Stroberi yang Memawaskan Diri
Setiap orang memerlukan karsa yang membakar semangat dalam mencapai asa
“Selamat datang di Stasiun Pondok Cina”, suara yang menjadi tanda berakhirnya waktu menghayal bagi Putri di tengah perjalanan pulang menggunakan kereta rel listrik. Hari-hari kembali ke rangkaian kesibukan yang berulang—berangkat pagi menuju kantor di pusat Jakarta, meneguk kopi sebagai bahan bakar untuk fokus menjalani hari, dan diakhiri dengan pulang di malam hari yang sudah gelap. Demikianlah rutinitas medioker dari seorang budak korporat di tengah hiruk-pikuk ibu kota.
Berbeda dari biasanya, pekerjaan hari ini selesai lebih dini sehingga Putri berkesempatan untuk pulang lebih awal. Sungguh sebuah kemewahan baginya untuk dapat menikmati indahnya sinar mentari di sore hari. Waktu pun seolah berjalan lebih lambat. Di senja yang damai ini, ia berkesempatan untuk melihat hal-hal yang sebelumnya terhalang oleh rutinitas padatnya. Salah satunya ialah sebuah kedai es krim yang nyaris tak tampak lantaran banyaknya pedagang di sekitar Stasiun Pondok Cina. Setelah melihat poster varian rasa es krim kesukaannya, Putri bergegas mencicipi es krim stroberi pada kedai yang baru ia temukan hari itu.
Sembari menunggu pesanannya tiba, ia memperhatikan beragam aktivitas masyarakat di sekitar stasiun yang ia kunjungi hampir setiap hari; dimulai dari penumpang kereta yang berlari mengejar waktu hingga pedagang yang terduduk jenuh menunggu datangnya pembeli. “Semua individu memiliki kesibukan berbeda yang berlandaskan beragam tujuan pula. Namun, adakah kesamaan hal yang menggerakan semua manusia untuk hidup?” pikir Putri. “Ini neng, pesanannya,” ucap seorang pramusaji yang sontak memutuskan pikiran panjang Putri seraya menghidangkan es krim di hadapannya. Sambil menyantap makanan favoritnya, tidak henti ia memikirkan pertanyaan tersebut.
Waktu pun berlalu, makanan dingin telah disantap dan hanya menyisakan kemasan kosong dan sebatang sendok. Sembari memainkan alat makannya, Putri kembali terlarut dalam pikirannya dan mengamati orang-orang yang beraktivitas di depan kedai es krim tersebut. Hati kecilnya berharap agar ia mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menggelititk benaknya sedari tadi.
Sejauh mata memandang, Putri mendapatkan berbagai profesi formal dan nonformal di sekitarnya. Mereka yang mengenakan kemeja rapi, lanyard di leher, serta sepatu kets modis adalah ciri khas mereka yang bekerja di sektor formal, baik karyawan seperti dirinya. Walaupun memiliki penampilan yang rapi dan elok, raut muka mereka tampak terlihat kusam, cemas, serta tergesa-gesa seolah waktu sedang mengejarnya. “Apakah orang-orang melihat keseharianku dengan cara yang sama?” terbesit dalam benak Putri.
Penampilan karyawan tersebut sangat berbeda dengan pekerjaan nonformal seperti pedagang, pengemudi ojek, dan pengamen. Walaupun dengan penampilan yang berantakan, bersimbah keringat, serta kulit yang habis bermandikan terik mentari seharian, mereka tampak lebih menikmati waktu dibandingkan para karyawan dan mahasiswa. Lantas, hadirlah pertanyaan baru dalam angannya, “Apakah orang-orang tersebut berbahagia dengan kegiatan kesehariannya? Apa yang membuat mereka mau untuk melakukannya terus-menerus?”.
Sang surya meredup dan rembulan beranjak menyapa langit, kemewahan Putri pun usai dengan pertanyaan masih membelit pikirannya. Tidak ingin ambil pusing, Putri pun menanyakan sebuah pertanyaan sederhana kepada pramusaji di kedai tersebut saat membayar pesanannya. “Apakah Aa menikmati pekerjaan Aa?” tanya Putri. “Tentu saja, Neng. Sepanjang ada niat dan ikhlas dalam mengerjakannya,” jawab pramusaji.
Jawaban tersebut telah membebaskan Putri dari pertanyaan yang menghantui benaknya. Walaupun berbeda pekerjaan, terdapat kesamaan yang menggerakan manusia, yaitu karsa. Sebuah kekuatan untuk bergerak maju dan tidak berhenti meskipun letih dan terjebak di tengah rutinitas yang membosankan. Setiap orang memerlukan karsa yang membakar semangat dalam hatinya untuk mencapai asa masing-masing.
Penulis: Amita Pradhani dan Rejoel Mangasa Siagian
Editor: Ariestiana Ayu Ananda Latifa