Selembar Surat Pengobat Kerinduan
Menunggu jawaban dalam coretan kata-kata
Pagi hari itu terasa sangat cerah. Matahari bersinar baktersenyum membawa sejuta kebahagiaan. Pelan-pelan kulangkahi anak tangga menuju puncak panggung perjuanganku. Walau kakiku agak bergetar, aku berjalan tegap sebab inilah kebanggaanku. Tangan kananku membawa selembar surat berisikan untaian tinta yang begitu berharga di hidupku. Lambai-lambai tangan dan seruan selamat turut meramaikan suasana. Raut wajahku memang terlukis bahagia tetapi batinku merasa duka.
Aku, seorang mahasiswa jurusan teknik mesin yang berjuang di tengah revolusi bangsa. Negaraku kacau balau= sebab pendidikan tinggi hanya terbuka untuk anak-anak pejabat. Akan tetapi, hal ini bukanlah penghalang untuk menuntut ilmu di luar negeri. Semua berawal dari ayahku, seorang pelaut, yang kerap bercerita tentang panorama indah yang terselimut di setiap tempat yang ia jelajahi. Aku terkagum dengan ceritanya, “Seindah itukah negeri orang?” gumamku.
Tahun demi tahun berlalu. Aku beranjak dewasa dan memilih nasib untuk kuliah di Jerman. Kala itu, kedua orang tuaku merelakan anaknya untuk berpisah raga dan jarak dengannya meski sementara. Setiap bulan, kami saling berbalas surat untuk menanyakan kabar. Rinduku terobati oleh setiap kata yang tertuang pada surat.
Selama di tanah perantauan, aku menyewa sebuah kamar kecil milik sepasang suami istri berusia senja yang telah kuanggap sebagai keluarga.Setiap malam, kubuka jendela kamar demi mengagumi keindahan di tengah kegelapan. Angin-angin berlarian membawa hawa sejuk, menyegarkan pikiran yang telah diisi kelelahan. Ku duduk di atas kursi yang bercorakkan bunga mawar, kuamati bintang-bintang berjejer membentuk rasi keindahan. Dalam hati ku terpukau, “Inikah salah satu dari banyak keindahan yang pernah ayah ceritakan?”.
Hari demi hari telah berlalu, suka dan duka sudah menjadi asupan hari-hariku. Saatnya pun tiba, aku mengakhiri masa belajarku di sini sebab minggu depan aku akan diwisuda. Ku ambil pena, kutuliskan pesan ke rumah , “Ayah, ibu, anakmu telah tuntas tugasnya. Bagaimana kabar kalian di sana? Tunggulah aku pulang, membawa kebanggaan.”
Tak berselang lama, melalui jendela kulihat seorang kurir mengantarkan surat di depan pintu rumah.. Heran rasanya, baru seminggu kukirimkan surat untuk orangtuaku. Segera ku sobek bungkusan amplop itu, kubentangkan lipatan surat itu di atas meja. Sedikit demi sedikit kubaca dalam hati isi surat itu,“Nak, ayahmu telah tiada. Ibu harap kamu dapat menerimanya dengan ikhlas. Doakan dia, jangan lupakan pesan yang pernah ia titipkan padamu. Jadilah pribadi yang tangguh di luar sana. Taklukkan semua rintangan yang kau hadapi, apapun itu. Kembalilah ke rumah dengan rasa bangga.” Air mataku menetes, hatiku hancur setelah membaca surat itu. Padahal, aku berpikir sebentar lagi akan berjumpa dengan mereka.
Sejak saat itu, ku isi hari-hariku dengan doa, “Tuhan, tanpa mereka, aku bukanlah apa-apa. Mengapa engkau menjemputnya di saat aku sedang bahagia? Aku ingin melihat dia tersnyum bangga melihat aku berhasil..” Rasaku kini bercampur aduk, apakah aku bahagia merayakan kelulusanku atau larut akan duka kehilangan.
Akhirnya hari itu tiba, namaku disebut sebagai lulusan terbaik, hatiku bergetar mendengarnya. Andai saja ayah masih ada, pasti kuceritakan keindahan petualangan keberhasilanku. Aku naik ke atas panggung, memberikan pidato, serta mengucap syukur. Dalam hati aku berkata “Ayah, Ibu, anakmu telah berhasil di sini. Aku segera pulang.”dwi
Penulis: Dwi
Editor: Izzati