Perihal Mempersalahkan dan Disalahkan
Suatu komplikasi atas sebuah rantai pertanggungjawaban.
Kesembuhan seorang pasien tidak semata-mata ditentukan oleh keahlian seorang dokter. Dalam mendiagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat, seorang dokter harus mengikuti pedoman keilmuan yang telah disusun berdasarkan informasi dari berbagai sumber terpercaya. Penyusunan pedoman tersebut juga melibatkan banyak pihak. Berkaca dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pengobatan seorang pasien bukan ditentukan oleh satu orang.
Walaupun begitu, banyak kasus kegagalan pengobatan, kecacatan, dan kematian pasien yang pada akhirnya dianggap murni karena kesalahan dokter. Dokter yang telah berjuang keras untuk membantu pasien sembuh seolah dipaksa kalah atau menyerah di meja hukum. Padahal hal tersebut tidak lantas menjadi jawaban untuk keadaan yang sebenarnya. Keadaan ini dapat diibaratkan sebuah sistem aksioma dalam ilmu matematika. Untuk menyatakan suatu, aksioma absolut—dalam hal ini adalah kematian pasien— perlu memenuhi seluruh aksioma yang disyaratkan, sementara suatu aksioma memiliki ketergantungan dengan aksioma lainnya. Artinya, terjadinya suatu keadaan bergantung pada keadaan-keadaan lainnya.
Banyak faktor yang dapat mengarahkan seseorang untuk memilih pihak mana yang menjadi aktor dalam aksioma absolut tersebut, seperti kelalain pribadi kedua pihak, kelalaian institusi, pengaruh dari pihak ketiga, dan lain-lain. Kepentingan para penegak hukum adalah membuktikan pihak mana yang salah.
Masalahnya, dokter berada pada sebuah sistem yang saling berhubungan bahkan membentuk jaringan aksioma tersendiri. Salah satu yang mengendalikan mereka adalah reliabilitas pengetahuan yang dimiliki, termasuk pedoman untuk bertindak dan berpikir.
Jaringan aksioma ini membentuk rantai tanggung jawab yang secara tidak sengaja membuat banyak pihak saling lempar tanggung jawab. Ketika aksioma absolut terjadi, mereka yang terlibat akan cenderung menyalahkan orang yang mereka andalkan. Pihak pasien menyalahkan dokter. Namun, dokter bisa jadi bukan pihak yang salah karena mengikuti pedoman tata laksana dari rumah sakit. Namun, rumah sakit juga tidak bisa disalahkan karena pedoman tersebut didapatkan dari kementerian kesehatan. Sementara itu, kementerian bisa jadi tidak salah karena pedoman yang mereka buat berasal dari sumber terpercaya dan institusi ternama. Tanpa sadar, mereka saling mengandalkan juga menjatuhkan. Keadaan semakin menjebak satu sama lain. Perlahan, fenomena ini membentuk siklus mempersalahkan dan disalahkan sehingga kebenaran menjadi semakin rancu.
Sayangnya, penegak hukum juga tidak dapat menerima keadaan dimana tidak ada pihak yang salah dalam suatu gugatan, karena mereka pun harus tunduk pada aksioma lainnya. Mereka terjebak dalam keadaan yang mengharuskan penentuan salah dan benar walaupun keduanya masih abu-abu. Jika berujung pada kerancuan, mengapa aksioma tersebut tidak dihilangkan saja? Tidak semudah itu karena hal tersebut akan mempengaruhi lebih banyak aksioma lagi.
Melihat fenomena tersebut, timbul kegelisahan: bagaimana nasib para dokter? Apakah mereka harus selamanya bertahan di bawah tekanan para penegak hukum senantiasa dan bertahan sampai jaringan aksioma dirombak? Tentu saja tidak. Dokter dengan
keahlian dan keilmuan yang dimiliki dapat bertindak bijak. Dalam menjalankan tugasnya, dokter perlu melakukan verifikasi dan validasi mandiri atas pedoman-pedoman yang menjadi acuan. Sifat mandiri dan bertindak berbasis bukti harus diterapkan. Dengan begitu, dokter akan memiliki justifikasi kuat terhadap sebuah tuntuan pasien dengan mengungkapkan aksioma-aksioma yang mendasari hal tersebut. Walaupun kebenaran dalam jaringan aksioma ini masih rancu, setidaknya mereka tidak saling mempar tanggung jawab. Selebihnya, tetap berdoa pada pemilik kebenaran yang sesungguhnya.