Rabies

Definisi

Rabies adalah penyakit infeksi virus yang fatal dan menyerang sistem saraf pusat, namun dapat dicegah. 99% kasus rabies disebabkan oleh penyebaran virus dari anjing domestik. Rabies terdapat di seluruh belahan dunia, dengan 95% kematian akibat rabies terjadi di Asia dan Afrika.

Anjing terinfeksi rabies

Sinonim: penyakit anjing gila

Gejala Klinis

Masa inkubasi rabies sekitar 2—3 bulan, namun dapat bervariasi dari 1 minggu hingga 1 tahun, bergantung pada lokasi masuk virus serta viral load. Ada tiga tahap gejala penyakit ini: fase prodromal, fase neurologis akut, dan fase koma yang biasa berujung pada kematian.

Gejala prodromal:

  • Demam dengan nyeri atau rasa geli yang tidak dapat dijelaskan
  • Rasa terbakar pada luka (parestesia)
  • Sakit kepala
  • Malaise
  • Mual dan muntah

Terdapat dua bentuk gejala neurologis akut pada rabies: ensefalitik (furious) dan paralitik.

Rabies ensefalitik (80%) biasanya cukup parah; dalam beberapa hari dapat terjadi kematian akibat henti jantung. Gejala-gejalanya antara lain:

  • Manifestasi ensefalitis viral yang umum (demam, bingung, halusinasi, perasaan memberontak, dan kejang)
  • Hipereksitabilitas yang diikuti episode lucid
  • Disfungsi otonom (hipersalivasi, cutis anserinus, aritmia jantung, dan priapisme).
  • Hidrofobia (kontraksi involunter diafragma, otot bantu pernapasan, otot laring, dan otot faring yang menyakitkan ketika menelan cairan)
  • Aerofobia (gejala yang sama seperti pada hidrofobia, namun disebabkan oleh menelan udara).
  • Kombinasi hipersalivasi dan disfungsi otot faring menyebabkan tampilan khas mulut berbusa.

Pada rabies paralitik (20%), gejala khas jenis ensefalitik (hipereksitabilitas, hidrofobia, dan aerofobia) tidak muncul. Perjalanan penyakitnya lebih lama dibandingkan jenis ensefalitik, tetapi tetap berakhir fatal. Gejala yang dominan yaitu kelemahan otot yang menjadi lembek yang dimulai pada area gigitan, lalu menyebar hingga menyebabkan quadriparesis & kelemahan otot wajah.

Etiologi & Patogenesis

Virus rabies merupakan anggota dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Masa inkubasinya sekitar 20—90 hari, namun pada beberapa kasus bisa hanya selama 1 minggu atau lebih dari setahun. Virus ini bereplikasi di otot atau jaringan ikat dari tempat masuknya dan memasuki saraf perifer hingga ke sistem saraf pusat. Saat bereplikasi di sistem saraf pusat, virus ini akan mulai menyebabkan ensefalitis.

Virus Rabies menghasilkan badan inklusi sitoplasmik eosinofilik yang unik di sel saraf dan merupakan patognomonik infeksinya, yaitu badan Negri. Namun, badan Negri tidak selalu ditemukan pada seluruh kasus rabies.

Rabies ditularkan melalui kontak langsung (luka pada kulit atau membran mukosa di mata, hidung, atau mulut) dengan saliva atau jaringan saraf dari binatang yang terinfeksi. Rabies biasanya didapat dari gigitan anjing. Jenis kontak lain, seperti cakaran, abrasi, atau luka terbuka yang terpapar saliva anjing juga memungkinkan infeksi, namun langka. Sementara itu, belum ada laporan terkait kasus tranmisi melalui kontak dengan orang yang terinfeksi.

Patofisiologi

Setelah bereplikasi di otot rangka, virus rabies akan berpindah secara retrograde ke sistem saraf pusat (SSP). Setibanya di sana, virus akan menyebar ke area SSP lainnya dengan cepat. Setelah infeksi SSP menetap, terjadi penyebaran sentrifugal di sepanjang saraf otonom dan saraf sensorik ke jaringan lainnya, termasuk kelenjar saliva, jantung, kelenjar adrenal, dan kulit.

Disfungsi neuron diduga bertanggung jawab terhadap gejala klinis rabies. Dasar perubahan perilaku, termasuk perilaku agresif binatang yang terinfeksi rabies, tidak begitu dipahami, namun diduga berhubungan dengan infeksi neuron serotonergik di batang otak.

Diagnosis

Beberapa uji diperlukan untuk mendiagnosis rabies; satu tes tidaklah cukup. Sampel yang digunakan antara lain saliva, serum, cairan serebrospinal, dan biopsi kulit dari folikel rambut. Saliva digunakan untuk isolasi virus atau RT-PCR. Serum dan cairan serebrospinal digunakan untuk menguji antibodi virus. Biopsi kulit diperiksa untuk mendeteksi antigen.

Direct fluorescent antibody test (DFA)

Uji DFA mengobservasi antigen virus di jaringan saraf, terutama otak. Tes ini menggunakan antibodi antirabies yang dilabeli fluoresens. Ketika antibodi diinkubasi dengan jaringan yang diduga terinfeksi rabies, antibodi akan berikatan dengan antigen dan divisualisasikan oleh area fluoresens berwarna hijau. Uji DFA merupakan baku emas untuk diagnosis rabies.

Imunohistokimia (IHK)

Metode IHK memberikan hasil yang sensitif dan spesifik dalam mendeteksi rabies pada jaringan yang diawetkan dengan formalin. Seperti halnya dFA, IHK menggunakan antibodi untuk mendeteksi inklusi intrasitoplasmik virus. Pada gambar di bawah, dapat dilihat pewarnaan merah yang menunjukkan area antigen virus rabies.

Inklusi badan Negri pada rabies

RT-PCR

Sampel yang mengandung sedikit virus rabies sulit dikonfirmasi dengan metode konvensional. RT-PCR dapat mengamplifikasi RNA virus rabies menjadi DNA dan mengkonfirmasi hasil dFA. Sampel yang dapat digunakan untuk RT-PCR yaitu sampel saliva dan biopsi kulit.

Tata Laksana

Tidak terdapat tata laksana yang efektif untuk rabies. Hanya dilaporkan sebanyak 15 pasien hidup yang bertahan hidup setelah diberikan terapi agresif dengan dirawat di ICU. Bagi sebagian besar pasien, pendekatan paliatif dapat diberikan.

Karena tidak ada terapi rabies yang efektif, sangat penting untuk mencegah penyakit setelah tergigit binatang. Profilaksis pascapaparan diberikan dalam bentuk human rabies immune globulin (HRIG) dan vaksin rabies di hari pasien terpapar. Kemudian, vaksin diberikan kembali pada hari ke-3, ke-7, dan ke-14. Pada pasien yang sudah pernah divaksinasi rabies, diberikan vaksin saja tanpa HRIG.

Perawatan luka juga berperan vital dan dapat menurunkan risiko infeksi rabies. Perawatan luka tidak boleh ditunda, meskipun pemberian imunisasi ditunda. Seluruh luka dan cakaran perlu diirigasi dengan air atau larutan povidon-iodin untuk mengurangi risiko infeksi bakteri.

Komplikasi

Rabies merupakan penyakit fatal yang dapat dicegah apabila setelah paparan terhadap binatang, pasien segera ditangani dengan profilaksis yang telah dijelaskan di atas. Sebanyak 14 dari 15 pasien penyintas rabies telah menerima vaksin  sebelum awitan gejala. Hampir seluruh pasien  meninggal dalam beberapa hari sejak awitan gejala, walaupun telah ditangani secara agresif di ICU.

Referensi

  1. World Health Organization. Rabies [Internet]. 2019 Sep 27 [accessed on 2020 Feb 13]. Available on: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
  2. Jackson AC. Rabies and other rhabdovirus infections. In: Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, eds. Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018. p. 1486
  3. Carroll KC, Hobden JA, Miller S, Morse SA, Mietzner TA, Detrick B, et al. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology. New York: McGraw-Hill Education; 2016.p.607-9
  4. Centers for Disease Control and Prevention. Rabies [Internet]. 2019 Jun 11 [accessed on 2020 Feb 13]. Available on: https://www.cdc.gov/rabies/transmission/index.html

Share your thoughts