Solusi Nutrisi untuk Si Kecil dengan Risiko HIV-AIDS
Ibu dengan HIV-AIDS tidak boleh memberikan ASI kepada anaknya karena risiko penularan. Lantas, apa solusinya?
Pertanyaan:
“Pada ibu yang positif HIV dan sedang mengonsumsi ARV (antiretroviral), tetapi tidak mampu mendapatkan akses susu formula, apakah aman bagi bayi untuk tetap mendapatkan ASI eksklusif dan edukasi apa yang dapat kita berikan bagi ibu?” -B, Jakarta
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang mampu merusak sistem kekebalan tubuh melalui interaksinya dengan sel CD4+. Lebih dari 90% kasus penularan virus HIV pada anak terjadi melalui penularan vertikal, yaitu dari ibu ke anak selama proses kehamilan, kelahiran, dan pemberian ASI. Penularan secara horizontal juga dapat terjadi pada sebagian kecil kasus, yaitu melalui transfusi darah, hubungan seksual tidak aman, dan pemakaian jarum suntik terkontaminasi.
Di Indonesia, kasus infeksi HIV pada anak kurang lebih mencakup 3% dari keseluruhan kasus. Anak yang terinfeksi HIV dapat memiliki gejala yang ringan sampai berat. Penyakit ini diklasifikasikan oleh WHO menjadi tingkat satu (tanpa gejala), tingkat dua (gejala ringan), tingkat tiga (gejala sedang), dan tingkat 4 (gejala berat).
Terdapat beberapa cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak, dimulai dari masa kehamilan, kelahiran, dan sesudah kelahiran. Pada masa kehamilan, ibu harus mengonsumsi ARV dengan target jumlah virus di bawah 1000 kopi/ml. ARV sebaiknya mulai dikonsumsi sebelum kehamilan atau paling lambat pada trimester pertama kehamilan agar pencegahan optimal. Oleh karena itu, skrining HIV pada ibu hamil merupakan komponen yang sangat penting untuk dilakukan.
Pada saat kelahiran, persalinan harus dilakukan dengan cara yang aman. Operasi caesar merupakan salah satu upaya untuk menurunkan risiko penularan HIV saat persalinan. Namun, pada ibu hamil dengan jumlah virus di bawah 1000 kopi/ml, operasi caesardapat dilakukan sesuai indikasi obstetri saja.
Setelah kelahiran, bayi harus diberikan susu formula bila syarat AFASS terpenuhi. Syarat AFASS terdiri atas acceptable (susu dapat diterima oleh bayi), feasible (ibu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan waktu untuk menyiapkan susu formula), affordable (ibu dan keluarga memiliki biaya produksi, penyiapan, dan penggunaan susu formula), sustainable (pemberian susu formula dapat dipenuhi selama 6 bulan), dan safe (pemberian susu formula harus higienis dan benar).
ASI memang merupakan nutrisi terbaik bagi bayi. Akan tetapi, ASI dapat menjadi salah satu cara transmisi HIV dari ibu ke bayi. Jumlah virus HIV pada darah ibu tidak selalu sejalan dengan jumlahnyapada ASI. Sekitar 2—3% ibu yang sudah tidak memiliki virus HIV yang terdeteksi dalam darah ternyata masih memiliki ASI yang mengandung virus. Apabila anak tertular HIV dari ibu, konsekuensi infeksi HIV seumur hidup harus ditanggung anak.
Untuk menyeimbangkan kepenuhan nutrisi terhadap risiko infeksi HIV, penting untuk mendiskusikan pemilihan jenis nutrisi yang baik untuk bayi dengan ibu sejak masa antenatal. Dokter harus memberikan semua informasi terkait keuntungan dan kerugian baik dalam pemberian ASI maupun susu formula. Selain itu, dokter harus mendampingi ibu selama proses ini dan memberikan dukungan terhadap apapun jenis nutrisi yang dipilih.
Apabila syarat diberikan susu formula (AFASS) tidak terpenuhi dan bayi harus diberikan ASI, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan dan diperhatikan. Pertama, ibu harus mengonsumsi ARV dengan baik hingga target jumlah virus <1000 kopi/ml tercapai. Kedua, bayi juga harus mengonsumsi ARV sebagai profilaksis. Ibu harus memberikan ASI dengan cara yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya perlukaan/infeksi pada payudara. Apabila terdapat luka/infeksi pada payudara, ASI harus dihentikan. Terakhir, metode mixed-feeding (pemberian ASI bersamaan susu formula) tidak diperbolehkan karena meningkatkan risiko transmisi.
Semua pencegahan yang dilakukan pada masa kehamilan, kelahiran, hingga setelah kelahiran perlu dilakukan. Jika tidak dilakukan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat mencapai 45—60%. Namun, jika semua langkah pencegahan dilakukan, risiko dapat diturunkan hingga di bawah 2%.
Nama : dr. Dina Muktiarti, SpA(K)
Jabatan : Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Penulis: Kelvin Kohar
Editor: Kareen Tayuwijaya