Pheochromocytoma

Definisi & informasi umum

Pheochromocytoma merupakan tumor penghasil katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) pada medula kelenjar adrenal yang merupakan derivat sistem saraf simpatik. Meskipun pada kenyataannya terdapat 10% kasus pheochromocytoma ekstramedular. Sebanyak 10% kasus merupakan kondisi ganas (maligna) dan 10% kasus merupakan tumor bilateral (kedua kelenjar adrenal).1,2  Kondisi ini dapat merupakan kondisi sporadis (muncul begitu saja) atau familial yang merupakan bagian dari kelainan genetik yang diturunkan, seperti multiple endocrine neoplasia (MEN) tipe II, penyakit von Hippel-Lindau, neurofibromatosis tipe I, dan sindroma paraganglioma. Jenis tumor familial ini mencapai 35-40% kasus pheochromocytoma. Kondisi ini diperkirakan diderita oleh 2-8 orang per 1.000.000 populasi. Sebanyak 0,2-0,6 % dewasa dan 1,7% anak penderita hipertensi merupakan pasien dengan pheochromocytoma. Meskipun dapat ditemukan di semua usia, kondisi ini paling banyak terdiagnosis pada pasien usia 40-50 tahun dimana pasien di bawah usia 40 tahun biasanya menderita pheochromocytoma tipe familial.1-3

Istilah pheochromocytoma secara klinis digunakan pada tumor-tumor yang menghasilkan katekolamin dan bergejala pada pasien, sedangkan istilah paraganglioma digunakan untuk mendeskripsikan tumor penghasil katekolamin di basis kranii ataupun leher yang hanya menghasilkan sedikit ataupun tidak menghasilkan katekolamin. Akan tetapi, WHO memberi definisi terbaru, yaitu pheochromocytoma merupakan tumor yang terletak pada kelenjar adrenal dan paraganglioma adalah tumor yang terletak selain pada kelenjar adrenal.

 

Tanda & Gejala

Gejala klasik yang muncul merupakan trias palpitasi, sakit kepala, dan keringat berlebih. Gejala lain seperti hipertensi, cemas, hingga aritmia juga merupakan gejala yang serig ditemukan. Hipertensi yang resisten terhadap terapi dapat menjadi indikasi. Namun, beberapa kasus bersifat asimtomatik serta tidak berhubungan dengan ukuran tumor karena beberapa tumor besar tidak menunjukkan gejala. Gejala lain yang lebih jarang ditemui antara lain nyeri dada atau abdomen, mual muntah, diare, konstipasi, pucat, kehilangan berat badan, dan lemas. Sebagian kasus mengakibatkan kesulitan metabolisme karbohidrat dan mengalami diabetes dalam perjalanannya.1-3

 

Etiologi & Patogenesis

Pheochromocytoma berasal dari sel-sel kromafin (disebut juga sebagai tumor kromafin) pada medula adrenal yang merupakan turunan dari sistem saraf simpatis. Penyebab pheochromocytoma tidak diketahui secara pasti, terutama tipe sporadis yang muncul tiba-tiba. Sementara tipe familial berkaitan dengan beberapa penyakit dan sindrom lain yang terjadi akibat mutasi gen tertentu. Sejauh ini terdapat setidaknya 10 gen utama yang telah diidentifikasi antara lain RET yang berkaitan dengan MEN tipe II, VHL yang berkaitan dengan penyakit von Hippel-Lindau, NF1 yang berkaitan dengan neurofibromatosis tipe I, SDHA, SDHB, SDHC, SDHD yang merupakan mutasi suksinat dehidrogenase, SDHAF2, TMEM127, dan MAX. Kemungkinan mewariskan mutasi ini pada keturunan selanjutnya mencapai 50%.3

 

Patofisiologi

Sistem saraf simpatik berperan dalam meningkatkan kerja jantung, vasokonstriksi pembuluh darah (meningkatkan tekanan darah), dan aktivitas involunter lainnya. Oleh karena itu, pheochromocytoma menimbulkan gejala-gejala simpatis, seperti peningkatan tekanan darah, takikardia, sakit kepala, dan lainnya.1,2

 

Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengenali riwayat dan gejala yang timbul, serta faktor risiko (terutama riwayat keluarga). Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan biokimia untuk mengetahui kadar katekolamin dan melalui pencitraan radiologi untuk mendeteksi massa tumor. Pemeriksaan biokimia bertujuan mendeteksi hormon dan hasil metabolitnya antara lain epinefrin dan metanefrin, norepinefrin, dan normetanefrin, dan dopamin dan 3-metoksitiramin. Sampel dapat diambil dari plasma (lebih sensitif) maupun urine 24 jam (lebih spesifik). Peningkatan kadar metanefrin urine mencapai di atas 2 kali lipat dari batas normal pada pasien dengan hipertensi. Sementara, kadar pada kasus nonpheochromocytoma padapasien hipertensi umumnya berkisar 1300 μg dalam urine 24 jam. Pemeriksaan kadar metanefrin direkomendasikan menjadi pemeriksaan awal dan dapat dilanjutkan tes supresi klonidin. Tes supresi klonidin berfungsi untuk membedakan kondisi positif palsu atau negatif palsu pasien dengan kadar metanefrin rendah tetapi fraksi metanefrin melebihi batas atas kadar pada pasien hipertensi, atau kadar metanefrin pada perbatasan. Kadar katekolamin tinggi dapat diakibatkan oleh konsumsi obat-obatan, seperti simpatomimetik, diuretik, trisiklik antidepresan, atau penyekat alfa dan beta. Pada pasien pheochromocytoma, tes supresi klonidin tidak memberikan hasil adekuat berupa peningkatan plasma metanefrin dalam 3 jam setelah administrasi atau penurunan kurang dari 40% dari batas awal metanefrin. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan menggunakan MRI atau CT scan yang harus dilakukan dengan kontras. Lokalisasi tumor juga dapat dilakukan menggunakan pencitraan radioaktif, seperti skintigrafi MIBG, F-FDG PET scan, atau F-DOPA PET scan yang membantu dalam kasus familial.1,2

 

Tata Laksana

Operasi dan pengangkatan tumor baik melalui adrenalektomi parsial atau total merupakan terapi definitif. Teknik minimal invasif seperti laparoskopi atau retroperitoneoskopi lebih dipilih karena memiliki lebih sedikit komplikasi, memberikan waktu penyembuhan lebih cepat, dan lebih baik secara kosmetik. Hal yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah bagaimana menjaga fungsi korteks adrenal terutama pada pasien dengan tumor bilateral. Oleh karenanya, pemeriksaan ACTH pasca operasi diperlukan untuk memastikan fungsi korteks adrenal masih bekerja dengan baik. Tekanan darah sebelum operasi harus berada di bawah 160/90 mmHg dan dapat dikontrol menggunakan penyekat alfa, seperti phenoxybenzamin. Penggunaan obat antihipertensi lain, seperti penyekat beta, penyekat kanal kalsium, dan inhibitor ACE juga dapat digunakan. Bila terjadi krisis hipertensi,penggunaan infus nitroprusida disarankan. Hipotensi dapat ditangani dengan pemberian infus cairan.1,2

 

Komplikasi & Prognosis

Apabila tidak ditangani dengan tepat, terdapat morbiditas dan mortalitas tinggi kondisi kardiovaskular. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain aritmia, infark miokardial, aneurisma, kardiomiopati, gagal jantung, hipotensi atau syok, krisis hipertensi dan hipertensi ensefalopati, edema paru, stroke, perdarahan retina, pankreatitis, kejang, kerusakan multiorgan, dan kematian mendadak. Komplikasi lain meliputi kosekresi dari hormon lain akibat tumor ektopik. Tumor bilateral dapat terjadi terutama pada pasien dengan mutasi RET. Kondisi non metastasis dapat diperbaiki dengan reseksi tumor. Metastasis meningkatkan tingkat mortalitas dengan 5-years survival rate mencapai 50-69%.1,2

Referensi

  1. DynaMed [Internet]. Ipswich (MA): EBSCO Information Services. 1995 – . Record No. T114874, Pheochromocytoma and Paraganglioma; [updated 2018 Nov 30, cited 2020 Oct 31]. Available from https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T114874.
  2. Neumann HP. Pheochromocytoma. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s: principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2015. p. 2329-34.
  3. Dahia P. Pheochromocytoma [Internet]. Danbury CT: National Organizations for Rare Disorders; 2011 [cited 2020 Oct 31]. Available from: https://rarediseases.org/rare-diseases/pheochromocytoma/

 

Share your thoughts