Polip Nasal

Definisi & Informasi Umum

Polip nasal merupakan pertumbuhan jaringan jinak dari mukosa hidung yang diasosiasikan dengan proses inflamasi. Polip nasal ini paling sering ditemukan pada pasien dengan rinosinusitis kronik, di mana sekitar 25-30% pasien rhinosinusitis kronik mengalami polip nasal.  Namun, polip nasal juga dapat diasosiasikan dengan kondisi lainnya seperti asma, cystic fibrosis, aspirin-exacerbated respiratory disease (AERD). Umumnya, polip tumbuh di area meatus media dan daerah ethmoid, dan terjadi secara bilateral. Prevalensi dari polip nasal cenderung meningkatnya usia, terutama pada usia 40 hingga 60 tahun, dan lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan.   

 

Tanda dan Gejala

Polip nasal memiliki beberapa gejala khas sebagai berikut: 

  • Gejala obstruksi hidung yang progresif
  • Kongesti hidung atau wajah
  • Pilek (rinorea)
  • Penurunan kemampuan menghidu (hiposmia atau anosmia). 

Gejala-gejalanya menyerupai gejala selesma, tetapi selesma dapat sembuh dalam beberapa hari sedangkan polip nasal justru bersifat progresif. Jika polip menutupi sinus, pasien juga dapat mengalami gejala sinusitis. Gejala-gejala tersebut terjadi secara bilateral; jika ditemukan gejala tersebut bersifat unilateral, atau terdapat riwayat mimisan, otitis media kronik, bronkitis, dan pneumonia, kemungkinan terdapat etiologi lain yang mendasari kondisi pasien sehingga butuh pemeriksaan lebih lanjut.

 

Etiologi & Patogenesis

Etiologi dari polip nasal masih belum sepenuhnya jelas dan hingga kini baru dijelaskan melalui beberapa asosiasi dengan penyakit lain, terutama yang menyebabkan inflamasi jangka panjang pada hidung dan sinus. Polip nasal paling sering terasosiasi dengan rinosinusitis kronik. Rinosinusitis sendiri memiliki etiologi yang beragam, tetapi diduga timbul akibat aktivasi respons Th2 dengan eosinofilia dan inflamasi IgE dengan kadar IL-5 yang tinggi. Selain itu, rinosinusitis kronik juga dapat timbul akibat adanya abnormalitas anatomi dari sinus paranasal yang membuatnya rentan terhadap rinosinusitis. Polip nasal juga ditemukan memiliki kolonisasi Staphylococcus aureus yang lebih tinggi, yang diduga dapat mencetuskan respons inflamasi dengan eosinofilia akibat eksotoksin yang dilepaskannya ke mukosa hidung. Etiologi penyakit sistemik dapat pula mendasari timbulnya polip nasal, seperti cystic fibrosis dan sindrom Churg-Strauss.

 

Patofisiologi

Dalam kondisi normal, sel epitel yang melapisi sinus dan hidung membentuk pelindung fisik untuk melindungi tubuh dari patogen respiratorik yang terhirup dan juga berperan penting dalam klirens mukosilia. Pada kondisi sinusitis kronik dengan polip nasal, terjadi gangguan pada epitel sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas jaringan dan penurunan pertahanan host. Penurunan pertahanan ini menyebabkan mukosa hidung terus-menerus terpapar patogen dan mediator lainnya, sehingga mencetuskan suatu respons inflamasi kronik. Lama-kelamaan, inflamasi ini penyebabkan pembengkakan jaringan dan deposisi fibrin, yang kemudian menyebabkan remodeling jaringan hingga terbentuk polip nasal.

patofisiologi polip nasal

Gambar 1. Patofisiologi polip nasal.2

 

Diagnosis

Selain anamnesis dan observasi gejala yang dialami pasien, pemeriksaan fisik juga penting dalam mendiagnosis polip nasal. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan rinoskopi anterior untuk dapat melihat adanya polip atau neoplasma lainnya secara langsung. Pasien yang memenuhi kriteria rinosinusitis kronik perlu diperiksa dengan endoskopi nasal. Pada polip nasal, hasil endoskopi akan menunjukkan adanya massa keabu-abuan, halus, dapat bergerak, dan setengah bening pada meatus media atau ethmoid. Pencitraan radiologi terkadang dibutuhkan untuk menilai derajat keparahan penyakit, misalnya dengan pemeriksaan CT untuk menilai keterlibatan sinus paranasal. 

pemeriksaan polip nasal

Gambar 2. Hasil CT dan endoskopi hidung pada kasus polip nasal.2

 

Tata Laksana

Tata laksana lini pertama untuk polip nasal pada rinosinusitis kronik adalah kortikosteroid intranasal dan irigasi hidung selama kurang lebih 2-3 bulan. Irigasi hidung dapat membantu membersihkan antigen, biofilm, dan mediator inflamasi, sementara kortikosteroid bekerja untuk menurunkan kongesti hidung dan mengecilkan ukuran polip. Kortikosteroid intranasal yang dapat digunakan mencakup budesonide, fluticasone propionate, dan mometasone furoate, diaplikasikan 2 kali sehari. Jika pasien masih tetap bergejala setelah tata laksana ini, kortikosteroid oral kadang dapat digunakan, meski harus diberikan dengan hati-hati untuk menghindari efek samping sistemik yang tidak diinginkan. Antibiotik hanya digunakan jika pasien terbukti mengalami infeksi bakteri secara bersamaan.

 

Tindakan bedah polipektomi dilakukan pada pasien dengan polip nasal yang lebih parah, rekuren, dan gagal diobati dengan terapi medikamentosa, meski polip nasal tetap dapat muncul kembali pasca polipektomi. Alur tata laksana untuk polip nasal dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

tata laksana polip nasal

Gambar 3. Alur tata laksana untuk rinosinusitis dengan polip nasal.2

 

Komplikasi & Prognosis

Prognosis polip nasal dipengaruhi oleh tipe penyakitnya. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa angka rekurensi lebih tinggi pada pasien dengan rinosinusitis fungal alergi. Selain itu, jika dibandingkan dengan rinosinusitis kronik dengan polip nasal, polip akibat sensitivitas aspirin cenderung memiliki perjalanan penyakit yang lebih ekstensif dan angka rekurensi yang lebih tinggi.

 

Polip nasal merupakan manifestasi dari penyakit lain yang mendasarinya, sehingga komplikasinya bergantung pada etiologinya. Polip nasal yang menyebabkan gangguan pernapasan dapat berujung pada gangguan tidur. Selain itu, polip ini juga dapat menghambat drainase sinus paranasal sehingga mendukung pembentukan mucocele. Mucocele ini dapat menyebabkan penekanan struktur mata, sehingga menyebabkan eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) dan diplopia. Polip nasal juga dapat menyebabkan anosmia yang ireversibel. Dengan demikian, gangguan ini dapat berujung pada penurunan kualitas hidup apabila tidak segera ditangani. 

 

Referensi

  1. del Toro E, Portela J. Nasal Polyps. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan [cited 2020 Nov 16]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560746/
  2. Stevens W, Schleimer R, Kern R. Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice. 2016;4(4):565-572.
  3. Ta N. Will we ever cure nasal polyps?. The Annals of The Royal College of Surgeons of England. 2019;101(1):35-39.

 

Share your thoughts