Tak Lagi Ragu Menggunakan Ranitidin
Menguak fakta di balik penarikan massal ranitidin
Beberapa waktu lalu, dunia kesehatan Indonesia dihebohkan dengan penarikan massal ranitidin oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Langkah sigap diambil BPOM menyusul peringatan yang dikeluarkan oleh United States Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicines Agency (EMA) untuk pasien dan tenaga kesehatan terkait penemuan senyawa karsinogenik N-nitrosodimethylamine (NDMA) pada beberapa produk ranitidin. Menindaklanjuti peringatan US FDA dan EMA tersebut, pada 17 September 2019, BPOM menerbitkan informasi awal mengenai kandungan kecil NDMA dalam ranitidin yang ditujukan untuk seluruh tenaga kesehatan di tanah air. Selanjutnya, pada tanggal 11 Oktober 2019, BPOM memerintahkan seluruh industri pemegang izin edar ranitidin untuk menghentikan produksi dan distribusinya.
Ranitidin merupakan obat yang sering digunakan untuk menekan produksi asam lambung. Obat yang telah lolos uji mutu dan keamanan BPOM sejak tahun 1989 ini merupakan obat golongan antagonis reseptor histamine-2 (H2). Bersama dengan antasida dan proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2 termasuk dalam jenis obat pilihan yang berperan dalam mengurangi derajat keasaman lambung. Antagonis reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara mencegah terjadinya ikatan antara histamin dengan reseptor H2 pada sel parietal lambung secara reversibel. Terhambatnya pembentukan ikatan tersebut menghalangi aktivasi adenil siklase pada sel parietal yang mampu mengurangi pembentukan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Berkurangnya pembentukan cAMP kemudian menghambat aktivitas protein kinase sehingga sekresi asam lambung oleh pompa H+/K+-ATPase berkurang.
Ranitidin dinilai cukup efektif dalam mengatasi asam lambung. Ranitidin melewati metabolisme tahap pertama di hati sehingga memiliki bioavailabilitas sekitar 50%. Eliminasi obat ini dilakukan melalui metabolisme hati, filtrasi glomerulus, dan sekresi oleh tubulus ginjal. Untuk itu, penurunan dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Efektif dalam menurunkan sekresi asam lambung, obat ini digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan pada lambung, seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), ulkus peptikum, tukak lambung nonulkus serta mencegah terjadinya perdarahan akibat gastritis dipicu stres. Ranitidin merupakan obat nokturnal yang lebih aktif mengurangi sekresi asam lambung pada malam hari sehingga akan lebih efektif jika dikonsumsi sebelum tidur. Jika diberikan dengan dosis yang sesuai, ranitidin mampu menghambat sekresi asam lambung hingga 60%-70% dalam kurun waktu 24 jam. Dosis ranitidin yang direkomendasikan adalah 150 mg sebanyak dua kali sehari atau 300 mg jika dikonsumsi sebelum tidur.
Selama ini, ranitidin dinilai cukup aman dalam penggunaannya. Efek samping seperti diare, sakit kepala, kelelahan, mialgia, dan konstipasi hanya terjadi pada kurang dari 3% pasien. Efek samping jangka panjang, seperti galaktorea dan ginekomastia sangat jarang dilaporkan. Meskipun belum terbukti mengandung senyawa teratogenik, obat maag ini diketahui mampu menembus plasenta dan diekskresikan melalui ASI. Untuk itu, penggunaannya tidak dianjurkan bagi wanita hamil dan ibu menyusui karena keamanannya belum terbukti secara klinis. Selain itu, ranitidin juga dapat menganggu metabolisme obat lain melalui jalur sitokrom P450 yang mengakibakan waktu paruh beberapa obat menjadi lebih panjang. Selain itu, obat ini juga menghalangi metabolisme etanol sehingga kadar etanol dalam darah meningkat.
Penarikan obat golongan antagonis reseptor H2 ini tidak disebabkan oleh interaksi maupun efek sampingnya. Penarikan yang dilakukan oleh BPOM dilakukan akibat ditemukannya beberapa produk ranitidin yang tercemar oleh senyawa NDMA. NDMA merupakan zat turunan nitrosamin yang bersifat karsinogenik sehingga dapat menyebabkan kanker jika dikonsumsi dalam jangka panjang dan melebihi ambang batas, yaitu sebesar 96 nanogram per hari. Walaupun sempat ditarik, pada tanggal 21 November 2019 BPOM akhirnya mengumumkan produk-produk ranitidin yang dapat kembali diedarkan.
Saat ini, tenaga kesehatan dan pasien tidak perlu khawatir lagi menggunakan ranitidin dalam mengatasi berbagai gangguan lambung. Efek samping minimal, kinerja yang relatif efektif, dan harga yang murah menjadi alasannya dipilih untuk mengurangi asam lambung. Akan tetapi, masyarakat tetap harus berhati-hati dalam memilih produk obat yang dikonsumsi. Produk yang aman tentunya memiliki sertifikasi izin edar dari BPOM.
Referensi:
- Woodcock J. Statement alerting patients and health care professionals of NDMA found in samples of ranitidine [internet]. USA: United States Food and Drug Administration; 2019 Sep 13 [cited 2020 Feb 18]. Available from: https://www.fda.gov/news-events/press-announcements/statement-alerting-patients-and-health-care-professionals-ndma-found-samples-ranitidine
- Writer unknown. Penjelasan Badan POM RI tentang produk ranitidin yang dapat diedarkan kembali. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI; 2019 Nov 21 [cited 2020 Feb 18]. Available from: https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/104/PENJELASAN-BADAN-POM-RI–TENTANG-PRODUK-RANITIDIN-YANG-DAPAT-DIEDARKAN-KEMBALI.html
- Writer unknown. Penjelasan Badan POM RI tentang penarikan produk ranitidin yang terkontaminasi N-nitrosodimethylamine (NDMA). Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI; 2019 Okt 4 [cited 2020 Feb 18]. Available from: https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/102/PENJELASAN-BPOM-RI-TENTANG-PENARIKAN-PRODUK-RANITIDIN–YANG-TERKONTAMINASI-N-NITROSODIMETHYLAMINE–NDMA-.html
- Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. 14th United States of America: McGraw-Hill Education; 2018.