Tidak, Terima Kasih
Memberanikan diri untuk berkata tidak
Seorang mahasiswa tahun kedua tengah menyerahkan setumpuk kertas pada kakak kelasnya. Sembari menyeka keringat di dahi setelah tergesa menaiki anak tangga gedung kampus, “Halo Kak, berikut hasil laporan kegiatan dalam sebulan.” Pemimpin divisi itu pun tersenyum dan berterima kasih kepada Anto. Selesai dari urusan organisasi, Anto beranjak menuju tempat penyewaan panggung untuk menyelesaikan tugas kepanitiaan, yaitu memastikan panggung beserta perlengkapannya. Hari telah larut, pemuda berkacamata ini masih harus berkutat dengan lembar tugas perkuliahannya. Tepat setengah jam sebelum berganti hari, ia berhasil mengunggah tugasnyapada laman kampus. Akhirnya, ia dapat berbaring di tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi lehernya.
Tidak langsung terlelap dalam tidur, Anto teringat akan kehidupannya yang selalu mengiyakan permintaan yang datang meskipun selalu timbul penyesalan kemudian. Walaupun idirinya menyadari bahwa ia tidak sedang luang untuk mengerjakan tanggung jawab baru, Anton tetap saja merasa takut untuk berkata ‘tidak’ yang senantiasamembesit di hatinya. Alhasil, berbagai pekerjaan harus diselesaikan sebagai bentuk tanggung jawab atas ucapannya.
Lalai dalam pekerjaan bukanlah hal baru bagi Anto. Ia seringkali mengabaikan kualitas tugas yang digarapnya,sebab hal terpenting baginya adalah tugas selesai dikerjakan. Hal ini tentu tidak mengejutkan apabila melihat kesibukan Anto yang tak mengenal kata selesai. Tugas satu hingga tugas berikutnya selalu mengantri untuk diselesaikan. Obat antasida dan kopi adalah teman setianya dikala tubuh memberontak dengan penuh harap untuk istirahat. Akan tetapi, ia tidak mengindahkan permintaan tubuh yang telah lelah itu.
Tak jarang, Anto merasa iri dengan teman-temannya yang dapat menghabiskan waktu untuk belajar sekaligus bersenang-senang. Tuhan menjadi tempatnya berkeluh kesah. Seringkali Anto mengatakan, “Dunia tidaklah adil!”Namun, tidak berselang lama, ia sadar bahwa apa yang dialaminya bukanlah sebuah kutukan atau hukuman dari Yang Mahakuasa. Kesalahan dalam mengiyakan segala hal itulah yang menjadikan dirinya larut dalam berbagai kewajiban.
Rasa stres dan tertekan kerap kali menghampiri diri Anto yang malang. Tidak ada teman yang dapat menjadi pelipur lara semakin membuat Anton sedih. Terlebih keluarganya sendiri mengatakan, “Kesibukan adalah hal biasa untuk seorang mahasiswa,” semakin membawa Anton terpuruk dalam kesedihan. Belum lagi ketika Anto mencoba mencurahkan pikiran dan perasaannya melalui media sosial, ia malah mendapat pernyataan sinis, “Ah, dulu saya lebih sibuk dari itu. Tetapi, ternyata saya pun masih hidup sampai sekarang.”
Tidak ada lagi hal yang dapat meredakan stres yang dialami Anto. Ia pun mencoba cara lain yang tampaknya ekstrem. Mulai dari menepuk anggota tubuhnya hingga berteriak ke luar jendela secara membabi buta. Teriakan itu tidaklah terdengar dan hanya dianggap angin lalu oleh orang sekitar. Akan tetapi, cara tersebut cukup melegakan diri Anto yang dirundung stres.
Hari demi hari berlalu, Anto terus menjalani segala hal yang diambilnya. Hingga suatu waktu, muncul tawaran dari kakak tingkatnya untuk menjadi koordinator divisi di suatu acara besar fakultas. Entah bagaimana, Anto berani mengeluarkan sebuah kata paripurna untuk pertama kalinya, “Tidak Kak, terima kasih.” Seketika jantung Anto pun berdegup kencang karena takut ucapannya menyakiti perasaan senior itu. Tanpa diduga, kakak tingkatnya pun menyampaikan, “Oke tidak apa-apa, Anto, terima kasih sudah memberitahu.” Anto terkejut dan tidak menyangka bahwa berkata “Tidak” bukanlah suatu hal yang buruk. Sejak itu, Anto pun dapat lebih menikmati kehidupannya dan memanfaatkan waktu untuk berteman serta menghibur diri.
Penulis:
Cahyadi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat II
Editor: Rejoel