Reaksi Alergi: Pertolongan Cepat, Selamatkan Nyawa
Alergi merupakan kasus yang sering ditemui di masyarakat dan tak jarang ditemui pada kasus kegawatdaruratan.
“Komplikasi yang ditimbulkan oleh reaksi alergi, seperti syok anafilaksis, dapat mengancam nyawa dalam waktu singkat. Lantas, apa saja hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kegawatdaruratan pada kasus alergi? – dr. X, dokter umum.
Reaksi hipersensitivitas merupakan mekanisme perlindungan dari sistem imun terhadap invasi mikroba. Secara umum, terdapat empat reaksi hipersensitivitas, salah satunya adalah reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang awam disebut sebagai reaksi alergi. Reaksi hipersensitivitas tipe I melibatkan aktivasi akut imunoglobulin E (IgE) terhadap antigen. Akibatnya, akan terjadi degranulasi sel dan pelepasan mediator inflamasi. Tipe reaksi hipersensitivitas lainnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe II yang melibatkan aktivasi sistem komplemen dan kerusakan sel serta aktivasi imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin M (IgM). Selanjutnya, terdapat reaksi hipersensitivitas tipe III yang melibatkan IgG, IgM, dan imunoglobulin A (IgA) yang membentuk kompleks imun. Terakhir, terdapat reaksi hipersensitivitas tipe 4 yang melibatkan sel T atau makrofag.
Reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada kasus alergi dapat ditemukan di seluruh dunia. Sekitar 15% populasi pernah menderita alergi. Sementara itu, frekuensi terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I menurut suatu penelitian sebesar1–2%. Reaksi alergi ini lebih umum ditemukan pada populasi yang lebih muda.
Ada beberapa kelompok dari hipersensitivitas tipe I yang dapat dibedakan berdasarkan pemicu dari reaksi alergiatau yang biasa disebut sebagai alergen. Alergen pertama berupa makanan yang biasa disebut dengan alergi makanan. Contoh alergennya adalah kacang, telur, gandum, dsb. Kelompok kedua berasal dari hewan dengan contoh kucing, lebah, serangga, dsb. Selain itu, alergen juga dapat berasal dari lingkungan seperti lateks, jamur, dll. Kemudian, terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat atau transfusi. Manifestasi klinis yang timbul terhadap reaksi alergi dapat berupaasma, transfusi, rinitis alergi, anafilaksis, dsb.
Pada umumnya, reaksi yang ditemukan pada kasus alergi berupa inflamasi pada saluran pernapasan. Selain itu, dapat terjadi takikardi dan takipnea. Pada mata dan hidung, disertai dengan rasa gatal serta rinorea. Pada keadaan yang lebih serius atau biasa, dapat terjadi reaksi anafilaksis dengan gejala yang ditemukan berupa angioedema, muntah, mual, ruam pada kulit, hipotensi, dan kehilangan kesadaran. Kasus anafilaksis merupakan kasus kegawatdaruratan yang harus segera ditangani untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi akut yang setidaknya akan muncul 24 jam setelah paparan terhadap alergen. Ketika tubuh tersensitisasi, terjadi reaksi berupa produksi IgE yang akan berikatan dengan reseptor pada sel mast dan basofil. Akibatnya, granul yang terdapat pada sel mast akan dilepaskan dan memicu reaksi alergi. Selain itu, terdapat mediator inflamasi yang menyebabkan kebocoran vaskuler, bronkokonstriksi, dan inflamasi. Mediator inflamasi tersebut adalah PAF, LTC4, dan PGD2. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I juga terdapat pengeluaran enzim dan granul protein yang menyebabkan remodeling dan kematian jaringan.
Untuk mengatasi reaksi alergi, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Pada kasus kegawatdaruratan berupa reaksi anafilaksis diperlukan perhatian khusus. Hal ini berkaitan dengan anafilaksis yang dapat berujung kepada kematian. Pada kasus anafilaksis, alergen harus segera dihindari dari pasien dan pastikan posisi ekstremitas bawah lebih tinggi pada posisi berbaring. Kemudian, jika pasien mengalami stridor atau gangguan pernapasan, disarankan untuk mempersiapkan intubasi. Untuk pasien gawat darurat, harus dipersiapkan injeksi epinefrin secara intramuskular. Injeksi ini juga dapat diberikan sendiri oleh pasien dalam kasus gawat darurat. Dosis dari epinefrin yang diberikan bergantung pada berat badan pasien. Jika berat badan pasien berkisar antara 10 hingga 25 kg, berikan 0,15 mg epinefrin. Sementara itu, dosis epinefrin harus ditingkatkan hingga mencapai 0,3 mg apabila berat pasien lebih dari 25 kg. Pemberian dosis ini juga dapat diberikan berulang. Selain epinefrin, pasien juga memerlukan bronkodilator berupa beta-agonis dan albutarol. Pasien juga dapat diberikan antihistamin untuk menangani kasus pruritis.
Pada beberapa penelitian juga disebutkan bahwa paparan dini terhadap mikroba atau pun antigen yang berpotensi menjadi alergen dapat menurunkan prevalensi terjadinya reaksi hipersensitivitas. Selain itu, terdapat pilihan lain berupa imunoterapi yang bertujuan untuk membiasakan tubuh dalam menghadapi alergen sehingga reaksi hipersensitivas yang muncul tidak terlalu berat. Namun, Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI, Guru Besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, berpendapat bahwa terapi seperti ini tidak boleh dilakukan sembarangan. Dosis alergen yang diberikan harus diperhatikan tidak terjadi komplikasi yang memperberat kondisi pasien.
Penulis: Fadila
Editor: Amanda