sekunder, minor, dan mayor. Pada PPH primer, kehilangan darah yang berlebihan terjadi dalam 24 jam pertama setelah melahirkan. Sedangkan pada sekunder, kehilangan darah berlebihan 24 jam hingga 12 minggu setelah melahirkan. PPH minor didefinisikan jika terdapat kehilangan darah 500-1.000 mL, sedangkan PPH mayor merupakan kehilangan darah >1.000 mL. Selanjutnya, PPH mayor dibagi lagi menjadi kategori sedang (kehilangan darah 1.000-2.000 mL) dan berat (kehilangan darah >2.000 mL). Kehilangan darah >40% dianggap dapat mengancam jiwa (sekitar 2.800 mL pada wanita 70 kg).

sinonim: obstetric hemorrhage, post-partum hemorrhage, PPH3

Etiologi & faktor risiko

Penyebab perdarahan postpartum antara lain atonia uteri, laserasi saluran genital, plasenta yang tertahan di uterus, inversi uterus, abnormalitas penempelan plasenta, dan gangguan koagulasi. Atonia uterus, atau kurangnya kontraksi uterus yang efektif, adalah penyebab paling umum pendarahan postpartum. Sedangkan penyebab sekunder perdarahan postpartum termasuk produk konsepsi, infeksi, subinvolusi dari situs plasenta, dan defisit koagulasi bawaan1.

Etiologi

Secara umum, etiologi atau penyebab utama dari perdarahan postpartum ada empat atau yang biasa disingkat dengan 4T, antara lain:2

  1. Tonus

Atonia uteri, kegagalan kontraksi, dan retraksi serat otot miometrium dapat menyebabkan perdarahan yang cepat dan berat serta syok hipovolemik. Ukuran rahim yang besar, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor risiko utama atonia. Ukuran rahim yang terlalu besar ini dapat disebabkan oleh kehamilan multifetal, makrosomia janin, polihidramnion, atau kelainan janin (seperti hidrosefalus berat), kelainan struktural uterus, atau kegagalan untuk melahirkan plasenta, serta distensi dengan darah sebelum atau setelah lahirnya plasenta.

Kontraksi miometrium yang buruk dapat terjadi akibat kelelahan karena persalinan yang lama atau persalinan yang cepat. Ini juga dapat dihasilkan dari penghambatan kontraksi oleh obat-obatan seperti agen anestesi terhalogenasi, nitrat, obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain termasuk tempat implantasi plasenta di segmen uterus bagian bawah, toksin bakteri (korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus Couvelaire pada abruptio plasenta, dan hipotermia akibat penyebab apapun.

  1. Tissue (Jaringan)

Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan pelepasan plasenta sehingga memungkinkan retraksi lanjutan dan oklusi pembuluh darah yang optimal. Kegagalan pemisahan total plasenta terjadi pada plasenta akreta dan variannya. Pendarahan yang signifikan dari daerah di mana pelekatan normal (dan sekarang terlepas) telah terjadi dapat menandai akreta parsial. Akreta lengkap di mana seluruh permukaan plasenta melekat secara tidak normal, atau invasi yang lebih parah (plasenta inkreta atau perkreta).

plasenta akreta

Gambar 1. Plasenta akreta dan variannya

Kondisi plasenta akreta bisa tidak menyebabkan perdarahan hebat, tetapi dapat berkembang karena upaya yang lebih agresif dilakukan untuk mengeluarkan plasenta. Kondisi ini harus dipertimbangkan setiap kali plasenta tertanam di atas bekas luka rahim sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan plasenta previa. Semua pasien dengan plasenta previa harus diberitahu tentang risiko PPH berat, termasuk kemungkinan kebutuhan untuk transfusi dan histerektomi. Darah yang tertahan di uterus dapat menyebabkan distensi uterus dan mencegah kontraksi yang efektif.

  1. Trauma

Kerusakan saluran genital dapat terjadi secara spontan atau melalui manipulasi yang digunakan untuk melahirkan bayi. Persalinan sectio caesaria menghasilkan kehilangan darah rata-rata dua kali lipat dari persalinan per vaginam. Sayatan di segmen tertentu memiliki faktor risiko perdarahan (seperti di segmen bawah uterus), tetapi munculnya perdarahan atau tidak lebih bergantung pada penjahitan, kualitas vasospasme, dan pembekuan untuk hemostasis. Ruptur uterus paling sering terjadi pada pasien dengan bekas luka sesar sebelumnya. Setiap rahim yang telah menjalani prosedur tertentu sehingga mengakibatkan gangguan sebagian atau tebal dinding rahim harus dipertimbangkan berisiko mengalami ruptur pada kehamilan berikutnya. Miomektomi, uteroplasty untuk kelainan bawaan, reseksi ektopik kornu atau serviks, perforasi uterus selama dilatasi, kuretase, biopsi, histeroskopi, laparoskopi, atau penempatan alat kontrasepsi intrauterin juga dapat menyebabkan PPH.

Trauma dapat terjadi setelah persalinan yang sangat lama atau kuat, terutama jika pasien memiliki disproporsi sefalopelvis relatif atau absolut dan uterus yang telah distimulasi dengan oksitosin atau prostaglandin. Trauma juga dapat terjadi setelah manipulasi ekstrauterin atau intrauterin janin. Risiko tertinggi mungkin terkait dengan versi dalam dan ekstraksi bayi kembar kedua. Namun, ruptur uteri juga dapat terjadi sekunder untuk versi luar. Trauma dapat terjadi akibat upaya menghilangkan plasenta yang tertahan secara manual atau dengan instrumentasi.

  1. Trombosis

Pada periode segera pasca persalinan, gangguan sistem koagulasi dan trombosit biasanya tidak menyebabkan perdarahan yang berlebihan. Deposisi fibrin pada situs plasenta dan gumpalan di dalam pembuluh darah berperan penting dalam beberapa jam dan hari setelah persalinan, dan kelainan pada area ini dapat menyebabkan PPH sekunder atau memperburuk perdarahan dari penyebab lain, terutama trauma.

Trombositopenia, seperti purpura trombositopenik idiopatik, atau didapat sekunder akibat sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit yang rendah), abruptio placentae, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), atau sepsis. Kelainan sistem pembekuan, seperti hipofibrinogenemia familial dan penyakit von Willebrand, dapat terjadi dan harus dipertimbangkan juga sebagai etiologi PPH.

Faktor risiko

  • Retensi plasenta
  • Kegagalan untuk berkembang selama tahap kedua persalinan
  • Placenta akreta
  • Laserasi
  • Persalinan menggunakan instrumen
  • Bayi baru lahir besar untuk usia kehamilan
  • Gangguan hipertensi
  • Induksi persalinan
  • Persalinan dibantu dengan oksitosin 1

Manifestasi Klinis

Gejala yang paling umum dari perdarahan postpartum adalah3 :

  1. Pendarahan yang tidak terkendali
  2. Tekanan darah menurun
  3. Detak jantung meningkat
  4. Penurunan jumlah sel darah merah
  5. Pembengkakan dan rasa sakit pada vagina dan daerah sekitarnya jika perdarahan berasal dari hematoma

Patogenesis & Patofisiologi

Pada saat aterm, uterus dan plasenta menerima 500-800 mL darah per menit melalui jaringan pembuluh darah yang rendah. Aliran tinggi ini merupakan predisposisi uterus gravid terhadap perdarahan yang signifikan jika tidak dikontrol secara fisiologis atau medis. Pada trimester ketiga, volume darah ibu meningkat 50%, yang meningkatkan toleransi ibu terhadap kehilangan darah selama persalinan.

Setelah persalinan janin, rahim gravid dapat berkontraksi secara signifikan disertai penurunan volume. Ini memungkinkan plasenta untuk terpisah dari tempat melekatnya di uterus, memperlihatkan pembuluh darah ibu yang berinteraksi dengan permukaan plasenta. Setelah pemisahan dan lahirnya plasenta, rahim memulai proses kontraksi dan retraksi, memperpendek seratnya dan menekuk pembuluh darah yang memasok yang mengakibatkan jahitan fisiologis untuk menghentikan perdarahan dari uterus.

Jika rahim gagal berkontraksi, atau plasenta gagal berpisah atau dilahirkan, maka perdarahan yang signifikan dapat terjadi. Atonia uteri, atau kontraktilitas miometrium berkurang, merupakan 80% penyebab dari perdarahan postpartum. Penyebab utama lainnya termasuk pelekatan plasenta yang abnormal atau jaringan plasenta yang tertahan, laserasi jaringan atau pembuluh darah di panggul dan saluran genital, dan koagulopati ibu. Penyebab tambahan, meskipun tidak umum, adalah inversi uterus selama persalinan plasenta5.

Diagnosis

Diagnosis pada perdarahan postpartum dilakukan secara cepat dan tepat. Pada awalnya, ditentukan berapa jumlah darah yang telah keluar sekaligus dengan menilai penyebab atau etiologinya. Apabila terjadinya syok, segera dilakukan resusitasi cairan untuk penanganan awalnya untuk mencegah perburukan kondisi dari pasien. Pasien sendiri dapat mentoleransi kehilangan darah sebanyak 500 – 1.000 ml tanpa adanya komplikasi. Selain melihat jumlah kehilangan darah, kondisi hemodinamik pasien dapat dilihat dari parameter lain, seperti tekanan darah, denyut jantung, dan gejala otonom lain yang dapat dirangkum di tabel di bawah ini.

Tabel 1. Derajat syok dan parameter pengukurannya

tabel

Tata Laksana

Perawatan dan manajemen perdarahan postpartum difokuskan pada resusitasi pasien sambil mengidentifikasi dan mengobati penyebab spesifik. Mempertahankan stabilitas hemodinamik pasien penting untuk memastikan perfusi berlanjut ke organ vital. Akses intravena (IV) yang cukup harus diperoleh. Tindakan bedah terkadang dibutuhkan untuk memperbaiki inversi uterus.2

bimanual

Gambar 2. Manuver bimanual

Jika perdarahan postpartum disebabkan oleh atonia uteri, modalitas pengobatan termasuk manajemen medis dengan agen uterotonik, tamponade uterus, embolisasi arteri pelvis, dan manajemen bedah. Walaupun oksitosin diberikan secara rutin oleh sebagian besar rumah sakit pada saat persalinan, obat uterotonik tambahan dapat diberikan dengan manuver bimanual sebagai respons awal terhadap perdarahan. Agen uterotonik termasuk oksitosin, alkaloid ergot, dan prostaglandin. Uterotonik yang umum digunakan meliputi:

  • Oksitosin: Hormon yang diproduksi secara alami oleh hipofisis posterior bekerja dengan cepat menyebabkan kontraksi uterus tanpa kontraindikasi dan efek samping minimal. Pemberian oksitosis dengan dosis 20 – 40 IU dalam 1 liter cairan fisiologi dan diberikan 500 ml dalam 10 menit pertama dan setelahnya 250 ml per jam.
  • Methylergonovine: Alkaloid semisintetis. Bekerja dengan cepat untuk kontraksi uterus yang berkelanjutan. Kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi. Pemberian obat ini dengan injeksi 0.2 mg setiap 2 – 4 jam sekali secara intravena.
  • Carboprost: Analog prostaglandin sintetik PGF. Kontraindikasi pada penyakit hati, ginjal, dan kardiovaskular yang parah, dapat menyebabkan bronkospasme pada penderita asma. Pemberian carboprost dilakukan secara injeksi dengan dosis 250 mcg secara intramuskuler atau langsung ke miometrium setiap 15 hingga 90 menit dengan dosis maksimal 2 mg.
  • Misoprostol: Prostaglandin E1 analog. Lebih banyak onset tertunda daripada obat di atas. Pemberian misoprostol dilakukan melalui per rektal dengan dosis 800 hingga 1000 mcg atau oral/sublingual dengan dosis 600 – 800 mcg.

Jika manuver bimanual dan obat uterotonik tidak cukup untuk mengendalikan perdarahan, tamponade uterus dapat dipertimbangkan. Sistem tamponade balon intrauterin dapat digunakan, biasanya dengan mengisi balon intrauterin dengan 250 hingga 500 mL salin normal. Jika tidak ada balon intrauterin yang tersedia, perdarahan dapat ditahan dengan kain kasa, atau beberapa kateter Foley besar dapat ditempatkan bersamaan. Embolisasi arteri uterus juga dapat dipertimbangkan pada pasien stabil dengan perdarahan persisten. Fluoroskopi digunakan untuk mengidentifikasi dan menutup pembuluh darah tetapi tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak stabil.

Laparotomi eksplorasi biasanya diindikasikan setelah langkah non-invasif gagal. Sayatan idealnya pada perut garis tengah vertikal tetapi pada pasien menjalani sesar, sayatan yang ada dapat digunakan. Jahitan ligasi vaskular dapat diupayakan untuk menurunkan tekanan nadi di uterus. Jahitan ligasi arteri uterina bilateral (jahitan Leary) dapat ditempatkan juga jahitan ligasi ligamen utero-ovarium bilateral. Ligasi arteri iliaka interna juga dapat dilakukan namun karena ini memerlukan pendekatan retroperitoneal, ini jarang digunakan. Jahitan kompresi uterus juga dapat digunakan sebagai pengobatan untuk atonia. Teknik jahitan B-Lynch, yang paling umum dilakukan dari jahitan kompresi, secara fisik menekan uterus dari serviks ke fundus. Langkah terakhir yang dapat dilakukan histerektomi peripartum dengan komplikasi yang menyertainya seperti sterilitas permanen dan peningkatan risiko bedah dengan risiko cedera kandung kemih dan ureter yang lebih tinggi.

Johnson

Gambar 3. Manuver Johnson untuk prolaps uterus

Jika PPH memiliki penyebab selain atonia, modalitas pengobatan harus secara khusus disesuaikan dengan penyebabnya. Laserasi saluran genital harus diperbaiki, serta produk konsepsi yang tertinggal harus dihilangkan secara manual atau dengan prosedur dilatasi dan kuretase. Hematoma dapat dikelola dengan observasi sendiri atau mungkin memerlukan fluoroskopi/embolisasi atau intervensi bedah jika diperlukan. Jika inversi uterus adalah penyebab PPH, tekanan tetap dengan kepalan tangan digunakan untuk mengembalikan rahim ke posisi yang benar. Agen relaksasi uterus (relaksan) seperti anestesi terhalogenasi, terbutalin, magnesium sulfat, atau nitrogliserin dapat digunakan selama reposisi uterus, dengan oksitosin dan uterotonik lainnya yang diberikan begitu rahim berada dalam posisi anatomi yang normal.

Prognosis & Komplikasi

PPH adalah komplikasi umum dari persalinan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu. Dokter harus mengidentifikasi faktor risiko sebelum dan selama persalinan sehingga perawatan dapat dioptimalkan untuk wanita berisiko tinggi. Namun, perdarahan yang mengancam jiwa yang signifikan dapat terjadi tanpa faktor risiko dan tanpa peringatan. Semua pengasuh dan fasilitas yang terlibat dalam asuhan maternal harus memiliki rencana yang jelas untuk pencegahan dan manajemen PPH. Jika tidak ditangani dengan baik, maka dapat menyebabkan kematian janin intrauterin, emboli cairan ketuban, dan sepsis3.

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah tromboemboli, sindrom Sheehan (hipopituitarisme disebabkan oleh iskemia kritis hipofisis hipertrofi), dan sindrom kompartemen abdomen. Sebagian besar pasien dengan PPH diidentifikasi dengan cepat dan berhasil diobati sebelum komplikasi utama berkembang. Masalah yang paling umum adalah anemia dan hilangnya cadangan zat besi dan hemoglobin, yang menyebabkan kelelahan dan sakit kepala ringan postural pada periode postpartum. Komplikasi PPH parah terkait dengan kehilangan darah masif dan syok hipovolemik memungkinkan adanya kerusakan pada semua organ utama, seperti kerusakan pernapasan (sindrom pernapasan pernapasan dewasa) dan ginjal (nekrosis tubular akut). Pada fase pemulihan, edema paru juga dapat ditemukan karena kelebihan cairan atau disfungsi miokardium.

Hipopituitarisme setelah PPH berat (sindrom Sheehan) disebabkan oleh iskemia kritis hipofisis hipertrofi. Kondisi ini harus dipertimbangkan jika terjadi kegagalan laktat. Kekurangan terisolasi dari tropin hipofisis dan hiperprolaktinemia juga dilaporkan pernah terjadi.

Beberapa komplikasi yang berkaitan dengan intervensi bedah telah dijelaskan. Komplikasi meliputi sterilitas, perforasi uterus, sinekia uterus (sindrom Asherman), cedera saluran kemih dan fistula genitourinarius, cedera usus dan fistula genitointestinal, cedera vaskular, hematoma panggul, dan sepsis. Ultrasonografi ginjal juga dapat dilakukan untuk mengecek kemungkinnan obstruksi ureter. Pasien yang menjalani eksplorasi uterus, instrumentasi, atau laparotomi dapat diberikan antibiotik profilaksis saat intervensi.

Referensi

  1. Wormer KC, Jamil RT, Bryant SB. Acute Postpartum Hemorrhage. [Updated 2019 Sep 3]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499988/
  2. Smith JR. Postpartum hemorrhage. [place unknown] : Mescape, 2018 Jun 27 [cited 2020 apr 14]. Available from : https://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a4
  3. Royal College of Obstetricians and Gynecologists. Prevention and Management of Postpartum Haemorrhage: Green-top Guideline No. 52.  2017 Apr;124(5):e106-e149
  4. Postpartum hemorrhage [internet]. [place unknown] : Amboss, 2020 apr 09 [cited 2020 apr 14]. Available from : https://www.amboss.com/us/knowledge/Postpartum_hemorrhage
  5. Yiadom MYAB. What is the pathophysiology of postpartum hemorrhage (PPH) [internet]. [place unknown] : Medscape, 2018 Jan 02 [cited 2020 apr 14]. Available from : https://www.medscape.com/answers/796785-122138/what-is-the-pathophysiology-of-postpartum-hemorrhage-pph
  6. Freeborn D, Trevino H, Burd I. Postpartum hemorrhage. New york : University of Rochester Medical center, 2020 [cited 2020 apr 14]. Available from : https://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=90&ContentID=P02486

Share your thoughts