Remdesivir: Harapan Baru untuk Covid-19
Penangkal virus terbaru penakluk pandemi.
Sejak pertama kali merebak di Tiongkok pada Desember 2019 lalu, Covid-19 berhasil menyebar begitu cepat ke seluruh penjuru dunia. Angka kasus positif Covid-19 yang kian meningkat setiap harinya, mendesak para ahli untuk meneliti agen terapi yang paling efektif dan aman dalam menangkal infeksi SARS-CoV-2 tersebut. Tak sedikit studi telah dilakukan di berbagai tempat demi menemukan penangkal virus paling mujarab. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian, terdapat beberapa kandidat obat yang berpotensi menyembuhkan pasien Covid-19. Salah satu kandidat agen terapi yang paling menjanjikan adalah remdesivir.
Remdesivir merupakan prodrug atau bakal obat yang akan bekerja ketika tubuh telah mengubahnya menjadi bentuk aktif melalui proses metabolisme. Cara kerja dari remdesivir diawali dengan pengaktifan remdesivir (GS-5734) yang dimetabolisme ke bentuk aktifnya, yaitu remdesivir (GS-441524). Metabolit aktif tersebut kemudian akan menjalankan fungsinya dalam menghambat enzim RNA polimerase virus dan menghindari proofreading oleh enzim eksonuklease virus. Proses tersebut kemudian akan menghambat produksi dan replikasi RNA virus.
Saat ini, remdesivir telah melewati uji klinis fase III yang bertujuan untuk membandingkan antara efek pemberian remdesivir dan terapi standar. Sebuah studi yang melibatkan sepuluh negara menunjukkan bahwa pasien dewasa yang mendapatkan remdesivir mengalami perbaikan kondisi klinis lebih cepat dibandingkan terapi standar. Perbaikan kondisi pada pasien didefinisikan sebagai perawatan tanpa terapi oksigen atau terapi medis lainnya hingga perubahan status menjadi rawat jalan. Secara signifikan, waktu penyembuhan kelompok pasien Covid-19 yang diberikan remdesivir lebih cepat dibandingkan kelompok plasebo, yaitu 10 dan 15 hari. Serupa dengan hal tersebut, penelitian multisenter lainnya yang dilakukan di Tiongkok juga menunjukkan durasi kesembuhan yang lebih singkat dengan pemberian remdesivir, meskipun hasilnya tidak signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Melihat hasil uji klinisnya yang cukup memuaskan, remdesivir kemudian menjadi obat pertama yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai agen terapi Covid-19. Tak ingin ketinggalan, Indonesia pun mengambil langkah serupa. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan Emergency Use Authorization (EUA) untuk remdesivir sejak tanggal 19 September 2020. Penerbitan EUA tersebut bertujuan untuk mempercepat akses terhadap remdisivir dalam penanganan Covid-19. Meskipun demikian, distribusi remdesivir hanya akan dilakukan ke rumah sakit dan fasilitas kesehatan tingkat tiga karena pemberiannya membutuhkan pengawasan langsung dari tenaga medis. Saat ini, penggunaan remdesivir hanya diperuntukkan pada pasien berusia di atas 12 tahun dan berat badan minimal 40 kg. Di saat yang bersamaan, uji klinis untuk mengonfirmasi efektivitas dan keamanan remdesivir pada populasi anak masih berlangsung.
Terlepas dari potensinya yang cukup baik, penggunaan remdesivir sebagai agen pengobatan Covid-19 masih memicu kekhawatiran para klinisi. Sejak pertama kali digunakan, terdapat beberapa laporan terkait efek samping dari obat tersebut. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan serta dokumen resmi mengenai pengobatan dengan remdesivir, antivirus tersebut dapat memicu sejumlah efek samping, seperti hepatoksisitas dan nefrotoksisitas. Nefrotoksisitas dapat berujung pada gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Selain itu, terdapat pula efek samping pada sistem pencernaan, seperti konstipasi, mual, diare, muntah, nafsu makan berkurang, dan gastroparesis. Tak hanya itu, remdesivir juga mampu memicu gangguan sistem pernapasan, berupa pneumotoraks dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Efek samping kardiovaskular akibat remdesivir, seperti hipotensi, fibrilasi atrium, hipernatremia, dan henti jantung juga dilaporkan. Dengan demikian, penggunaan remdesivir dalam terapi Covid-19 harus dilakukan secara hati-hati disertai pemantauan efek samping untuk meminimalisasi dampak buruk yang dapat terjadi.
Penemuan efektivitas remdesivir sebagai obat Covid-19, diharapkan dapat menjadi sumbangan berarti dalam upaya mengatasi pandemi. Berbagai penelitian terkait antivirus baru dan pengobatan kombinasi lainnya masih terus dikembangkan demi mendapatkan regimen pengobatan terbaik dalam mengeradikasi Covid-19.
Referensi
1. Kaddoura M, Allbrahim M, Hijazi G, Soudani N, Audi A, Alkalamouni H, Haddad S, et al. COVID-19 therapeutic options under investigations. Front Pharmacol [internet]. 2020 Aug 6 [cited 2020 Nov 2]. Available from: https://doi.org/10.3389/fphar.2020.01196
2. Sanders JM, Monogue ML, Jodlowski TZ, et al. Pharmacologic treatments for coronavirus disease 2019 (COVID-19): a review. JAMA [internet]. 2020 Apr 13 [cited 2020 Nov 2]. Available from: 10.1001/jama.2020.6019
3. Al-Tawfiq JA. Remdesivir as a possible therapeutic option for the COVID-19. Travel Med Infect Dis [internet]. 2020 Mar 5 [cited 2020 Nov 2]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7129391/
4. Fan Q, Zhang B. Safety profile of the antiviral drug remdesivir: an update. Biomed Pharmacother [internet]. 2020 Oct [cited 2020 Nov 3]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7373689/
5. Beigel JH, Tomashek KM, Dodd LE, Mehta AK, Zingman BS, et. al. Remdesivir for the treatment of Covid-19 – final report. N Engl J Med [Internet]. 2020 Oct 8 [cited 2020 Nov 2]. Available from: https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2007764?query=recirc_mostViewed_railB_article#article_references
6. Wang Y, Zhang D, Du G, Du R, Zhao J, et. al. Remdesivir in adults with severe COVID-19: a randomised, double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. The Lancet [Internet]. 2020 May [cited 2020 Nov 2]. Available from: https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)31022-9/fulltext