Tak Ragu Tangani Keracunan Parasetamol

Tanggap menghadapi keracunan parasetamol, analgesik yang beredar luas di pasaran

Keracunan Parasetamol

Parasetamol merupakan obat golongan analgesik non-narkotik dan antipiretik yang tersedia secara bebas di pasaran. Apabila dikonsumsi secara berlebihan, obat ini dapat menimbulkan keracunan yang dapat berujung pada hilangnya nyawa pasien. Peran dokter dalam penanganan kegawatdaruratan pasien keracunan obat ini tentunya menjadi sangat penting.

Parasetamol memiliki metabolit yang bersifat hepatotoksik. Pada pemberian dosis berlebih, metabolit tersebut meningkat dan bereaksi dengan sel-sel hepar sehingga menimbulkan nekrosis. Dosis yang dapat menyebabkan toksisitas adalah 150 mg/kg pada anak-anak dan 7,5-10 g pada dewasa.

Pasien yang mengalami keracunan parasetamol dapat memunculkan berbagai gejala yang diklasifikasikan menjadi beberapa stadium. Pada stadium I (0–24 jam), pasien mungkin tidak mengalami gejala atau mengalami gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, serta malaise dan keringat dingin. Memasuki stadium II (24-48 jam), pasien dapat mengalami nyeri abdomen di kuadran kanan atas dan peningkatan AST, ALT, bilirubin, serta waktu prothrombin. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan takikardia dan hipotensi yang mengindikasikan hilangnya cairan serta oliguria yang menjadi penanda gangguan fungsi ginjal. Pada stadium III (72-96 jam), dapat terjadi kegagalan liver serta ensefalopati dengan gejala berupa ikterik, koagulopati, serta hasil tes liver yang meningkat tajam. Terakhir, pada stadium IV (lebih dari 96 jam), dapat terjadi resolusi dari hepatotoksisitas, kegagalan multiorgan, atau kematian.

Dalam menata laksana pasien keracunan parasetamol, selain pemberian antidotum, perlu penilaian segera mengenai jalur napas, pernapasan, dan status hemodinamik pasien. Pernapasan sering terganggu apabila pasien tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, diperlukan manuver, seperti chin lift, hingga penggunaan ventilasi apabila dibutuhkan. Pasien dengan hipotensi perlu segera diberikan infus NaCl.

Jika pasien datang dalam 1 jam setelah konsumsi serta berada dalam kondisi sadar dan stabil, pasien dapat diberikan arang aktif. Zat tersebut dapat mencegah absorpsi racun ke saluran pencernaan. Jika pasien keracunan parasetamol dengan nomogram Rumack-Matthew di bawah standar possible, yakni monogram konsentrasi parasetamol yang dihubungkan dengan waktu setelah konsumsi untuk memprediksi kemungkinan hepatotoksisitasnya, pasien dapat dipulangkan setelah bersih secara medis. Pada pasien dengan indikasi bunuh diri, diperlukan evaluasi psikiatri sebelum dipulangkan.

Sementara itu, antidotum yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami kemungkinan hepatotoksisitas adalah n-asetilsistein. N-asetilsistein bersifat hepatoprotektif dan sangat efektif bila diberikan 8–10 jam setelah konsumsi. Dosis yang dapat diberikan secara oral adalah 140 mg/kgBB dengan dosis pemeliharaan sebesar 70 mg/kgBB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis. Pemberian oral ini dapat menimbulkan mual dan muntah. Sementara itu, secara intravena, dosis awal sebesar 150 mg/kgBB selama 15-60 menit, dilanjutkan dengan infus 12,5 mg/kgBB per jam selama 4 jam, dan diikuti 6,25 mg/kgBB per jam selama 16 jam.

Keracunan parasetamol dapat membahayakan nyawa sehingga diperlukan perhatian lebih terhadap tanda vital pasien. Disamping antidotum, pengawasan dan terapi suportif juga menjadi aspek penting dalam terapi pada pasien. Tentunya, edukasi perlu diberikan kepada pasien agar hal serupa tak terulang kembali. rahmi

Share your thoughts